Kawasan Desa Adat (Pekraman) Ole Kecamatan Marga, Kabupaten tabanan itu dikenal sebagai daerah gerilya pahlawan nasional I Gusti Ngurah Rai dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa dari tangan penjajah.
Di Pura Dalem Basa Ole kerap dipakai sebagai tempat bersemedi oleh I Gusti Ngurah Rai, beserta pasukannya Ciung Wanara pada 68 tahun silam tepatnya 19 Nopember 1946. Kini di lokasi itu berhasil dibangun patung monumen pahlawan nasional I Gusti Ngurah Rai beserta empat pembantunya.
Mereka terdiri atas Kapten I Gusti Bagus Sugianyar, Mayor I Gusti Putu Wisnu, Kapten Gusti Wayan Debes, dan Wagimin dengan tinggi masing-masing 230 centimeter di Pelataran Pura Dalem Base secara swadaya oleh masyarakat setempat, tutur Ketua panitia pembangunan tersebut I Wayan Supra.
Lewat pembangunan monumen tersebut seluruh warga masyarakat diharapkan tetap mampu berada dalam satu ikatan merah putih, dan menjunjung tinggi NKRI. Menyimpan kisah heroik Pura Dalem Base Desa Adat Ole menjadi saksi bisu karena 68 tahun silam, tepatnya 19 November 1946, sehari sebelum Perang Puputan Margarana, pasukan Ciung warana yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai sempat mengadakan persembahyangan bersama dan beberapa kali mengadakan pertemuan.
I Gusti Ngurah Rai yang kini diakui sebagai pahlawan nasional dengan pasukan Ciung wanaranya setelah melewati masa gerilia yang melelahkan, 14 Nopember 1946, staf Markas Besar Umum (MBU) DPRI Sunda Kecil pindah dari Desa Kuwum menuju Banjar Ole.
Di banjar yang sejuk dan damai itulah pasukan induk yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai melewati hari-hari yang menegangkan dan penuh warna. Mereka menginap dan berbaur dengan warga setempat, bersembahyang, mengatur strategi dan sempat bergembira dengan mementaskan tari jangger dan cetengklung, seni pencak silat.
Ketegangan berawal ketika pasukan induk itu mendengar informasi bahwa NICA yang dikoordinasikan oleh Van Mook berencana menyelenggarakan konferensi di Denpasar pada Desember 1946 untuk membentuk Negara Indonesia Timur.
Untuk menggagalkan konferensi itulah pada 18 Nopember 1946 Gusti Ngurah Rai memerintahkan Debes menyerbu tangsi NICA di Tabanan. Tujuannya untuk membobol tangsi dan merampas senjata.
Sekitar 380 orang dipersiapkan berangkat ke tangsi NICA di Tabanan untuk melakukan penyerbuan. Selain pasukan induk, sejumlah lelaki dewasa dari Banjar Ole juga ikut di dalam pasukan penyerbuan tangsi.
Sebelum berangkat, mereka melakukan persembahyangan di Pura Dalem Basa yang dipimpin oleh seorang pemangku, Pan Pasek (alm). Strategi penyerbuan disusun dengan rapi. Sebelum berangkat, I Gusti Ngurah Rai mengutus seorang pejuang wanita, Ni Lasti, menyampaikan surat dan bertemu dengan Wagimin, Kepala Polisi NICA di Tabanan, yang bekerja sama dengan pasukan Ngurah Rai.
Wagimin sangat setuju dengan upaya laskar rakyat untuk mendapatkan senjata. Sambil menunggu pasukan untuk menyerbu, Wagimin memerintahkan anak buahnya untuk konsinyir. Dan ketika pasukan penyerbu datang, Wagimin bergabung dengan mereka.
Penyerbuan pun berjalan mulus, dan mereka berhasil mendapatkan sejumlah senjata, antara lain dua pucuk bren, dua pucuk pistol mitraliu, 36 pucuk karben, dua pucuk senapan angin, 16 blek peluru dari berbagai jenis dan caliber, tiap-tiap blek berisi 500 butir peluru.
Selain senjata. pasukan juga berhasil menggondol dua mesin ketik. Bertepatan dengan terbitnya matahari di langit timur, pasukan kembali ke Banjar Ole dengan memanggul senjata hasil rampasan.
Wagimin pun ikut bergabung. Atas keberhasilan itu, Gusti Ngurah Rai dan kawan-kawan bergembira. Pasukan diizinkan beristirahat. Warga Banjar Ole pun ikut bergembira, sebelum besoknya 20 Nopember 1946 berhadap dalam perang puputan melawan NICA yang akhirnya gugur sebagai Ratna Kusuma Bangsa.
Pertempuran berlangsung di Subak Uma Kaang, sekitar 400 meter utara Desa Adat Ole untuk menghindari korban masyarakat sipil atau di tempat yang kini menjadi kawasan Candi Pahlawan Taman Pujaan Bangsa Margarana.
