Denpasar (Antara Bali) - Pengamat pertanian Universitas Udayana (Unud) Denpasar, Prof. Dr. Wayan Windia melihat penyempitan lahan pertanian di Bali semakin menyulitkan para petani mendapatkan air dan mengelola sistem irigasi.
"Jika pengelolaan air irigasi yang menjadi kunci keberhasilan bidang pertanian itu kacau dikhawatirkan akan menghancurkan sistem subak itu sendiri," kata Ketua Pusat Penelitian Subak Unud itu di Denpasar, Jumat.
Ia mengatakan, organisasi sistem irigasi yang bersifat sosio-kultural itu memiliki berbagai keunggulan, namun tidak luput dari kelemahan, yakni tidak sanggup menahan intervensi dari pihak luar.
Intervensi itu antara lain yang berkait dengan alih fungsi lahan yang sangat deras terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini di Bali dan perkembangan teknologi bidang pertanian.
Ia mengingatkan jika kehancuran sistem subak itu sampai terjadi secara besar-besaran, maka dunia internasional kehilangan sebuah sistem irigasi yang paling baik.
"Yang lebih mengkhawatirkan adalah Bali kehilangan sebagian dari kebudayaannya, karena subak selama ini menjadi bemper kebudayaan," ujar Prof Windia.
Oleh sebab itu untuk melestarikan sistem irigasi subak di Bali, harus mampu mempertahankan keberlanjutan lahan sawah di Pulau Dewata.
Selain itu menjaga kelangsungan sumberdaya air untuk irigasi, mempertahankan batas-batas antarsubak yang jelas, menjaga sistem organisasi subak yang fleksibel, yakni sistem organisasi yang disesuaikan dengan kepentingan setempat.
Hal lain yang tidak kalah penting memperkokoh kelembagaan subak serta mempertahankan konsep harmoni dan kebersamaan dalam pola-pikir masyarakat (petani) dalam pengelolaan sistem irigasi, sesuai dengan konsep Tri Hita Karana (THK) yang melandasi sistem irigasi subak.
Windia menjelaskan, keberadaan sistem irigasi subak di Bali, berkait erat dengan sistem desa pakraman (desa adat) dan sistem desa dinas.
Banyak kawasan subak saling tumpang tindih dengan areal desa pakraman, dan areal desa dinas.
Dengan demikian, areal kawasan subak bisa terdapat dalam satu kawasan desa pakraman atau desa dinas, dan lain-lain. Bahkan satu kawasan subak melintasi lebih dari satu kecamatan, atau lebih dari satu kabupaten.
"Batas kawasan subak, bukanlah sama dengan batas-batas administratif desa, namun berdasarkan pada prinsip-prinsip hidrologis. Artinya, kawasan subak, sangat tergantung dari kemampuan suatu sumber air untuk mengairi suatu lahan tertentu," ujar Prof Windia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Jika pengelolaan air irigasi yang menjadi kunci keberhasilan bidang pertanian itu kacau dikhawatirkan akan menghancurkan sistem subak itu sendiri," kata Ketua Pusat Penelitian Subak Unud itu di Denpasar, Jumat.
Ia mengatakan, organisasi sistem irigasi yang bersifat sosio-kultural itu memiliki berbagai keunggulan, namun tidak luput dari kelemahan, yakni tidak sanggup menahan intervensi dari pihak luar.
Intervensi itu antara lain yang berkait dengan alih fungsi lahan yang sangat deras terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini di Bali dan perkembangan teknologi bidang pertanian.
Ia mengingatkan jika kehancuran sistem subak itu sampai terjadi secara besar-besaran, maka dunia internasional kehilangan sebuah sistem irigasi yang paling baik.
"Yang lebih mengkhawatirkan adalah Bali kehilangan sebagian dari kebudayaannya, karena subak selama ini menjadi bemper kebudayaan," ujar Prof Windia.
Oleh sebab itu untuk melestarikan sistem irigasi subak di Bali, harus mampu mempertahankan keberlanjutan lahan sawah di Pulau Dewata.
Selain itu menjaga kelangsungan sumberdaya air untuk irigasi, mempertahankan batas-batas antarsubak yang jelas, menjaga sistem organisasi subak yang fleksibel, yakni sistem organisasi yang disesuaikan dengan kepentingan setempat.
Hal lain yang tidak kalah penting memperkokoh kelembagaan subak serta mempertahankan konsep harmoni dan kebersamaan dalam pola-pikir masyarakat (petani) dalam pengelolaan sistem irigasi, sesuai dengan konsep Tri Hita Karana (THK) yang melandasi sistem irigasi subak.
Windia menjelaskan, keberadaan sistem irigasi subak di Bali, berkait erat dengan sistem desa pakraman (desa adat) dan sistem desa dinas.
Banyak kawasan subak saling tumpang tindih dengan areal desa pakraman, dan areal desa dinas.
Dengan demikian, areal kawasan subak bisa terdapat dalam satu kawasan desa pakraman atau desa dinas, dan lain-lain. Bahkan satu kawasan subak melintasi lebih dari satu kecamatan, atau lebih dari satu kabupaten.
"Batas kawasan subak, bukanlah sama dengan batas-batas administratif desa, namun berdasarkan pada prinsip-prinsip hidrologis. Artinya, kawasan subak, sangat tergantung dari kemampuan suatu sumber air untuk mengairi suatu lahan tertentu," ujar Prof Windia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014