Denpasar (Antara Bali) - Berbagai jenis akar kayu yang didatangkan dari berbagai tempat di Bali, bahkan secara khusus dari Jawa dijadikan bahan pembuatan patung dan aneka jenis cindera mata yang unik dan menarik.
Hasil sentuhan tangan-tangan terampil itu kini menjadi koleksi sejumlah museum di mancanegara antara lain museum di Jerman dan sejumlah museum di Indonesia, termasuk Bali, tutur I Ketut Muja (70), asal Banjar Mukti, Desa Singapadu, Kabupaten Gianyar, Bali.
Pria kelahiran 31 Desember 1944 itu berawal dari belajar membuat topeng tradisi dari seniman I Wayan Tangguh, seniman dalam lingkungan desanya ketika baru berumur 13 tahun pada tahun 1957.
Sosok pria sederhana itu tidak puas hanya memiliki keterampilan membuat topeng, lalu belajar membuat bentuk-bentuk figur yang utuh seperti bentuk manusia.
Pria yang hanya tamatan sekolah rakyat atau tingkat sekolah dasar itu belajar membuat patung realis dan naturalis pada seniman andal I Made Rondin dan I Wayan Kompit di Banjar Paang Desa Penatih di Kota Denpasar maupun di Desa Bualu Nusa Dua kabupaten Badung.
Kreativitasnya yang terus bekembang sekitar tahun 1970-an membuat karya-karya patung yang bertemakan pewayangan yakni Ramayana dan Mahaberatha. Yang menonjol dan menjadi karya yang khas adalah patung hanoman.
Patung tersebut merupakan gabungan antara bentuk topeng tradisi dengan gaya patung realis dan naturalis dengan pahatan yang detail dan sangat rumit. Patung Hanoman karya pematung I Ketut Muja yang mulai dikenal pencinta seni mancanegara mulai tahun 1990-an.
Karya patungnya juga terus berkembang dan berinovasi dengan tema-tema sosial tentang hidup dan kehidupan yang dilandasi oleh ajaran Agama Hindu dan seni budaya Bali.
Suami dari Ni Made Robin mulai melakukan pameran di tingkat lokal Bali, nasional maupun internasional. Bahkan Pesta Kesenian Bali (PKB) yang kedua tahun 1979 ia tampil dalam pameran yang menyuguhkan karya-karya unik dan menarik yang khusus dibuatnya dari bahan akar-akar berbagai jenis kayu.
Hal itu mampu menarik perhatian besar dari pengunjung, di samping pameran serupa yang digelarnya di perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar, Sanur, Nusa Dua dan di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dalam memeriahkan konferensi Ramayana internasional.
Ayah dari lima putra-putri itu menuturkan, karya seni yang dihasilkan sangat tergantung dari pesan dan kesan dari sebuah akar kayu untuk selanjutnya diolah menjadi sebuah karya seni.
Masing-masing akar kayu itu sudah dibentuk oleh alam dan mempunyai idiologi untuk menghasilkan sebuah karya seni. Proses produksi tidak membutuhkan waktu lama, namun yang lama adalah mempelajari idiologi dari akar-akar kayu tersebut.
"Jika pesan dari akar itu sudah diketahui, proses produksi yang dikerjakan seorang diri tidak lebih dari dua minggu, bahkan akar yang berukuran tinggi empat meter lebar dua meter dapat dirampungkan dalam waktu setahun," ujarnya.
Nasional dan internasional
Ayah dari I Wayan Jana S.Sn, I Made Supena S.Sn, I Nyoman Sukesa, I Ketut Sugantika S.Sn dan Ni wayan Sugantini aktif mengikuti pameran selain di Bali juga di tingkat nasional dan internasional.
Pameran di tingkat nasional yang pernah diikutinya antara lain memeriahkan Jakarta Fair 1975-1976, pekan wayang Indonesia di Jakarta 1993, Kalimantan Tengah dan pameran Seni Kriya Indonesia di Galeri Nasional Jakarta.
Sedangkan kegiatan di tingkat internasional antara lain menunjukkan kemampuan (demonstrasi) membuat patung pada anjungan Expo Sevilla Spanyol tahun 1992, ikut pameran di Jerman tahun 2001 dan 2002 dan pameran di Singapura.
I Ketut Muja yang masih enerjik pada usia senjanya itu seperti seniman Bali pada umumnya hidup bermasyarakat dalam lingkungan desa adat, sekaligus mengajar dan melatih generasi muda dalam membuat patung.
Belasan bahkan ratusan generasi muda dan masyarakat sekitarnya berguru padanya untuk membuat patung, antara lain I Nyoman Darma, Wayan Suanda, I Nyoman Rubig dan keempat dari lima putra-putrinya mewarisi keahlian membuat patung.
Selain itu juga aktif melakukan kegiatan sosial untuk membuat pratime, benda yang disakralkan desa adat di berbagai pura, membuat menara pengusungan jenazah untuk ritual pengabenan.
Kegiatan itu dilakoninya secara iklas tanpa mengharapkan imbalan balas jasa (ngayah), antara lain pernah dilakukannya di Pura Kahyangan Tiga Desa Yang Batu Denpasar, Desa Tinungan Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Jembrana.
