Denpasar (Antara Bali) - Lukisan karya almarhum I Gusti Nyoman Lempad yang menampilkan transpormasi estetik seni rupa Bali menuju seni lukis Bali modern yang dikenal pencinta seni mancanegara tumbuh dari kearifan lokal Bali.

I Gusti Nyoman Lempad meninggal pada tahun 1978 dalam usia 120 tahun tidak memposisikan diri sebagai seseorang individu-jenius-kreatif.

"Namun berkesenian yang dijalaninya adalah sebuah `swadharma` yang kemudian merumuskan kehidupan berkeseniannya yang penuh totalitas," kata Ketua Panitia Pameran khusus karya Lempad, I Ketut Budiana, Jumat.

Sebanyak 160 lukisan karya maestro seni lukis Bali I Gusti Nyoman Lempad (alm) beserta keluarganya dipamerkan di Dewangga Hause of Lempad perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar selama sebulan hingga 28 Agustus 2014.

"Swadarma" adalah menjalani kehidupan (karma) dalam balutan kreativitas, mengabdikan kemampuan kreatif untuk kepentingan masyarakat luas (ngayah). Melakukan swadarma (kewajiban) dengan tidak mengharapkan imbalan, hasil akan datang dengan sendirinya sesuai dengan karma (perbuatan).

Ketut Budiana yang juga seorang seniman lukis menambahkan, seniman Bali seperti Lempad tidak mengenal konsep diri yang individual, sehingga tidak pernah membubuhkan tanda tangan ataupun nama di dalam karyanya.

"Kalaupun kemudian karya-karya Lempad berisikan nama, itu pun ditulis oleh anaknya Gusti Made Sumung dan istrinya serta anak perempuannya Gusti Made Oka," ujar Ketut Budiana, seniman kelahiran Ubud yang sukses menggelar pameran di tingkat lokal Bali, nasional maupun internasional.

Sosok Lempad yang tidak bisa membaca dan menulis itu menjalani kehidupan berkarya dengan penuh totalitas, konsentrasi (khusuk) dan menjalankan ajaran Yoga dengan jalan karma (perbuatan) dan tulus iklas.

Karya-karyanya mencerminkan pengamalan nilai-nilai filosofi Hindu Bali yang diterapkannya melalui mendengar (sruti). Dengan demikian tema-tema lukisannya sangat luas dan lahir dari penghayatan yang mendalam.

Ketut Budiana menambahkan, nilai-nilai itu diamalkan melalui karya, jadi karya itu sejatinya adalah sarana untuk melakukan pendidikan (jnana) menyangkut nilai kelahiran, kebajikan, kejahatan dan kematian.

Bahkan nilai paling vital dalam kehidupan manusia yakni hasrat dan gairah bersumber dari kama. Secara psikologis kama merupakan aspek penting yang mengendalikan kehidupan manusia.

Oleh sebab itu ajaran-ajaran agama pada umumnya menanamkan pengendalian diri atas kama. Dengan demikian kama senantiasa didasari darma (kebaikan) agar tidak menjadi petaka.

Konsentrasi dan pengendalian atas kama menghadirkan energi kreativitas yang tak pernah padam hingga ajal menjelang. Sebagaimana halnya Lempad yang tetap berkarya hingga akhir hayatnya, ujar Ketut Budiana. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Nyoman Aditya T I


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014