Jakarta (Antara Bali) - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengusulkan pengurangan
besaran bea keluar ekspor konsentrat mineral sesuai progres pembangunan
fasilitas pemurnian ("smelter").
Berdasarkan dokumen yang diperoleh wartawan di Jakarta, Jumat, usulan yang disampaikan ke Kementerian Keuangan tersebut juga disesuaikan dengan besaran volume ekspornya.
Kemenperin mengusulkan, semakin besar kemajuan pembangunan "smelter", maka semakin kecil pengenaan besaran bea keluar dan sebaliknya semakin besar volume ekspornya.
Jika progres "smelter" mencapai 35 persen atau sudah memasuki tahap studi kelayakan dan peletakan batu pertama (groundbreaking), maka diberikan bea keluar sebesar 20 persen dengan volume ekspor konsentrat dibatasi maksimal sebesar 30 persen dari kapasitas produksi.
Lalu, kalau progres "smelter" sudah sebesar 85 persen atau berarti memasuki tahap komisioning, maka bea keluar diturunkan menjadi 15 persen, dengan volume ekspor konsentrat dinaikkan menjadi 50 persen produksi.
Sedangkan, jika progres "smelter" sudah mencapai 90 persen yang berarti mencakup pembangunan fasilitas pendukung, maka besaran bea keluar diturunkan menjadi 10 persen dan volume ekspor bisa mencapai 60 persen dari kapasitas produksi.
Terakhir, jika "smelter" sudah sampai 100 persen yang berarti sudah terbangun atau berproduksi komersial, maka tidak dikenakan lagi bea keluar atau 0 persen dan dilarang ekspor lagi atau semua produksi sudah harus dimurnikan di dalam negeri.
Perusahaan tambang mineral termasuk PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara keberatan pengenaan besaran bea keluar sesuai Peraturan Menteri Keuangan No 6/PMK.011/2014 dan meminta pengurangan.
Sesuai PMK tersebut, perusahaan tambang harus membayar bea keluar secara progresif dengan besaran 20-60 persen pada periode 2014-2016.
PMK tersebut merupakan amanat UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menyebutkan, semua produk mineral harus diolah dan dimurnikan di dalam negeri. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
Berdasarkan dokumen yang diperoleh wartawan di Jakarta, Jumat, usulan yang disampaikan ke Kementerian Keuangan tersebut juga disesuaikan dengan besaran volume ekspornya.
Kemenperin mengusulkan, semakin besar kemajuan pembangunan "smelter", maka semakin kecil pengenaan besaran bea keluar dan sebaliknya semakin besar volume ekspornya.
Jika progres "smelter" mencapai 35 persen atau sudah memasuki tahap studi kelayakan dan peletakan batu pertama (groundbreaking), maka diberikan bea keluar sebesar 20 persen dengan volume ekspor konsentrat dibatasi maksimal sebesar 30 persen dari kapasitas produksi.
Lalu, kalau progres "smelter" sudah sebesar 85 persen atau berarti memasuki tahap komisioning, maka bea keluar diturunkan menjadi 15 persen, dengan volume ekspor konsentrat dinaikkan menjadi 50 persen produksi.
Sedangkan, jika progres "smelter" sudah mencapai 90 persen yang berarti mencakup pembangunan fasilitas pendukung, maka besaran bea keluar diturunkan menjadi 10 persen dan volume ekspor bisa mencapai 60 persen dari kapasitas produksi.
Terakhir, jika "smelter" sudah sampai 100 persen yang berarti sudah terbangun atau berproduksi komersial, maka tidak dikenakan lagi bea keluar atau 0 persen dan dilarang ekspor lagi atau semua produksi sudah harus dimurnikan di dalam negeri.
Perusahaan tambang mineral termasuk PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara keberatan pengenaan besaran bea keluar sesuai Peraturan Menteri Keuangan No 6/PMK.011/2014 dan meminta pengurangan.
Sesuai PMK tersebut, perusahaan tambang harus membayar bea keluar secara progresif dengan besaran 20-60 persen pada periode 2014-2016.
PMK tersebut merupakan amanat UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menyebutkan, semua produk mineral harus diolah dan dimurnikan di dalam negeri. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014