Negara (Antara Bali) - Puluhan warga Desa Yehembang, Kabupaten Jembrana, Selasa, menyampaikan protes terhadap perambahan hutan liar yang dijadikan lahan pertanian, karena dianggap merusak kelestarian hutan wilayah tersebut.
Protes tersebut mereka sampaikan kepada Perbekel atau Kepala Desa Yehembang, Made Semadi, serta Bendesa atau Ketua Desa Adat, Ngurah Gede Aryana, yang menerima warga ini di kantor desa setempat.
"Kami minta pengawenan atau perambahan hutan untuk dijadikan lahan pertanian, yang dilakukan secara liar oleh warga penyanding hutan untuk segera diberangus dan dihentikan. Dampak alihfungsi lahan hutan tersebut sangat besar bagi sektor pertanian, maupun suplai air bersih untuk warga," kata Mangku Lalut, salah seorang warga.
Menurutnya, akibat alihfungsi hutan tersebut, aliran air di saluran subak atau irigasi kering, sehingga petani tidak bisa bercocoktanam saat musim kemarau.
Ia juga menegaskan, siap membantu aparat untuk memberangus perambahan tersebut, serta memberikan nama-nama pelakunya.
"Menjadikan hutan sebagai lahan pertanian secara liar, hanya menguntungkan segelintir orang. Sementara kami, yang tinggal di hilir hutan harus menerima dampak kekeringan," ujarnya.
I Gusti Putu Gede Budiasa, warga lainnya mengatakan, perambahan hutan ini sudah berlangsung bertahun-tahun, namun terkesan dibiarkan sehingga makin meluas.
Meskipun menyadari, desa adat setempat tidak bisa menindak pelaku, karena wilayah hutan serta penyandingnya masuk Desa Adat Bumbungan, ia tetap minta pengurus adat untuk saling berkoordinasi.
"Sementara desa dinas bisa mengambil tindakan, karena wilayah tersebut masuk Desa Dinas Yehembang. Kalau aspirasi kami ini tidak ditindaklanjuti, kami akan membawanya ke pemerintahan yang lebih tinggi baik kecamatan maupun kabupaten," katanya.
Menjawab keinginan warga ini, Bendesa Adat Yehembang, Ngurah Gede Aryana mengakui, wilayah hutan memang tidak masuk dalam desa adat yang ia pimpin, namun ia berjanji untuk berkoordinasi dengan desa adat yang menaunginya.
"Saya setuju perambahan hutan dihentikan, tapi karena berada di wilayah desa adat lain, saya akan lakukan rapat gabungan dulu," katanya.
Sementara Kepala Desa atau Perbekel Yehembang, Made Semadi mengatakan, dirinya tidak pernah memberikan izin kepada warga untuk bercocok tanam di dalam hutan.
Menurutnya, untuk penindakan terhadap pelaku, menjadi wewenang polisi hutan, sehingga ia berjanji akan berkoordinasi dengan institusi tersebut.
"Warga sebenarnya diperbolehkan untuk bercocok tanam di hutan yang sudah rusak, tapi ada prosedurnya. Prosedur itu antara lain harus mendapatkan izin dari pemerintah pusat, serta diawasi dalam pelaksanaannya," katanya.
Informasi yang dihimpun di kalangan warga, perambahan hutan di wilayah Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo ini sudah mengkhawatirkan, karena lahan di dalam hutan tersebut sudah mulai diperjualbelikan berikut tanaman di atasnya.(GBI)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
Protes tersebut mereka sampaikan kepada Perbekel atau Kepala Desa Yehembang, Made Semadi, serta Bendesa atau Ketua Desa Adat, Ngurah Gede Aryana, yang menerima warga ini di kantor desa setempat.
"Kami minta pengawenan atau perambahan hutan untuk dijadikan lahan pertanian, yang dilakukan secara liar oleh warga penyanding hutan untuk segera diberangus dan dihentikan. Dampak alihfungsi lahan hutan tersebut sangat besar bagi sektor pertanian, maupun suplai air bersih untuk warga," kata Mangku Lalut, salah seorang warga.
Menurutnya, akibat alihfungsi hutan tersebut, aliran air di saluran subak atau irigasi kering, sehingga petani tidak bisa bercocoktanam saat musim kemarau.
Ia juga menegaskan, siap membantu aparat untuk memberangus perambahan tersebut, serta memberikan nama-nama pelakunya.
"Menjadikan hutan sebagai lahan pertanian secara liar, hanya menguntungkan segelintir orang. Sementara kami, yang tinggal di hilir hutan harus menerima dampak kekeringan," ujarnya.
I Gusti Putu Gede Budiasa, warga lainnya mengatakan, perambahan hutan ini sudah berlangsung bertahun-tahun, namun terkesan dibiarkan sehingga makin meluas.
Meskipun menyadari, desa adat setempat tidak bisa menindak pelaku, karena wilayah hutan serta penyandingnya masuk Desa Adat Bumbungan, ia tetap minta pengurus adat untuk saling berkoordinasi.
"Sementara desa dinas bisa mengambil tindakan, karena wilayah tersebut masuk Desa Dinas Yehembang. Kalau aspirasi kami ini tidak ditindaklanjuti, kami akan membawanya ke pemerintahan yang lebih tinggi baik kecamatan maupun kabupaten," katanya.
Menjawab keinginan warga ini, Bendesa Adat Yehembang, Ngurah Gede Aryana mengakui, wilayah hutan memang tidak masuk dalam desa adat yang ia pimpin, namun ia berjanji untuk berkoordinasi dengan desa adat yang menaunginya.
"Saya setuju perambahan hutan dihentikan, tapi karena berada di wilayah desa adat lain, saya akan lakukan rapat gabungan dulu," katanya.
Sementara Kepala Desa atau Perbekel Yehembang, Made Semadi mengatakan, dirinya tidak pernah memberikan izin kepada warga untuk bercocok tanam di dalam hutan.
Menurutnya, untuk penindakan terhadap pelaku, menjadi wewenang polisi hutan, sehingga ia berjanji akan berkoordinasi dengan institusi tersebut.
"Warga sebenarnya diperbolehkan untuk bercocok tanam di hutan yang sudah rusak, tapi ada prosedurnya. Prosedur itu antara lain harus mendapatkan izin dari pemerintah pusat, serta diawasi dalam pelaksanaannya," katanya.
Informasi yang dihimpun di kalangan warga, perambahan hutan di wilayah Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo ini sudah mengkhawatirkan, karena lahan di dalam hutan tersebut sudah mulai diperjualbelikan berikut tanaman di atasnya.(GBI)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014