Jalan beraspal itu tidak begitu mulus, lebarnya sempit, hanya pas untuk satu kendaraan roda empat. Sepanjang tepi jalan mengikuti selokan tertata apik meskipun tidak seperti proyek trotoar di perkotaan.

Air irigasi pertanian tradisional (subak) itu tampak jernih. Namun, kondisinya kecil akibat debitnya berkurang pada musim kemarau ini sehingga banyak lahan sawah yang mengalami kekeringan, terutama di bagian hilir dari subak Mole dan Sengawang di Desa adat Pekraman Ole, Desa Marga Dauh Puri, Kabupaten Tabanan, 27 km barat laut Kota Denpasar.

Jaringan jalan sempit membelah subak Mole dan subak Sengawang yang memiliki hamparan sawah lebih dari 70 hektare sepanjang hampir 2 kilometer hasil pelebaran jalan setapak yang dilakukan secara gotong royong kini tampak tanaman sayur-mayur dan jenis tanaman palawija lainnya di samping tanaman padi.

Petani Bali memang makin menjerit menghadapi situasi iklim belakangan ini di samping tanaman padi di persawahan mengalami kekeringan akibat tidak mendapatkan air irigasi karena musim kemarau. Diperparah lagi dengan serangan hama tikus.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali melalui petugas penyuluhan pertanian lapangan (PPL) sejak dini telah menyarankan petani untuk mengembangkan tanaman palawija sementara waktu untuk mengantisipasi musim kemarau.

"Penyesuaian pola tanam di lahan sawah yang berisiko mengalami kekeringan maupun di daerah itu sedang dilakukan perbaikan saluran irigasi dengan harapan petani tetap memperoleh penghasilan," tutur Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Bali Ida Bagus Wisnuardhana.

Petani di sejumlah subak memang telah mengikuti anjuran tersebut. Namun, sebagian lainnya tetap menanam padi karena tergiur dengan harga jual gabah yang relatif cukup mahal. Akibatnya, mengalami kesulitan air pengairan dalam musim kemarau sehingga kena dampak kekeringan, bahkan sampai gagal panen.

Seluas 119 hektare tanaman padi di Bali mengalami gagal panen (puso) dari total lahan pertanian yang mengalami kekeringan seluas 425,42 hektare hingga pertengahan September 2014.

Akibat musim kemarau yang berkepanjangan, bahkan BMKG Wilayah III Denpasar memprakirakan musim kering hingga akhir Oktober 2014. Namun, diharapkan tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap ketahanan pangan di Pulau Dewata.

Intensitas kekeringan paling luas terjadi di Kabupaten Buleleng, yakni 228,92 hektare, menyusul Tabanan seluas 101 hektare, Jembrana 87,5 hektare, dan Kota Denpasar 8 hektare.

Lahan pertanian yang dilanda kekeringan itu tidak semuanya gagal panen karena intensitas kekeringan yang terdiri atas intensitas ringan, sedang, dan berat itu diharapkan masih bisa menghasilkan.

Namun, yang tergolong puso atau gagal panen hanya tercatat 119 hektare, tersebar di Kabupate Buleleng 70 hektare, dan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan seluas 47 hektare.

Dapat Diselamatkan

Kekeringan lahan sawah dengan intensitas ringan, sedang, dan berat jika ketersediaan air bisa terpenuhi, menurut Ida Bagus Wisnuardhana, sangat memungkinkan tanaman padi itu dapat diselamatkan.

Dinas Pertanian setempat terus memperbaharui data kekeringan melalui posko yang disebut Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) yang terdapat di tingkat desa dan kecamatan.

Informasi tentang kekeringan itu kemudian diteruskan ke tingkat kabupaten dan provinsi. Sumber air untuk pengairan irigasi yang dikelola dalam sistem pertanian tradisional bidang pertanian (subak) sepenuhnya bersumber dari air permukaan sehingga ketika dalam kurun waktu yang relatif lama tidak terjadi hujan, ketersediaan air dalam tanah akan menipis.

Bercermin dari hal itu kemungkinan luasan kekeringan di Bali ini akan bertambah dari data yang ada sekarang. Pengalaman selama ini dalam menghadapi musim kemarau tahun-tahun sebelumnya kekeringan lahan pertanian di Bali rata-rata 400-an hektare. Namun, yang mengalami puso cenderung mengalami peningkatan.

Gagal panen yang kini tercatat 119 hektare bisa dibilang cukup tinggi jika dibandingkan dengan kondisi tahun-tahun sebelumnya.

Dampak perubahan iklim dan serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) menjadi salah satu kendala dalam memacu peningkatan produksi dan produktivitas pertanian, khususnya padi dalam mempertahankan ketahanan pangan 2014.

Meskipun dampak perubahan iklim itu tidak dapat dhindari, dengan adopsi teknologi petani diharapkan mampu meningkatkan produktivitas. Budaya Bali dengan sistem subak yang sosioreligius berdasarkan Tri Hita Karana hubungan yang serasi dan harmonis sesama manusia, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa diharapkan mampu mendukung keberhasilan sektor pertanian.

Kearifan lokal tri hita karana selama ini diakui sebagai pendukung utama dalam mencapai produksi bidang pertanian, khususnya beras, dengan harapan ketahanan pangan 2014 tetap dapat dipertahankan.

Bali memiliki lahan sawah seluas 81.625 hektare sebagian besar, yakni 90,25 persen berpengairan setengah teknis dan 9,75 persen sisanya berpengairah sederhana dan sawah tadah hujan.

Meskipun mengalami musim kemarau dalam tahun 2014 melalui dua kali panen, diharapkan mampu memproduksi 871.668 ton gabah kering giling (GKG), produksi tahun 2013 tercatat 881.175 ton GKG, meningkat dari tahun sebelumnya 865.554 ton.

Bali selama lima tahun terakhir (2009--2013) luas panen berkisaran pada 150.741 hektare dalam dua kali musim panen per tahun dengan produktivitas rata-rata 57,79 kuintal per hektare.

Dari jumlah produksi tersebut, Bali hingga 2012 masih mencukupi untuk memenuhi konsumsi domestik masyarakat Bali, termasuk wisatawan yang jumlahnya terus meningkat.

Bali dari hasil perhitungan masih mengalami kelebihan beras rata-rata 58.822 ton per tahun selama tiga tahun (2009--2012), tutur Bagus Wisnuardana. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014