Taman yang tertata rapi di sepanjang desa adat Penglipuran, salah satu desa tradisional yang dikembangkan sebagai desa wisata di kabupaten Bangli, Bali tampak amat serasi dengan "angkul-angkul" pintu gerbang rumah penduduk.

Pintu gerbang itu menuju ke masing-masing rumah tangga yang terlihat seragam satu sama lain dengan menggunakan atap bambu, yang dibuat sedemikian rupa yang mampu menjadi salah satu daya tarik pelancong berkunjung ke sana.

Hampir ratusan angkul-angkul dan penataan lingkungan itu dilakukan secara swadaya yang secara resmi Desa Penglipuran itu sebagai desa wisata sejak tahun 1995 yang diresmikan oleh Menteri Pariwisata waktu itu Soesilo Soedarman (Alm).

Kebersihan dan kelestarian lingkungan hingga kini tetap dipertahankan, dan bagi warga yang tidak membersihkan lingkungannya, khususnya di depan pintu gerbang masing-masing dikenakan sanksi, sesuai kesepakatan warga bersama, tutur Bendesa Adat Penglipuran I Wayan Supat.

Demikian pula rumah di masing-masing pekarangan ditata sedemikian rupa mencerminkan arsitektur perumahan khas gaya Penglipuran yang diwarisi secara turun temurun.

Desa adat Penglipuran yang masuk wilayah Kelurahan Kubu, kabupaten Bangli, sekitar 60 km timur laut Denpasar itu, pernah pula menerima penghargaan "Kalpataru" penghargaan tertinggi pemerintah pusat untuk penyelamatan lingkungan tahun 1995.

Desa Penglipuran yang berada di jalur objek wisata menuju Kintamani, Pura Besakih, Bali timur itu sebagian besar masyarakatnya sebagai petani, namun kini mulai beralih menekuni usaha industri kecil dan kerajinan rumah tangga dengan memanfaatkan bambu sebagai bahan bakunya.

Bahan baku bambu itu tersedia dalam jumlah yang memadai, karena tumbuh di masing-masing pekarangan maupun di atas areal 85 hektare milik warga bersama (laba pura) di desa adat tersebut.

Hutan bambu itu diperkirakan sudah ada sejak abat XI yang dibuktikan dengan adanya bangunan suci (pelinggih) "Ratu Sakti Mas Pahit" di sekitar Desa Penglipuran.

Falsafah "Tri Hita Karana"

Penglipuran, salah satu desa tradisional yang kini berkembang menjadi desa wisata, meskipun tersentuh modernisasi yakni perubahan ke arah yang maju, namun tata letak perumahan di masing-masing keluarga tetap menganut falsafah "Tri Hita karana", yakni hubungan yang harmonis dan serasi antara sesama manusia, lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa.

Masyarakat Desa Pekraman Penglipuran, di mana generasi mudanya hampir seluruhnya menikmati pendidikan formal mulai dari SD hingga perguruan tinggi tetap melestarikan bangunan suci yang lokasinyaa di hulu, perumahan di tengah dan lahan usaha tani di pinggir (hilir) dari luas desa seluruhnya 112 hektare.

Demikiaan pula perumahan di masing-masing keluarga hampir seragam mulai dari pintu gerbang, bangunan suci (merajan), dapur, tempat tidur (bale), ruangan tamu, lumbung (tempat menyimpan padi) dan kamar mandi.

Masyarakat yang membangun maupun merenovasi rumah baik sekarang maupun dimasa mendatang wajib mematuhi aturan itu, jika melanggar dikenakan sanksi sesuai kesepakatan warga.

Kendatipun bentuk bangunan di masing-masing keluarga tetap utuh dan lestari, namun ruangan tamu atau "bale Delod", bangunan khusus untuk tempat upacara adat ada yang disulap menjadi toko tempat memajangkan aneka jenis cindera mata hasil sentuhan perajin setempat.

Masyarakat memajangkan hasil kreativitasnya berupa kain tenunan tradisional maupun berbagai jenis cindera mata berbahan baku bambu yang senantiasa diminati pelancong, tutur Bendesa Adat Penglipuran I Wayan Supat.

Dekat kampus

Keberadaan desa wisata Penglipuran kini cukup dekat dengan kampus Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar yang dipindahkan ke Desa Kubu yang jaraknya hanya sekitar satu kilometer utara Penglipuran.

Sebagian kampur IHDN tetap ada di Denpasar untuk proses tempat belajar mengajar program pascasarjana (S-2 dan S-3), sementara kampus di Bangli untuk mahasiswa S-1.

Pembangunan kampus di atas lahan 12 hektare itu juga didasarkan atas berbagai pertimbangan, salah satu di antaranya bertetangga dengan Desa Adat Penglipuran yang hingga kini tetap lestari, kokoh dalam mempertahankan adat dan tradisi yang diwarisi secara turun temurun itu.

Desa Penglipuran juga pernah dipercaya sebagai tempat pelaksanaan kampanye makan ikan dan promosi hasil-hasil perikanan tingkat provinsi Bali hampir setiap hari ramai dikunjungi wisatawan dalam dan luar negeri.

Desa tersebut lokasinya cukup strategis, karena berada di jalur menuju objek wisata Kintamani, sehingga pelancong dalam perjalanannya itu juga dapat singgah dan menikmati objek wisata Desa Penglipuran.

Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Ida Bagus Kade Subhiksu mengatakan, Pemerintah Provinsi Bali bertekad untuk terus meningkatkan jumlah desa wisata, sebagai alternatif objek wisata baru bagi wisatawan dalam dan luar negeri dalam menikmati liburan di Pulau Dewata.

Pemprov Bali dalam tahun 2015 akan mengalokasikan dana sebesar Rp7,5 miliar untuk pengelolaan 25 desa wisata baru, atau masing-masing sebesar Rp300 juta.

Sasaran penambahan desa wisata baru itu di Bali itu sebanyak 100 desa dalam empat tahun kurun waktu 2015-2018, sesuai dengan program Bali Mandara jilid II.

Untuk itu Dinas Pariwisata Provinsi Baki sudah melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota di daerah ini agar membantu mengusulkan desa-desa yang pantas dikembangkan desa desa wisata sekaligus mendapat kucuran dana.

Hingga kini sudah masuk usulan 180 desa dari pemkab/pemkot se-Bali dan kini sedang diseleksi lagi menjadi 100 desa sesuai dengan target Pemerintah Provinsi Bali.

Desa yang dikembangkan menjadi desa wisata harus memenuhi berbagai kriteria, di antaranya dengan melihat potensi dan daya tarik yang dimiliki, tutur Ida Bagus Kade Subhiksu. (ADT)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014