Ngurah Rai kemudian diakui sebagai pahlawan nasional yang namanya terpatri dalam setiap sanubari dan sebuah prasasti yang terpampang di depan candi tersebut.
Gubernur Beri Apresiasi
Gubernur Bali Made Mangku Pastika yang diwakili Kepala Dinas Sosial setempat Nyoman Wenten ketika meresmikan monumen perjuangan tersebut bertepatan dengan piodalan di Pura Dalem Base (3/6) memberikan apresiasi kepada masyarakat setempat.
"Pembangunan monumen ini mengingatkan kita tentang apa yang pernah terjadi di tempat suci ini 68 tahun silam, tepatnya 19 Nopember 1946, sehari sebelum Perang Puputan Margarana.
Pembangunan monumen diharapkan mampu mewariskan semangat dan nilai-nilai patriotisme dari I Gusti Ngurah Rai beserta pasukannya kepada generasi penerus bangsa, jatanta.
Selain itu juga dimaksudkan sebagai media yang akan menceritakan kepada generasi penerus tentang peristiwa yang pernah terjadi.
"Sejarah mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia, seperti yang diungkapkan Bung Karno bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa-jasa pahlawannya," katanya.
Sejarah bukanlah sekedar romantisme atau kenangan masa lalu, namun justru dari sejarah itulah dapat belajar untuk menemukan kembali nilai-nilai masa lalu yang dapat dijadikan pedoman untuk menghadapi masa depan, katanya.
Peristiwa bersejarah yang terjadi pada masa lalu dapat berimplikasi terhadap kehidupan bangsa dan negara.
Sementara Pangdam IX Udayana Mayor Jenderal TNI Wisnu Bawa Tenaya dalam sambutan tertulis dibacakan Kepala Pembinaan Mental (Kabintal) Kodam IX Udayana Kolonel CAJ I Dewa Ketut Buana menyatakan, jiwa patriotik, heroik dan militansi serta nasionalisme pahlawan nasional I Gusti Ngurah Rai harus menjadi penyemangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
"Kegigihan dan jiwa patriotisme tanpa pamrih sudah selayaknya apa yang dilakukan Pahlawan I Gusti Ngurah Rai menjadikan teladan bagi kita semua dalam mengabdikan diri kepada bangsa dan negara sesuai profesi masing-masing," katanya.
I Gusti Ngurah Rai seorang pahlawan dari Desa Carangsari, Kabupaten Badung yang semasa hidupnya berjuang dengan tanpa pamrih, tanpa menuntut jasa dan menghitung untung rugi, katanya.
Dengan semangat patriotisme yang tinggi Ngurah Rai terpanggil untuk mendarmabhaktikan jiwa dan raganya untuk mengusir penjajah dan rela meninggalkan keluarganya.
a mengharapkan keberadaan monumen tersebut senantiasa mengingatkan sekaligus memotivasi terutama generasi muda bangsa untuk meningkatkan rasa nasionalisme dan semangat kebangsaan.
Hanya dengan rasa nasionalisme yang tinggi negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap kokoh berdiri.
131 Kali Pertempuran
Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Provinsi Bali Djero Wiladja menyatakan, selama revolusi fisik periode 1945-1949 di Pulau Dewata terjadi 131 kali pertempuran melawan penjajah.
Di lokasi peristiwa kontak senjata itu sebagian besar telah berhasil dibangun monumen atau tonggak sejarah. Pembangunan monumen dan tonggak sejarah itu sebagai wujud penghargaan terhadap jasa-jasa para suhada yang telah gugur dalam menunaikan bakti, gugur dalam perjuangan kemerdekaan RI, katanya.
Mengabadikan peristiwa yang mempunyai nilai sejarah perjuangan kemerdekaan RI agar selalu diingat masyarakat dan generasi penerus sehingga abadi sepanjang masa.
Hal yang tidak kalah penting lainnya melestarikan jiwa, semangat, dan nilai-nilai perjuangan 1945 kepada generasi penerus bangsa. Sejarah bangsa terus berjalan tiada henti dan generasi muda sebagai putra putri terbaik bangsa hendaknya sadar mewarisi, mempertahankan, dan melanjutkan nilai-nilai luhur perjuangan para pendahulunya.
Ia mengatakan bercermin dari sejarah akan memberikan banyak manfaat untuk memperoleh berbagai pengetahuan seperti strategi dan teknik kepemimpinan, nilai kejuangan, kepahlawanan dan semangat patriotisme.
