Jakarta (Antara Bali) - Orasi Sinema berjudul "Film Indonesia dan Identitas Nasional dalam Kondisi Pascanasional" menjadi salah satu rangkaian acara dalam memperingati hari Film Nasional yang jatuh pada tanggal 30 Maret nanti.

Dalam orasinya, Seno Gumira Ajidarma mengemukakan film Indonesia ditetapkan sebagai film nasional umumnya berdasarkan pertimbangan teritorial: dibuat oleh orang Indonesia, dibuat di Indonesia dengan modal Indonesia, dan mengangkat persoalan Indonesia.

"Dengan kata lain, meskipun 100 persen merupakan produksi Indonesia, bagaimanakah pertanggungjawabannya sebagai representasi identitas nasional, jika secara tekstual hanyalah mengacu dramaturgi film Hollywood," katanya saat berorasi di Galeri Indonesia Kaya, Kamis (27/3) malam.

Film dapat terhubung dengan identitas nasional dengan pertimbangan fungsional, yaitu dengan tidak meminjam bahasa Hollywood dan pertimbangan relasional, hubungan film dengan kebangsaan dan kebudayaan Indonesia.

Menurutnya, dengan melihat pertimbangan relasional, film Indonesia yang beredar di festival internasional dengan modal non-Indonesia, contohnya garapan Garin Nugroho, mendapat fungsinya sebagai representasi negara.

"Secara tekstual terhubungkan dengan kuat kepada akar budaya, yakni dalam kenyataannya non-Hollywood," jelasnya.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bersama Badan Perfilman Indonesia mengadakan serangkaian kegiatan untuk memperingati Hari Film Nasional ke-64.

Di Jakarta, selain Orasi Sinema, akan diadakan juga diskusi film di Djakarta Theater pada 1 April dengan pembicara Garin Nugroho. Puncak peringatan Hari Film Nasional akan diadakan pada 1 April di tempat yang sama dengan pemutaran "Darah dan Doa" karya Usmar Ismail.

30 Maret ditetapkan sebagai Hari Film Nasional mengacu pada hari pertama pengambilan gambar film "Darah dan Doa". (WDY)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014