Denpasar (Antara Bali) - Seniman serba bisa Nyoman Erawan (56) bakal bersanding dengan para penyair terkemuka Bali dalam kegiatan bertajuk "Erawan Vs Penyair Sejati: Salvation of The Soul Ritus Bunyi Kata Rupa".
"Kegiatan itu digelar di Antida Sound Garden, kawasan Jalan Waribang, Denpasar, Sabtu (15/3)," kata Nyoman Erawan di Denpasar, Kamis.
Aktivitas seni di atas kanvas itu akan direspons para penyair, antara lain Umbu Landu Paranggi, Warih Wisatsana, Cok Sawitri, Tan Loe Ie, Oka Rusmini, Nyoman Wirata, Mas Ruscita Dewi, Jenkie Sunarta, dan Wayan Juniarta,
Seniman yang sukses menggelar pameran di tingkat lokal, nasional, dan internasional itu akan menampilkan karya performance yang direspons para penyair dengan puisi.
Kolaborasi itu seperti teater ritus, yakni teater namun ada proses ritual. Pemilihan tema "Erawan Vs Penyair", memang terdengar sangat provokatif, namun para penyair sejatinya adalah para sahabat yang sering memberi semangat dalam menghasilkan karya seni, katanya.
Nyoman Erawan dalam eksistensi di dunia seni itu menyuguhkan subtema "Salvation of The Soul Ritus Bunyi Kata Rupa", yakni sebagai pembersihan jiwa dari olahan unsur bunyi, rupa dalam bentuk ritus.
Alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu juga sebagai mentor dalam kegiatan tersebut bertindak menjadi posisi merespons dari musik dan gerak.
"Konsepnya sangat sederhana karena saya tidak punya konsep matang. Ini semuanya adalah orang-orang yang saya ajak baru mulai menunjukkan eksistensi diri dan bergaul dengan teman-teman sudah dari tahun 1990-an," ujar Nyoman Erawan.
Saat itu ada sanggar minum kopi, pihaknya banyak bergaul dengan mereka. Sangat multi sambil menemukan eksistensi diri.
Pihaknya juga sangat dekat dengan para penyair dan selama ini ikut memberikan dorongan dalam menciptakan karya performans sekaligus memberikan dorongan semangat.
"Mereka juga bagian dari perjalanan karir saya," terang Erawan.
Ia menjelaskan, pagelaran ritus kali ini juga bisa digiring ke mana saja, namun mereka berbicara secara umum.
Oleh sebab itu di tahun politik ini, pagelaran yang ditampilkan tentu menjadi sebuah cara para seniman untuk membuat sebuah ritual untuk keselamatan kosmos.
"Tetapi, kita tidak tahu nanti apa yang terjadi. Saya yakin mereka punya kepekaan tersendiri dalam merespons," ujar Nyoman Erawan.
Kegiatan spontanitas dari para penyair itu akan mengalir serta kebanyakan dengan improvisasi. Hanya saja, dari struktur dasarnya dari sisi musikal, teater dan puisi yang sudah mereka pegang secara mapan.
Cok Sawitri penyair yang bakal ikut terlibat dalam teater ritus tersebut menambahkan, pihaknya mencoba mengamati kembali Erawan dan pikiran ritus "nemu gelang", yakni bagaimana semua titik-titik spiritual yang tak terbaca, tak terasa, tak terwujudkan bergerak dalam bentuk gerak, berusaha diwujudkan.
Hal itu dapat ditemukan dalam tradisi "ngarejang" di desa-desa tua. "Bahwa titik-titik itu diwakili oleh para penari "rejang", yang bergandeng melingkar, namun tidak saling berhadapan.
"Warna-warni dan keheningan, bunyi sebagai suara agung tidak dalam disajikan melodious, namun langit, bumi, berbagai elemen saling berkejaran dan semua mata diarahkan pada sang panggung yakni diri, " jelas Cok Sawitri. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Kegiatan itu digelar di Antida Sound Garden, kawasan Jalan Waribang, Denpasar, Sabtu (15/3)," kata Nyoman Erawan di Denpasar, Kamis.
Aktivitas seni di atas kanvas itu akan direspons para penyair, antara lain Umbu Landu Paranggi, Warih Wisatsana, Cok Sawitri, Tan Loe Ie, Oka Rusmini, Nyoman Wirata, Mas Ruscita Dewi, Jenkie Sunarta, dan Wayan Juniarta,
Seniman yang sukses menggelar pameran di tingkat lokal, nasional, dan internasional itu akan menampilkan karya performance yang direspons para penyair dengan puisi.
Kolaborasi itu seperti teater ritus, yakni teater namun ada proses ritual. Pemilihan tema "Erawan Vs Penyair", memang terdengar sangat provokatif, namun para penyair sejatinya adalah para sahabat yang sering memberi semangat dalam menghasilkan karya seni, katanya.
Nyoman Erawan dalam eksistensi di dunia seni itu menyuguhkan subtema "Salvation of The Soul Ritus Bunyi Kata Rupa", yakni sebagai pembersihan jiwa dari olahan unsur bunyi, rupa dalam bentuk ritus.
Alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu juga sebagai mentor dalam kegiatan tersebut bertindak menjadi posisi merespons dari musik dan gerak.
"Konsepnya sangat sederhana karena saya tidak punya konsep matang. Ini semuanya adalah orang-orang yang saya ajak baru mulai menunjukkan eksistensi diri dan bergaul dengan teman-teman sudah dari tahun 1990-an," ujar Nyoman Erawan.
Saat itu ada sanggar minum kopi, pihaknya banyak bergaul dengan mereka. Sangat multi sambil menemukan eksistensi diri.
Pihaknya juga sangat dekat dengan para penyair dan selama ini ikut memberikan dorongan dalam menciptakan karya performans sekaligus memberikan dorongan semangat.
"Mereka juga bagian dari perjalanan karir saya," terang Erawan.
Ia menjelaskan, pagelaran ritus kali ini juga bisa digiring ke mana saja, namun mereka berbicara secara umum.
Oleh sebab itu di tahun politik ini, pagelaran yang ditampilkan tentu menjadi sebuah cara para seniman untuk membuat sebuah ritual untuk keselamatan kosmos.
"Tetapi, kita tidak tahu nanti apa yang terjadi. Saya yakin mereka punya kepekaan tersendiri dalam merespons," ujar Nyoman Erawan.
Kegiatan spontanitas dari para penyair itu akan mengalir serta kebanyakan dengan improvisasi. Hanya saja, dari struktur dasarnya dari sisi musikal, teater dan puisi yang sudah mereka pegang secara mapan.
Cok Sawitri penyair yang bakal ikut terlibat dalam teater ritus tersebut menambahkan, pihaknya mencoba mengamati kembali Erawan dan pikiran ritus "nemu gelang", yakni bagaimana semua titik-titik spiritual yang tak terbaca, tak terasa, tak terwujudkan bergerak dalam bentuk gerak, berusaha diwujudkan.
Hal itu dapat ditemukan dalam tradisi "ngarejang" di desa-desa tua. "Bahwa titik-titik itu diwakili oleh para penari "rejang", yang bergandeng melingkar, namun tidak saling berhadapan.
"Warna-warni dan keheningan, bunyi sebagai suara agung tidak dalam disajikan melodious, namun langit, bumi, berbagai elemen saling berkejaran dan semua mata diarahkan pada sang panggung yakni diri, " jelas Cok Sawitri. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014