Organik artinya alam, kembali ke organik, sama dengan kembali ke alam. Alam semesta pada dasarnya ada wujud nyata dari kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
Kesadaran tentang pentingnya kelestarian dan keberlanjutan alam, adalah kesadaran dan pengakuan tentang eksistennya Tuhan YME. Kesadaran semacam itu, tampaknya kini semakin berkembang.
Hal tersebut terjadi, seiring dengan semakin nyata yang dirasakan oleh umat manusia, sebagai akibat negatif yang muncul, karena adanya berbagai kerusakan alam. Namun aksi untuk memperbaiki alam, nyaris tidak ada, tutur Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana itu menjelaskan, tampaknya Puri Kesiman, Denpasar timur telah memulainya. Pada saat zaman kerajaan di Bali, para raja menjadi simbol dari gerakan budaya, termasuk budaya pertanian.
Hal itu tercermin dari adanya kolam yang mengitari tempat suci (merajan) milik kerajaan. Kemudian air dari kolam itu dialirkan ke komplek persawahan, yang dikelola dengan sistem subak.
Dengan demikian akan selalu ada ikatan antara kalangan puri, raja, petani, dan eksistensi budaya lokal (pertanian). Simbolik seperti itu tercermin di beberapa kalangan puri Pulau Dewata, di antaranya Puri Kesiman, Denpasar Timur.
Hal sama tampak pula di Pura Taman Ayun, milik Puri Mengwi, Kabupaten Badung, dan juga di Angkor Wat (Kamboja). Taman Ayun dan Angkor Wat saat ini dikenal sebagai artefek yang menjadi Warisan Budaya Dunia (WBD), dan Puri Kesiman telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia, sebagai Cagar Budaya.
Di antara kalangan puri, tampaknya hanya kalangan Puri Kesiman yang masih tetap konsisten mencintai profesinya sebagai petani. Penglingsir (tokoh) Puri Kesiman, Anak Agung Ngurah Gde Kusuma Wardana (57) yang akrab disapa Turahde.
Bahkan tokoh karismatik itu mencantumkan dalam KTP-nya, bahwa pekerjaannya adalah petani. Fenomena itu menunjukkan bahwa Turahde bukan saja menunjukkan ke-rendah hati-an nya, namun juga menunjukkan kecintaannya pada sektor pertanian.
Sebagaimana yang pernah sebelumnya ditunjukkan oleh para leluhurnya, berabad-abad yang lalu. Petani juga dianggap sebagai lambang kejujuran. Kalau petani tidak jujur, maka pertaniannya akan rusak, dan mereka bisa mati.
Misalnya, kalau sawah kekeringan, lalu dikatakan sudah cukup air, maka pertanian itu akan gagal, dan petani tidak akan bisa makan, dan akan mati.
Demikianlah, tatkala saat ini sektor pertanian sangat terpuruk, petani terpinggirkan, sistem subak sudah kehilangan kharismanya, maka Turahde (Puri Kesiman) justru terjun langsung sebagai petani di Subak Biaung, Denpasar-Timur.
Di atas lahan yang sudah keras (karena termakan sistem an-organik), Turahde mulai membangun kembali sistem pertaniannya. Pertama-tama yang dikerjakan adalah mencari sumber air, mengembalikan kesuburan lahan (dengan organik), menambah mikro elemen dan mikro-organisme lahan, mengembalikan kehidupan cacing tanah, dan menanam tanaman yang mengandung nitrogen sepertigereng-gereng, kedele dan kacang tanah.
Kondisi Berubah
Kusuma Wardana atau Turahde belum genap enam bulan menekuni aktivitas bidang pertanian itu telah mampu mengubah kondisi lahan pertaniannya.
Tanaman semangka, jagung, bawang, kedele, melon dan buah naga sudah terlihat segar, dan menghasilkan dengan baik. Semua buah dari tanaman itu terlihat segar, besar, dan berisi.
Meski lahannya kelihatan kering dan gersang, namun tanaman di atasnya tampak menghijau. Dalam waktu dekat, akan mulai ditanam tanaman durian, kelengkeng, manggis, mangga, dan semua tanaman yang bermanfaat.
"Untuk apa?. Pada suatu saat nanti, saya ingin kawasan yang luasnya empat hektare ini menjadi media pendidikan bagi anak-anak dan pemuda," tutur Turahde.
Dikatakan bahwa saat ini tidak banyak orang yang ingin bertani. Namun kalau nanti kawasan kota Denpasar sudah jenuh dengan beton, maka orang akan merindukan lahan yang lapang, hijau, angin yang berderai, dan kehidupan pertanian.
Di samping itu, dalam waktu dekat, kawasan di Subak Biaung itu harus bisa menjadi kawasan pembelajaran bagi anak-anak taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD), dan sekolah menengah.
"Pengenalan sektor pertanian dan alami, sangat penting bagi anak-anak, agar mereka memiliki kaitan emosional dengan alam," katanya lagi. Dengan demikian, anak-anak akan mencintai alamnya dan bangsanya.