Kini para pelaku sejarah semakin berkurang, bahkan suatu saat nanti akan habis. Dengan adanya pembangunan monumen dan tonggak-tonggak sejarah itulah yang akan bisa bercerita kepada anak cucu kita nanti, harap Djero Wiladja yang ikut berjuang dalam revolusi fisik tersebut. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
Di Pura Dalem Basa Ole kerap dipakai sebagai tempat bersemedi oleh I Gusti Ngurah Rai, beserta pasukannya Ciung Wanara pada 68 tahun silam tepatnya 19 Nopember 1946. Kini di lokasi itu berhasil dibangun patung monumen pahlawan nasional I Gusti Ngurah Rai beserta empat pembantunya.
Mereka terdiri atas Kapten I Gusti Bagus Sugianyar, Mayor I Gusti Putu Wisnu, Kapten Gusti Wayan Debes, dan Wagimin dengan tinggi masing-masing 230 centimeter di Pelataran Pura Dalem Base secara swadaya oleh masyarakat setempat, tutur Ketua panitia pembangunan tersebut I Wayan Supra.
Lewat pembangunan monumen tersebut seluruh warga masyarakat diharapkan tetap mampu berada dalam satu ikatan merah putih, dan menjunjung tinggi NKRI. Menyimpan kisah heroik Pura Dalem Base Desa Adat Ole menjadi saksi bisu karena 68 tahun silam, tepatnya 19 November 1946, sehari sebelum Perang Puputan Margarana, pasukan Ciung warana yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai sempat mengadakan persembahyangan bersama dan beberapa kali mengadakan pertemuan.
I Gusti Ngurah Rai yang kini diakui sebagai pahlawan nasional dengan pasukan Ciung wanaranya setelah melewati masa gerilia yang melelahkan, 14 Nopember 1946, staf Markas Besar Umum (MBU) DPRI Sunda Kecil pindah dari Desa Kuwum menuju Banjar Ole.
Di banjar yang sejuk dan damai itulah pasukan induk yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai melewati hari-hari yang menegangkan dan penuh warna. Mereka menginap dan berbaur dengan warga setempat, bersembahyang, mengatur strategi dan sempat bergembira dengan mementaskan tari jangger dan cetengklung, seni pencak silat.
Ketegangan berawal ketika pasukan induk itu mendengar informasi bahwa NICA yang dikoordinasikan oleh Van Mook berencana menyelenggarakan konferensi di Denpasar pada Desember 1946 untuk membentuk Negara Indonesia Timur.
Untuk menggagalkan konferensi itulah pada 18 Nopember 1946 Gusti Ngurah Rai memerintahkan Debes menyerbu tangsi NICA di Tabanan. Tujuannya untuk membobol tangsi dan merampas senjata.
Sekitar 380 orang dipersiapkan berangkat ke tangsi NICA di Tabanan untuk melakukan penyerbuan. Selain pasukan induk, sejumlah lelaki dewasa dari Banjar Ole juga ikut di dalam pasukan penyerbuan tangsi.
Sebelum berangkat, mereka melakukan persembahyangan di Pura Dalem Basa yang dipimpin oleh seorang pemangku, Pan Pasek (alm). Strategi penyerbuan disusun dengan rapi. Sebelum berangkat, I Gusti Ngurah Rai mengutus seorang pejuang wanita, Ni Lasti, menyampaikan surat dan bertemu dengan Wagimin, Kepala Polisi NICA di Tabanan, yang bekerja sama dengan pasukan Ngurah Rai.
Wagimin sangat setuju dengan upaya laskar rakyat untuk mendapatkan senjata. Sambil menunggu pasukan untuk menyerbu, Wagimin memerintahkan anak buahnya untuk konsinyir. Dan ketika pasukan penyerbu datang, Wagimin bergabung dengan mereka.
Penyerbuan pun berjalan mulus, dan mereka berhasil mendapatkan sejumlah senjata, antara lain dua pucuk bren, dua pucuk pistol mitraliu, 36 pucuk karben, dua pucuk senapan angin, 16 blek peluru dari berbagai jenis dan caliber, tiap-tiap blek berisi 500 butir peluru.
Selain senjata. pasukan juga berhasil menggondol dua mesin ketik. Bertepatan dengan terbitnya matahari di langit timur, pasukan kembali ke Banjar Ole dengan memanggul senjata hasil rampasan.
Wagimin pun ikut bergabung. Atas keberhasilan itu, Gusti Ngurah Rai dan kawan-kawan bergembira. Pasukan diizinkan beristirahat. Warga Banjar Ole pun ikut bergembira, sebelum besoknya 20 Nopember 1946 berhadap dalam perang puputan melawan NICA yang akhirnya gugur sebagai Ratna Kusuma Bangsa.
Pertempuran berlangsung di Subak Uma Kaang, sekitar 400 meter utara Desa Adat Ole untuk menghindari korban masyarakat sipil atau di tempat yang kini menjadi kawasan Candi Pahlawan Taman Pujaan Bangsa Margarana.
