Jakarta (Antara Bali) - Direktur Eksekutif Indonesia Iron & Steel Industry Association (IISIA), Hidayat Triseputro, meminta kepada pemerintah untuk mempersiapkan kebijakan yang mendukung industri baja nasional meliputi larangan terbatas (lartas) impor baja dan mempercepat pembangunan infrastruktur.
"Dengan regulasi yang tepat dari pemerintah dan dukungan dari pemerintahan baru untuk pembangunan infrastruktur, kami optimistis industri baja nasional bisa tumbuh sesuai keinginan pemerintah," kata Hidayat di Jakarta, Rabu.
Menurut Hidayat, pemberlakuan lartas impor baja melalui Permendag No 28/MDAG/PER/6/2014 tentang Ketentuan Impor Baja Paduan, dapat mengerem laju impor baja paduan dari Tiongkok.
"Juknis peraturan ini baru saja terbit, namun belum efektif dalam pelaksanaannya," kata dia.
Melalui kebijakan mengerem laju importasi baja dari Tiongkok, produsen baja nasional akan memiliki ruang lebih besar untuk mengisi pasar baja nasional, sehingga produsen bisa menikmati keuntungan.
Saat ini kapasitas produksi industri baja nasional baru mencapai 7 juta ton, sedangkan konsumsinya mencapai 12 juta ton.
Kondisi tersebut membuat pasar domestik diserbu oleh produk-produk baja dari Tiongkok. Apalagi saat ini terjadi kelebihan pasokan (over supply) baja global, termasuk di Tiongkok, sehingga memicu jatuhnya harga baja dunia sejak tahun 2012.
Harga baja tercatat terus melemah, seperti rata-rata harga HRC (hot rolled coil) pada 2011 sebesar 768 dolar Amerika/ton kemudian terus menurun menjadi hanya 540 dolar Amerika/ton pada 2014.
Situasi ini menyebabkan sangat banyak perusahaan baja di seluruh dunia mengalami kerugian pada tahun buku 2012--2013 (global losses) dan diperkirakan terus rugi pada tahun ini.
Hingga hari ini, harga domestik HRC Tiongkok dan harga ekspor WR (wire rod) Tiongkok mencapai titik terendah sejak 7 tahun terakhir. Harga domestik HRC Tiongkok juga tercatat terus menurun, mencapai rekor terendah sejak 4 tahun terakhir, yang pasti akan terus memicu ekspor dengan harga rendah ke kawasan Asia Tenggara dan belahan dunia lainnya.
Data dari China Iron & Steel Association (CISA) menunjukkan bahwa pada Agustus ini, produksi baja Tiongkok telah menembus rekor produksi bulanan. Hal ini sinyal kuat bahwa kondisi kelebihan pasokan baja global masih akan terus berlanjut.
Tiongkok dipastikan akan terus melakukan ekspor secara masif ke seluruh dunia, termasuk ke kawasan regional Asean. Hal ini terus memicu maraknya praktik-praktik perdagangan unfair (dumping, subsidi) antara lain dengan modus menggunakan HS alloy yang mendapat tax rebate dari pemerintah China, sehingga sangat merugikan produsen lokal karena harga yang ditawarkan sangat murah. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Dengan regulasi yang tepat dari pemerintah dan dukungan dari pemerintahan baru untuk pembangunan infrastruktur, kami optimistis industri baja nasional bisa tumbuh sesuai keinginan pemerintah," kata Hidayat di Jakarta, Rabu.
Menurut Hidayat, pemberlakuan lartas impor baja melalui Permendag No 28/MDAG/PER/6/2014 tentang Ketentuan Impor Baja Paduan, dapat mengerem laju impor baja paduan dari Tiongkok.
"Juknis peraturan ini baru saja terbit, namun belum efektif dalam pelaksanaannya," kata dia.
Melalui kebijakan mengerem laju importasi baja dari Tiongkok, produsen baja nasional akan memiliki ruang lebih besar untuk mengisi pasar baja nasional, sehingga produsen bisa menikmati keuntungan.
Saat ini kapasitas produksi industri baja nasional baru mencapai 7 juta ton, sedangkan konsumsinya mencapai 12 juta ton.
Kondisi tersebut membuat pasar domestik diserbu oleh produk-produk baja dari Tiongkok. Apalagi saat ini terjadi kelebihan pasokan (over supply) baja global, termasuk di Tiongkok, sehingga memicu jatuhnya harga baja dunia sejak tahun 2012.
Harga baja tercatat terus melemah, seperti rata-rata harga HRC (hot rolled coil) pada 2011 sebesar 768 dolar Amerika/ton kemudian terus menurun menjadi hanya 540 dolar Amerika/ton pada 2014.
Situasi ini menyebabkan sangat banyak perusahaan baja di seluruh dunia mengalami kerugian pada tahun buku 2012--2013 (global losses) dan diperkirakan terus rugi pada tahun ini.
Hingga hari ini, harga domestik HRC Tiongkok dan harga ekspor WR (wire rod) Tiongkok mencapai titik terendah sejak 7 tahun terakhir. Harga domestik HRC Tiongkok juga tercatat terus menurun, mencapai rekor terendah sejak 4 tahun terakhir, yang pasti akan terus memicu ekspor dengan harga rendah ke kawasan Asia Tenggara dan belahan dunia lainnya.
Data dari China Iron & Steel Association (CISA) menunjukkan bahwa pada Agustus ini, produksi baja Tiongkok telah menembus rekor produksi bulanan. Hal ini sinyal kuat bahwa kondisi kelebihan pasokan baja global masih akan terus berlanjut.
Tiongkok dipastikan akan terus melakukan ekspor secara masif ke seluruh dunia, termasuk ke kawasan regional Asean. Hal ini terus memicu maraknya praktik-praktik perdagangan unfair (dumping, subsidi) antara lain dengan modus menggunakan HS alloy yang mendapat tax rebate dari pemerintah China, sehingga sangat merugikan produsen lokal karena harga yang ditawarkan sangat murah. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014