Oleh karenanya Turahde mengusulkan agar anak-anak jangan diajak tour ke luar negeri. Mereka harus diajak ke lingkungan alam, mencintai alam, mencintai pertanian, sehingga akan muncul rasa cinta kepada bangsa dan negara-nya.
Setelah berpuluh-puluh tahun lahan pertanian dipaksa untuk menghasilkan padi (dengan an-organik), maka tanah menjadi membatu, miskin mikro-organisme, dan hasilnya akan terus menurun.
Bahkan mungkin bisa tak menghasilkan. Karena itu, pada saat ini banyak petani yang merasa rugi sebagai petani. Sementaraitu, tanah hanya bisa kembali subur dan menghasilkan, kalau ada organisme dalam jumlah tertentu dalam tanah tersebut.
Untuk itu Turahde ingin memberikan contoh bagi masyarakat tani di sekitarnya, bahwa kita sekarang jangan terpaku pada input an-organik. Tetapi karena petani sangat miskin, maka mereka tidak mampu melakukan inovasi.
Dalam hal ini peranan pemerintah sangat penting. Untuk itu aktivitas Turahde Puri Kesiman sangat perlu diberikan apresiasi. Caranya, dengan memberikan pendampingan yang sepadan.
Keputusan Turahde untuk tidak menjual lahan itu, sangat bermakna bagi Kota Denpasar. Sebab kawasan itu akan tetap menjadi sumber oksigen dari arah timur Kota Denpasar. Kalau tidak, maka kota Denpasar akan terasa sangat sesak.
"Saya juga pernah mengusulkan kepada Wali kota Denpasar, agar kawasan Subak Anggabaya di bagian utara Kota Denpasar ditetapkan sebagai subak-abadi. Dengan demikian kawasan itu akan juga bisa menjadi sumber oksigen dari kawasan utara," katanya.
Sementara itu sumber oksigen dari kawasan selatan adalah dari kawasan hutan mangrove. Bagaimana dari bagian barat? Inilah masalahnya. Bagian barat Denpasar, terlanjur sesak dan tanpa ruang terbuka hijau.
Untuk itu, lahan- lahan terjepit di Denpasar (khususnya di Denpasar Barat), dan masih tetap digunakan sebagai lahan pertanian, harus diberikan fasilitas bebas pajak bumi dan bangunan (PBB).
Hanya dengan fasilitas ini para petani merasa mendapatkan perhatian. Lalu binalah mereka ke arah tanaman organik, sampai dengan menyediakan pasar. Saya harap dengan kegiatan yang demikian, kota Denpasar akan tetap nyaman bagi penghuninya di masa yang akan datang, tutur Turahde. (MFD)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
Kesadaran tentang pentingnya kelestarian dan keberlanjutan alam, adalah kesadaran dan pengakuan tentang eksistennya Tuhan YME. Kesadaran semacam itu, tampaknya kini semakin berkembang.
Hal tersebut terjadi, seiring dengan semakin nyata yang dirasakan oleh umat manusia, sebagai akibat negatif yang muncul, karena adanya berbagai kerusakan alam. Namun aksi untuk memperbaiki alam, nyaris tidak ada, tutur Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana itu menjelaskan, tampaknya Puri Kesiman, Denpasar timur telah memulainya. Pada saat zaman kerajaan di Bali, para raja menjadi simbol dari gerakan budaya, termasuk budaya pertanian.
Hal itu tercermin dari adanya kolam yang mengitari tempat suci (merajan) milik kerajaan. Kemudian air dari kolam itu dialirkan ke komplek persawahan, yang dikelola dengan sistem subak.
Dengan demikian akan selalu ada ikatan antara kalangan puri, raja, petani, dan eksistensi budaya lokal (pertanian). Simbolik seperti itu tercermin di beberapa kalangan puri Pulau Dewata, di antaranya Puri Kesiman, Denpasar Timur.
Hal sama tampak pula di Pura Taman Ayun, milik Puri Mengwi, Kabupaten Badung, dan juga di Angkor Wat (Kamboja). Taman Ayun dan Angkor Wat saat ini dikenal sebagai artefek yang menjadi Warisan Budaya Dunia (WBD), dan Puri Kesiman telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia, sebagai Cagar Budaya.
Di antara kalangan puri, tampaknya hanya kalangan Puri Kesiman yang masih tetap konsisten mencintai profesinya sebagai petani. Penglingsir (tokoh) Puri Kesiman, Anak Agung Ngurah Gde Kusuma Wardana (57) yang akrab disapa Turahde.
Bahkan tokoh karismatik itu mencantumkan dalam KTP-nya, bahwa pekerjaannya adalah petani. Fenomena itu menunjukkan bahwa Turahde bukan saja menunjukkan ke-rendah hati-an nya, namun juga menunjukkan kecintaannya pada sektor pertanian.
Sebagaimana yang pernah sebelumnya ditunjukkan oleh para leluhurnya, berabad-abad yang lalu. Petani juga dianggap sebagai lambang kejujuran. Kalau petani tidak jujur, maka pertaniannya akan rusak, dan mereka bisa mati.
