Pengakuan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani masalah pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) telah mengukuhkan subak menjadi warisan budaya dunia (WBD) dan kini masyarakat dan petani Jatiluwih, Penebel, Kabupaten Tabanan mulai merasakan manfaatnya.

Sistem irigasi sawah khas Bali yang telah dianugerahi status Warisan Budaya Dunia untuk kategori lanskap budaya semakin dirasakan manfaatnya, meskipun masih menghadapi tantangan dan ujian berat.

Pakar pariwisata Universitas Udayana, Prof Dr I Nyoman Darma Putra menyatakan pengelolaan objek wisata berupa bentangan sawah yang indah Jatiluwih di daerah "Gudang beras" Pulau Dewata itu mulai memberikan manfaat.

Penghasilan dari tiket masuk dan lain-lain dari pengunjung wisatawan dalam dan luar negeri bisa dibagi untuk desa adat dan lembaga Subak bagi membiayai pembangunan dan biaya kegiatan ritual maupun adat.

Darma Putra yang menjabat Ketua Program Studi Kajian Pariwisata Universitas Udayana mengajak 45 mahasiswa baru S-2 Pariwisata berkunjung ke subak Jatiluwih akhir pekan lalu (30/8).

Mereka melakukan pengamatan terhadap sawah indah yang bertingkat-tingkat (terasering) dan melakukan diskusi dengan pekaseh, bendesa adat, kepala desa dan badan pengelola daya tarik wisata Jatiluwih.

Dalam diskusi tersebut terungkap berbagai perkembangan positif dan kendala dalam pengelolaan Jatiluwih ke depan. Mahasiswa juga memberikan saran untuk pengelolaan Jatiluwih agar lebih menarik.

Pengelola WBD Jatiluwih Driana Rika menjelaskan Kawasan Catur Angga Batukaru, Jatiluwih menjadi satu-kesatuan dengan tiga kawasan lainnya di Bali yang telah dikukuhkan UNESCO menjadi WBD kini mulai dikenal masyarakat internasional.

Begitu dikukuhkan UNESCO 20 Juni 2012 atau dua tahun silam di berbagai media, khususnya televisi memuji dan mengagumi keindahan alam Jatiluwih dengan sistem subaknya.

Hal itu juga diakui Pesaseh Subak Jatiluwih, Tabanan I Nyoman Sutama, BSc, bahwa hamparan lahan subak yang kondisinya berundag-undang (terasering) sejak dikukuh UNESCO hingga sekarang kehidupan dan aktivitas petani berjalan biasa-biasa saja.

Sebagian besar petani yang terhimpun dalam 14 subak di kawasan Catur Angga Batukaru itu tidak tahu makna apa dibalik WBD bagi kehidupan subak, tidak ada hal yang istimewa terkait pengakuan salah satu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

UNESCO telah membuat semacam petunjuk, bahwa setelah penetapan sebagai WBD harus disentuh badan pengelola WBD secara berstruktur sekaligus melaksanakan program aksi.

Program aksi mengarah pada usaha-usaha pelestarian subak dan kegiatan positif lainnya yang berpedoman pada skema WBD dan UNESCO.

Kunjungan meningkat

Kunjungan wisatawan mancanegara ke Kawasan Catur Angga Batukaru sejak dikukuhkan UNESCO menjadi WBD meningkat tajam, terutama wisatawan dari Jepang dan negara di kawasan Eropa.

Selama tujuh bulan hingga Juli 2014 jumlah kunjungan mencapai 78.839 orang, meningkat pesat dari tahun-tahun sebelumnya. Meningkatnya angka kunjungan itu mendongkrak pendapatan pengelola dimana sampai Juli 2014, pengelola mengantongi Rp1,4 miliar.

Pendapatan tersebut diperoleh dari tiket masuk, parkir dan pendaptan lain seperti "shooting pre-wedding". Tiket masuk untuk turis asing Rp20.000, untuk domestik Rp15.000, parkir kendaraan roda empat Rp5.000.

Pendapatan dari objek wisata Jatiluwih dibagi berdasarkan persentase antara pemerintah serta masyarakat petani dan warga desa adat. "Sejauh ini bantuan untuk petani dialokasikan untuk dana kesehatan atau pengobatan.

Untuk warga desa, mereka merasakan hasil objek wisata karena tidak perlu lagi membayar urunan untuk upacara adat di desa," ujar Rika.

Pekaseh Subak Jatiluwih, Nyoman Sutama menambahkan, sejumlah wartawan televisi dari Jepang seperti Kyodo News dan NHK datang kemari dan menyiarkan subak Jatiluwih di negerinya dan sejak itu kunjungan meningkat tajam.

Namun popularitas Jatiluwih itu selain memberikan dampak positif juga menimbulkan masalah mendesak yakni kesulitan menyediakan lahan parkir. Kendaraan wisatawan terpaksa parkir di tepi jalan yang sempit. Fasilitas parkir restoran hanya menampung satu-dua kendaraan.

Kesulitan mencari lahan parkir itu akibat lahan berupa sawah tidak boleh diotak-atik menjadi apa pun termasuk tempat parkir, tutur Sutama.

Libatkan Wisman

Prof Darma Putra memberikan apresiasi terhadap pengelola WBD Jatiluwih yang melakukan terobosan dengan melibatkan wisatawan mancanegara dalam proses penggarapan lahan pertanian.

Wisatawan yang mengunjungi sawah cantik berundang-undang itu diajak memotong padi yang telah menguning menggunakan ani-ani atau "nggapan" istilah setempat.

Wisatawan yang berkunjung ke Jatiluwih bisa menikmati keindahan bentangan alam persawahan dari duduk di restoran, atau melakukan "tracking" melintasi pematang sawah.

Pesaseh I Nyoman Sutama, BSc menuturkan, tahap pertama melibatkan wisatawan dalam proses pertanian yang bersifat ringan-ringan saja sehingga mereka memiliki pengalaman dalam bertani.

Keterlibatan turis itu antara lain ikut memotong padi lokal Bali yang tingginya mencapai 1,2 meter saat panen dengan menggunakan alat tradisional yang disebut "anggapan".

Selain itu pengelola WBD Jatiluwih bekerja sama dengan petani setempat dalam waktu dekat melakukan kegiatan membajak sawah dengan menggunakan tenaga sapi dan kerbau secara massal.

Kegiatan tersebut untuk menambah daya tarik objek wisata Jatiluwih yang diharapkan mampu meningkatkan kunjungan wisatawan.

Namun dalam pelaksanaannya itu menghadapi kendala berupa tempat parkir untuk menampung kendaraan yang mengangkut wisatawan ke daerah itu.

Pemkab Tabanan sedang berusaha mendapatkan areal untuk tempat parkir dan jika itu terealisasi akan memecahkan masalah parkir dan dapat meningkatkan turis berkunjung ke Jatiluwih.

Nyoman Darma Putra menilai banyak hal yang masih perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas keseluruhan objek wisata Jatiluwih, dari pembentukan badan pengelola objek wisata telah mulai melakukan penataan ke arah positif.

Tampaknya pengelola telah mampu menunjukkan manfaat ekonomi objek wisata kepada masyarakat termasuk petani sehingga ke depannya hal positif itu bisa menimbulkan kesadaran untuk pengembangan Jatiluwih sebagai sumber daya ekonomi pariwisata masyarakat menjadi lebih baik seperti objek wisata Tanah Lot, harap Darma Putra. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014