Sejumlah karya patungnya kini menjadi koleksi antara lain Taman Budaya Denopasar, ISI Denpasar Museum Oei Hong Djien Magelang, Daetz Museum Jerman, Mosa Museum Belgia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
Hasil sentuhan tangan-tangan terampil itu kini menjadi koleksi sejumlah museum di mancanegara antara lain museum di Jerman dan sejumlah museum di Indonesia, termasuk Bali, tutur I Ketut Muja (70), asal Banjar Mukti, Desa Singapadu, Kabupaten Gianyar, Bali.
Pria kelahiran 31 Desember 1944 itu berawal dari belajar membuat topeng tradisi dari seniman I Wayan Tangguh, seniman dalam lingkungan desanya ketika baru berumur 13 tahun pada tahun 1957.
Sosok pria sederhana itu tidak puas hanya memiliki keterampilan membuat topeng, lalu belajar membuat bentuk-bentuk figur yang utuh seperti bentuk manusia.
Pria yang hanya tamatan sekolah rakyat atau tingkat sekolah dasar itu belajar membuat patung realis dan naturalis pada seniman andal I Made Rondin dan I Wayan Kompit di Banjar Paang Desa Penatih di Kota Denpasar maupun di Desa Bualu Nusa Dua kabupaten Badung.
Kreativitasnya yang terus bekembang sekitar tahun 1970-an membuat karya-karya patung yang bertemakan pewayangan yakni Ramayana dan Mahaberatha. Yang menonjol dan menjadi karya yang khas adalah patung hanoman.
Patung tersebut merupakan gabungan antara bentuk topeng tradisi dengan gaya patung realis dan naturalis dengan pahatan yang detail dan sangat rumit. Patung Hanoman karya pematung I Ketut Muja yang mulai dikenal pencinta seni mancanegara mulai tahun 1990-an.
Karya patungnya juga terus berkembang dan berinovasi dengan tema-tema sosial tentang hidup dan kehidupan yang dilandasi oleh ajaran Agama Hindu dan seni budaya Bali.
Suami dari Ni Made Robin mulai melakukan pameran di tingkat lokal Bali, nasional maupun internasional. Bahkan Pesta Kesenian Bali (PKB) yang kedua tahun 1979 ia tampil dalam pameran yang menyuguhkan karya-karya unik dan menarik yang khusus dibuatnya dari bahan akar-akar berbagai jenis kayu.
Hal itu mampu menarik perhatian besar dari pengunjung, di samping pameran serupa yang digelarnya di perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar, Sanur, Nusa Dua dan di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dalam memeriahkan konferensi Ramayana internasional.
Ayah dari lima putra-putri itu menuturkan, karya seni yang dihasilkan sangat tergantung dari pesan dan kesan dari sebuah akar kayu untuk selanjutnya diolah menjadi sebuah karya seni.
Masing-masing akar kayu itu sudah dibentuk oleh alam dan mempunyai idiologi untuk menghasilkan sebuah karya seni. Proses produksi tidak membutuhkan waktu lama, namun yang lama adalah mempelajari idiologi dari akar-akar kayu tersebut.
"Jika pesan dari akar itu sudah diketahui, proses produksi yang dikerjakan seorang diri tidak lebih dari dua minggu, bahkan akar yang berukuran tinggi empat meter lebar dua meter dapat dirampungkan dalam waktu setahun," ujarnya.
Nasional dan internasional
Ayah dari I Wayan Jana S.Sn, I Made Supena S.Sn, I Nyoman Sukesa, I Ketut Sugantika S.Sn dan Ni wayan Sugantini aktif mengikuti pameran selain di Bali juga di tingkat nasional dan internasional.
Pameran di tingkat nasional yang pernah diikutinya antara lain memeriahkan Jakarta Fair 1975-1976, pekan wayang Indonesia di Jakarta 1993, Kalimantan Tengah dan pameran Seni Kriya Indonesia di Galeri Nasional Jakarta.
Sedangkan kegiatan di tingkat internasional antara lain menunjukkan kemampuan (demonstrasi) membuat patung pada anjungan Expo Sevilla Spanyol tahun 1992, ikut pameran di Jerman tahun 2001 dan 2002 dan pameran di Singapura.
I Ketut Muja yang masih enerjik pada usia senjanya itu seperti seniman Bali pada umumnya hidup bermasyarakat dalam lingkungan desa adat, sekaligus mengajar dan melatih generasi muda dalam membuat patung.
Belasan bahkan ratusan generasi muda dan masyarakat sekitarnya berguru padanya untuk membuat patung, antara lain I Nyoman Darma, Wayan Suanda, I Nyoman Rubig dan keempat dari lima putra-putrinya mewarisi keahlian membuat patung.
Selain itu juga aktif melakukan kegiatan sosial untuk membuat pratime, benda yang disakralkan desa adat di berbagai pura, membuat menara pengusungan jenazah untuk ritual pengabenan.
Kegiatan itu dilakoninya secara iklas tanpa mengharapkan imbalan balas jasa (ngayah), antara lain pernah dilakukannya di Pura Kahyangan Tiga Desa Yang Batu Denpasar, Desa Tinungan Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Jembrana.
Sejumlah karya patungnya kini menjadi koleksi antara lain Taman Budaya Denopasar, ISI Denpasar Museum Oei Hong Djien Magelang, Daetz Museum Jerman, Mosa Museum Belgia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014