Misalnya, kalau sawah kekeringan, lalu dikatakan sudah cukup air, maka pertanian itu akan gagal, dan petani tidak akan bisa makan, dan akan mati.
Demikianlah, tatkala saat ini sektor pertanian sangat terpuruk, petani terpinggirkan, sistem subak sudah kehilangan kharismanya, maka Turahde (Puri Kesiman) justru terjun langsung sebagai petani di Subak Biaung, Denpasar-Timur.
Di atas lahan yang sudah keras (karena termakan sistem an-organik), Turahde mulai membangun kembali sistem pertaniannya. Pertama-tama yang dikerjakan adalah mencari sumber air, mengembalikan kesuburan lahan (dengan organik), menambah mikro elemen dan mikro-organisme lahan, mengembalikan kehidupan cacing tanah, dan menanam tanaman yang mengandung nitrogen sepertigereng-gereng, kedele dan kacang tanah.
Kondisi Berubah
Kusuma Wardana atau Turahde belum genap enam bulan menekuni aktivitas bidang pertanian itu telah mampu mengubah kondisi lahan pertaniannya.
Tanaman semangka, jagung, bawang, kedele, melon dan buah naga sudah terlihat segar, dan menghasilkan dengan baik. Semua buah dari tanaman itu terlihat segar, besar, dan berisi.
Meski lahannya kelihatan kering dan gersang, namun tanaman di atasnya tampak menghijau. Dalam waktu dekat, akan mulai ditanam tanaman durian, kelengkeng, manggis, mangga, dan semua tanaman yang bermanfaat.
"Untuk apa?. Pada suatu saat nanti, saya ingin kawasan yang luasnya empat hektare ini menjadi media pendidikan bagi anak-anak dan pemuda," tutur Turahde.
Dikatakan bahwa saat ini tidak banyak orang yang ingin bertani. Namun kalau nanti kawasan kota Denpasar sudah jenuh dengan beton, maka orang akan merindukan lahan yang lapang, hijau, angin yang berderai, dan kehidupan pertanian.
Di samping itu, dalam waktu dekat, kawasan di Subak Biaung itu harus bisa menjadi kawasan pembelajaran bagi anak-anak taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD), dan sekolah menengah.
"Pengenalan sektor pertanian dan alami, sangat penting bagi anak-anak, agar mereka memiliki kaitan emosional dengan alam," katanya lagi. Dengan demikian, anak-anak akan mencintai alamnya dan bangsanya.
Oleh karenanya Turahde mengusulkan agar anak-anak jangan diajak tour ke luar negeri. Mereka harus diajak ke lingkungan alam, mencintai alam, mencintai pertanian, sehingga akan muncul rasa cinta kepada bangsa dan negara-nya.
Setelah berpuluh-puluh tahun lahan pertanian dipaksa untuk menghasilkan padi (dengan an-organik), maka tanah menjadi membatu, miskin mikro-organisme, dan hasilnya akan terus menurun.
Bahkan mungkin bisa tak menghasilkan. Karena itu, pada saat ini banyak petani yang merasa rugi sebagai petani. Sementaraitu, tanah hanya bisa kembali subur dan menghasilkan, kalau ada organisme dalam jumlah tertentu dalam tanah tersebut.
Untuk itu Turahde ingin memberikan contoh bagi masyarakat tani di sekitarnya, bahwa kita sekarang jangan terpaku pada input an-organik. Tetapi karena petani sangat miskin, maka mereka tidak mampu melakukan inovasi.
Dalam hal ini peranan pemerintah sangat penting. Untuk itu aktivitas Turahde Puri Kesiman sangat perlu diberikan apresiasi. Caranya, dengan memberikan pendampingan yang sepadan.
Keputusan Turahde untuk tidak menjual lahan itu, sangat bermakna bagi Kota Denpasar. Sebab kawasan itu akan tetap menjadi sumber oksigen dari arah timur Kota Denpasar. Kalau tidak, maka kota Denpasar akan terasa sangat sesak.
"Saya juga pernah mengusulkan kepada Wali kota Denpasar, agar kawasan Subak Anggabaya di bagian utara Kota Denpasar ditetapkan sebagai subak-abadi. Dengan demikian kawasan itu akan juga bisa menjadi sumber oksigen dari kawasan utara," katanya.
Sementara itu sumber oksigen dari kawasan selatan adalah dari kawasan hutan mangrove. Bagaimana dari bagian barat? Inilah masalahnya. Bagian barat Denpasar, terlanjur sesak dan tanpa ruang terbuka hijau.
Untuk itu, lahan- lahan terjepit di Denpasar (khususnya di Denpasar Barat), dan masih tetap digunakan sebagai lahan pertanian, harus diberikan fasilitas bebas pajak bumi dan bangunan (PBB).
Hanya dengan fasilitas ini para petani merasa mendapatkan perhatian. Lalu binalah mereka ke arah tanaman organik, sampai dengan menyediakan pasar. Saya harap dengan kegiatan yang demikian, kota Denpasar akan tetap nyaman bagi penghuninya di masa yang akan datang, tutur Turahde. (MFD)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014