Denpasar (Antara Bali) - Indonesia masih kekurangan ahli di bidang farmakoekonomi sehingga problem obat-obatan yang harganya tidak terjangkau oleh masyarakat luas belum terpecahkan.
"Ahli farmakoekonomi di negara kita hanya segelintir. Kita baru bisa menghasilkan beberapa lulusan S-2. Sementara tetangga kita, Malaysia dan Singapura, sudah banyak menghasilkan S-3 di bidang farmakoekonomi," kata `President of International Society for Pharmacoeconomics Outcome Research (ISPOR) Indonesia Chapter` Ahmad Fuad Afdhal Ph.D di Sanur, Denpasar, Minggu malam.
Menurut dia, Indonesia membutuhkan banyak tenaga ahli di bidang farmakoekonomi yang penelitiannya mampu memberikan kontribusi pada bidang pelayanan kesehatan yang murah, efisien, dan berdaya guna.
Meskipun demikian, dia melihat dalam tiga tahun ISPOR Indonesia berdiri, ahli farmasi sudah mulai tertarik menggeluti bidang farmakoekonomi.
"Tiga tahun ISPOR ini ada di Indonesia baru sebatas menerbitkan buku pegangan untuk peneliti dan membuka jurusan Farmakoekonomi di FKM (Fakultas Kesehatan Masyarakat) UI (Universitas Indonesia)," ucapnya seusai membuka Konferensi ISPOR itu.
Sejauh ini pemerintah belum memberikan perhatian pada penelitian di bidang farmakoekonomi. "Hanya beberapa perguruan tinggi yang mendanai penelitian ini. Kalau industri farmasi di Indonesia belum ada yang mendanai penelitian ini," ujarnya.
Fuad tidak banyak berharap pada industri farmasi untuk mendanai penelitian di bidang farmakoekonomi karena dianggap tidak menguntungkan dari sisi bisnis.
"Padahal, sudah mulai banyak ahli farmasi yang tertarik pada farmakekonomi. Mudah-mudahan konferensi ISPOR yang pertama kalinya digelar di Indonesia ini bisa menjadi momentum lahirnya banyak ahli farmakoekonomi," ucapnya, menambahkan.
Ia mengemukakan bahwa farmakoekonomi bukan hanya menciptakan obat-obatan yang murah, melainkan juga efektif bagi pasien penyakit tertentu. "Murah saja tidak cukup. Murah tapi penggunaannya harus berulang-ulang, tentu tidak efektif. Sekarang ini, bagaimana menghasilkan obat dengan harga terjangkau, tapi efektif," kata Fuad.
Konferensi ISPOR di Denpasar pada 24-27 Mei 2014 itu diikuti oleh utusan dari berbagai negara, seperti Kanada, Australia, Malaysia, Singapura, dan tuan rumah Indonesia. (M038)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Ahli farmakoekonomi di negara kita hanya segelintir. Kita baru bisa menghasilkan beberapa lulusan S-2. Sementara tetangga kita, Malaysia dan Singapura, sudah banyak menghasilkan S-3 di bidang farmakoekonomi," kata `President of International Society for Pharmacoeconomics Outcome Research (ISPOR) Indonesia Chapter` Ahmad Fuad Afdhal Ph.D di Sanur, Denpasar, Minggu malam.
Menurut dia, Indonesia membutuhkan banyak tenaga ahli di bidang farmakoekonomi yang penelitiannya mampu memberikan kontribusi pada bidang pelayanan kesehatan yang murah, efisien, dan berdaya guna.
Meskipun demikian, dia melihat dalam tiga tahun ISPOR Indonesia berdiri, ahli farmasi sudah mulai tertarik menggeluti bidang farmakoekonomi.
"Tiga tahun ISPOR ini ada di Indonesia baru sebatas menerbitkan buku pegangan untuk peneliti dan membuka jurusan Farmakoekonomi di FKM (Fakultas Kesehatan Masyarakat) UI (Universitas Indonesia)," ucapnya seusai membuka Konferensi ISPOR itu.
Sejauh ini pemerintah belum memberikan perhatian pada penelitian di bidang farmakoekonomi. "Hanya beberapa perguruan tinggi yang mendanai penelitian ini. Kalau industri farmasi di Indonesia belum ada yang mendanai penelitian ini," ujarnya.
Fuad tidak banyak berharap pada industri farmasi untuk mendanai penelitian di bidang farmakoekonomi karena dianggap tidak menguntungkan dari sisi bisnis.
"Padahal, sudah mulai banyak ahli farmasi yang tertarik pada farmakekonomi. Mudah-mudahan konferensi ISPOR yang pertama kalinya digelar di Indonesia ini bisa menjadi momentum lahirnya banyak ahli farmakoekonomi," ucapnya, menambahkan.
Ia mengemukakan bahwa farmakoekonomi bukan hanya menciptakan obat-obatan yang murah, melainkan juga efektif bagi pasien penyakit tertentu. "Murah saja tidak cukup. Murah tapi penggunaannya harus berulang-ulang, tentu tidak efektif. Sekarang ini, bagaimana menghasilkan obat dengan harga terjangkau, tapi efektif," kata Fuad.
Konferensi ISPOR di Denpasar pada 24-27 Mei 2014 itu diikuti oleh utusan dari berbagai negara, seperti Kanada, Australia, Malaysia, Singapura, dan tuan rumah Indonesia. (M038)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014