Ngurah Rai kemudian diakui sebagai pahlawan nasional yang namanya terpatri dalam setiap sanubari dan sebuah prasasti yang terpampang di depan candi tersebut.
Gubernur Beri Apresiasi
Gubernur Bali Made Mangku Pastika yang diwakili Kepala Dinas Sosial setempat Nyoman Wenten ketika meresmikan monumen perjuangan tersebut bertepatan dengan piodalan di Pura Dalem Base (3/6) memberikan apresiasi kepada masyarakat setempat.
"Pembangunan monumen ini mengingatkan kita tentang apa yang pernah terjadi di tempat suci ini 68 tahun silam, tepatnya 19 Nopember 1946, sehari sebelum Perang Puputan Margarana.
Pembangunan monumen diharapkan mampu mewariskan semangat dan nilai-nilai patriotisme dari I Gusti Ngurah Rai beserta pasukannya kepada generasi penerus bangsa, jatanta.
Selain itu juga dimaksudkan sebagai media yang akan menceritakan kepada generasi penerus tentang peristiwa yang pernah terjadi.
"Sejarah mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia, seperti yang diungkapkan Bung Karno bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa-jasa pahlawannya," katanya.
Sejarah bukanlah sekedar romantisme atau kenangan masa lalu, namun justru dari sejarah itulah dapat belajar untuk menemukan kembali nilai-nilai masa lalu yang dapat dijadikan pedoman untuk menghadapi masa depan, katanya.
Peristiwa bersejarah yang terjadi pada masa lalu dapat berimplikasi terhadap kehidupan bangsa dan negara.
Sementara Pangdam IX Udayana Mayor Jenderal TNI Wisnu Bawa Tenaya dalam sambutan tertulis dibacakan Kepala Pembinaan Mental (Kabintal) Kodam IX Udayana Kolonel CAJ I Dewa Ketut Buana menyatakan, jiwa patriotik, heroik dan militansi serta nasionalisme pahlawan nasional I Gusti Ngurah Rai harus menjadi penyemangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
"Kegigihan dan jiwa patriotisme tanpa pamrih sudah selayaknya apa yang dilakukan Pahlawan I Gusti Ngurah Rai menjadikan teladan bagi kita semua dalam mengabdikan diri kepada bangsa dan negara sesuai profesi masing-masing," katanya.
I Gusti Ngurah Rai seorang pahlawan dari Desa Carangsari, Kabupaten Badung yang semasa hidupnya berjuang dengan tanpa pamrih, tanpa menuntut jasa dan menghitung untung rugi, katanya.
Dengan semangat patriotisme yang tinggi Ngurah Rai terpanggil untuk mendarmabhaktikan jiwa dan raganya untuk mengusir penjajah dan rela meninggalkan keluarganya.
a mengharapkan keberadaan monumen tersebut senantiasa mengingatkan sekaligus memotivasi terutama generasi muda bangsa untuk meningkatkan rasa nasionalisme dan semangat kebangsaan.
Hanya dengan rasa nasionalisme yang tinggi negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap kokoh berdiri.
131 Kali Pertempuran
Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Provinsi Bali Djero Wiladja menyatakan, selama revolusi fisik periode 1945-1949 di Pulau Dewata terjadi 131 kali pertempuran melawan penjajah.
Di lokasi peristiwa kontak senjata itu sebagian besar telah berhasil dibangun monumen atau tonggak sejarah. Pembangunan monumen dan tonggak sejarah itu sebagai wujud penghargaan terhadap jasa-jasa para suhada yang telah gugur dalam menunaikan bakti, gugur dalam perjuangan kemerdekaan RI, katanya.
Mengabadikan peristiwa yang mempunyai nilai sejarah perjuangan kemerdekaan RI agar selalu diingat masyarakat dan generasi penerus sehingga abadi sepanjang masa.
Hal yang tidak kalah penting lainnya melestarikan jiwa, semangat, dan nilai-nilai perjuangan 1945 kepada generasi penerus bangsa. Sejarah bangsa terus berjalan tiada henti dan generasi muda sebagai putra putri terbaik bangsa hendaknya sadar mewarisi, mempertahankan, dan melanjutkan nilai-nilai luhur perjuangan para pendahulunya.
Ia mengatakan bercermin dari sejarah akan memberikan banyak manfaat untuk memperoleh berbagai pengetahuan seperti strategi dan teknik kepemimpinan, nilai kejuangan, kepahlawanan dan semangat patriotisme.
Kini para pelaku sejarah semakin berkurang, bahkan suatu saat nanti akan habis. Dengan adanya pembangunan monumen dan tonggak-tonggak sejarah itulah yang akan bisa bercerita kepada anak cucu kita nanti, harap Djero Wiladja yang ikut berjuang dalam revolusi fisik tersebut. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014