Denpasar (Antara Bali) - Pakar pertanian dari Universitas Udayana Prof Dr Wayan Windia menilai, sistem kertamasa yakni tradisi petani menanam padi secara serentak dalam satu kawasan subak di Bali belakangan ini mulai memudar, bahkan hilang.

"Petani tidak lagi melakukan penanaman padi secara serentak, sehingga dalam satu kawasan subak ada yang baru menanam, padi sedang menghijau, padi yang sudah menguning bahkan ada yang baru mengolah lahan," kata Prof. Windia yang juga Ketua Pusat Penelitian Subak Unud di Denpasar, Minggu.

Ia mengatakan, sistem irigasi untuk pengairan subak selalu mengalami proses transformasi, sesuai dengan perkembangan budaya dan teknologi yang berkembang di sekitarnya.

Hal itu akibat sistem pengairan yang umumnya rentan dipengaruhi oleh pihak eksternal, karena sistem irigasi sifatnya adaptif. Karena itu, hilangnya sistem kertamasa dapat mempengaruhi turunnya hasil produksi.

Prof Windia menjelaskan, tahun 1970-an awal pemerintahan Orde Baru (Orba) situasi pangan di Indonesia sangat rawan, sebagai warisan dari pemerintahan Orde Lama (Orla).

Oleh sebab itu, titik berat pembangunan nasional menekankan sektor pertanian dengan membangun sistem irigasi secara besar-besaran, dan kemudian diperkenalkan varietas unggul padi baru, yang dikenal dengan padi jenis PB-5 dan PB-8.

Selain itu, menggunakan saprodi yang sangat anorganik. Umur padi unggul ini sangat pendek yakni 105 hari, hampir separuh dari umur padi lokal pada saat itu "padi del".

Dengan bibit padi unggul itu memungkinkan petani menanam padi tiga kali dalam setahun. Begitu memanen padi, maka sawah segera dibajak lagi, dan kemudian ditanami kembali.

"Kondisi yang demikian, sering disebut sebagai kegiatan implementasi revolusi hijau. Hal ini dimungkinkan, karena air irigasi tersedia dengan baik, input tersedia dengan subsidi yang besar, dan output dijamin dengan harga yang menguntungkan dengan adanya KUD dan Bulog," ujar Prof Windia.

Hingga saat ini berbagai subsidi dan proteksi diberikan kepada petani dan sektor pertanian. Hal ini tercermin dari adanya program Bimbingan Massal (Bimas), Intensifikasi Massal (Inmas) dari pemerintah.

Oleh sebab itu, banyak petani yang masih merindukan kondisi seperti itu, di mana kegiatan bertani sangat menguntungkan bagi petani. Petani senang dan bangga sebagai petani.

"Belum lagi berbagai insentif-lomba yang diadakan pemerintah saat itu, yang memungkinkan petani dapat bertemu dengan para pejabat negara, dan bahkan dengan Presiden," katanya.

Hal itu sangat menguntungkan bagi petani dan sektor pertanian di Bali dan juga di Indonesia. Produksi padi terus meningkat, dan Indonesia mencapai swasembada pangan pada tahun 1984.

Tidak ada yang sempurna dalam suatu kegiatan. Kegiatan revolusi hijau menyebabkan berbagai dampak negatif di sektor pertanian, diantaranya hilangnya sistem kertamasa yang secara tradisional dikembangkan pada sistem subak di Bali.

Karena semua petani berlomba-lomba menanam padi tiga kali dalam setahun, dan sekehendak hatinya, maka muncullah sistem tanam yang disebut dengan tulak-sumur. Yakni sistem tanam padi yang tidak serempak.

Hal itulah yang menyebabkan terjadinya eksplosi hama, dan hama yang terkenal mematikan tanaman padi karena selalu dapat menemukan makanan dan tempat bersembunyi pada tanaman padi, yang selalu ada sepanjang tahun.

Sementara tanaman palawija nyaris tidak pernah ada, karena petani terangsang untuk terus menanam padi. Dengan demikian hilangnya tradisi kertamasa karena hal-hal yang bersifat internal dan eksternal usaha tani dari petani padi di kawasan subak, tutur Wayan Windia. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014