Denpasar (Antara Bali) - Guru Besar Universitas Udayana Denpasar, Bali, Prof Dr Yohanes Usfunan mengusulkan revisi untuk mengatur kewarganegaraan ganda dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

"Pengaturan dalam Pasal 23 harus ditinjau kembali sehingga Undang-Undang Kewarganegaraan memenuhi kriteria filosofis, yuridis, dan sosiologis," katanya dalam Seminar Nasional Diaspora dan Dinamika Konsep Kewarganegaraan di Indonesia yang digelar di Fakultas Hukum Universitas Udayana di Denpasar, Selasa.

Dia menjelaskan bahwa dalam penjelasan umum UU Nomor 12 tahun 2006 itu tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride).

Apabila WNI diketahui berkewarganegaraan ganda, dia harus melepaskan salah satu kewarganegaraan yang dimikikinya.

Namun apabila tidak mau melepaskan salah satu kewarganegaraan itu, seseorang tersebut akan dikenakan sanksi kehilangan status WNI seperti dalam Pasal 23 UU Kewarganegaraan.

Dosen Fakultas Hukum Unud itu menyatakan bahwa beberapa aturan atau poin dalam pasal 23 UU Kewarganegaraan itu dinilai merupakan alasan yang kurang mendasar yang rumusannya menunjukkan norma kabur.

"Sehingga secara substansial alasan tersebut bertentangan dengan jaminan konstitusional hak atas status kewarganegaraan termasuk kewarganegaraan ganda," katanya.

Beberapa poin-poin dalam pasal 23 itu menyebutkan bahwa WNI, akan kehilangan kewarganegaraannya jika, memperoleh kewarganegaraan negara lain atas kemauan sendiri, tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain meskipun seseorang mendapatkan kesempatan untuk itu, dinyatakan hilang status kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonan sendiri jika seseorang berusia 18 tahun atau sudah menikah dan bertempat tinggal di luar negeri.

Selain itu bertempat tinggal di luar NKRI selama lima tahun terus-menerus tanpa alasan sah dan bukan dalam rangka dinas negara dan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi WNI dan tidak pernah mengajukan ingin menjadi WNI.

Usfunan lebih lanjut menjelaskan bahwa poin tersebut dinilai bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 28 D ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi "Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan".

Tak hanya itu, kata dia, dalam Pasal 28 E ayat 1 menentukan bahwa setiap warga negara bebas memilih kewarganegaraan dan ketentuan dalam pasal 28 C ayat 2 menentukan bahwa setiap orang berhak memajukan diri dan memperjuangkan hak-haknya.

"Dengan demikian, hal tersebut menjadi alasan kuat perlunya pengaturan terkait kewarganegaraan ganda," katanya.

Usfunan menambahkan bahwa pengaturan kewarganegaraan ganda kepada kaum diaspora Indonesia perlu dilakukan mengingat remitansi diaspora Indonesia mencapai hampir Rp84 triliun pada 2011 dan meningkat sekitar Rp485 triliun pada 2013.

Ia bahkan menyebutkan bahwa sedikitnya 56 negara di dunia tidak mencabut kewarganegaraan warganya ketika mendapatkan status kewarganegaraan baru dari negara lain.

Dia menyebutkan bahwa negara tersebut di antaranya Austria, Australia, Prancis, Jerman, Iran, Irak, Selandia Baru, Bangladesh, Belgia, Kolombia, Kanada, Mesir, Korea Selatan, Hong Kong, Filipina, Amerika Serikat, Inggris, Vietnam dan beberapa negara lainnya.

Seminar nasional yang digelar Indonesian Diaspora Network itu diharapkan menjadi panduan dalam merumuskan dan bahan untuk menyusun naskah kajian akademis dalam rangka merevisi UU Kewarganegaraan yang mengakomodasi status kewarganegaraan bagi Diaspora Indonesia.

Selain di Bali, seminar serupa juga digelar di beberapa universitas di Indonesia di antaranya Universitas Sam Ratulangi Manado, Universitas Indonesia, Universitas Negeri Medan, dan Universitas Brawijaya Malang. (WDY)

Pewarta: Oleh Dewa Wiguna

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014