Denpasar (Antara Bali) - Organisasi dunia yang membidangi masalah pangan (FAO) memperkirakan sekitar 27 juta ton sumber daya laut dalam aktivitas perikanan komersial terbuang setiap tahunnya.
"Hal itu akibat praktik perikanan yang tidak selektif sehingga menghasilkan tangkapan sampingan (bycatch)," kata Kepala Pusat Analisis Kerjasama Internasional dan Antarlembaga Kantor Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) RI Anang Noegroho di Sanur, Bali, Selasa.
Seusai acara pembukaan Pertemuan Coral Triangle Fishers Forum (CTFF) yang melibatkan utusan dari 12 negara, ia mengatakan, sumber daya laut yang terbuang namun mempunyai nilai ekonomi tinggi itu menjadi salah satu agenda utama dalam pertemuan kali ini.
Hasil tangkapan sampingan oleh kapal-kapal nelayan yang tidak menjadi sasaran penangkapan itu sebagian besar dibuang kembali ke laut, tidak dikelola dan tidak dibutuhkan.
Salah satu upaya mengatasi dampak dari tangkapan sampingan tersebut, kata dia, dengan melakukan modifikasi alat-alat tangkap ikan, antara lain pancing dan jaring.
"Dengan melakukan modifikasi terhadap alat-alat penangkapan ikan, diharapkan ikan-ikan yang tidak menjadi sasaran penangkapan dapat diselamatkan," kata Anang Noegroho.
Dengan demikian, lanjut dia, tangkapan sampingan dapat dihindari, karena hingga saat ini diperkirakan 10-15 persen dari total produksi adalah jenis-jenis ikan yang sebenarnya tidak diinginkan.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Dedi Sutrisna menambahkan meningkatnya jumlah sisa hasil tangkapan perikanan merupakan isu yang paling penting dalam konservasi dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.
"Mengurangi 'bycatch' berarti meningkatkan kualitas produk perikanan sekaligus upaya mengelola bidang perikanan yang ramah lingkungan," katanya.
Negara-negara yang menjadi anggota Coral Triangle Intiative memiliki perhatian yang serius terhadap upaya mengurangi hasil tangkapan sampingan dan mengalihkan perhatian untuk mengelola perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Pertemuan selama tiga hari itu melibatkan kalangan industri perikanan, peneliti, akademisi, asosiasi, nelayan dan para importir/eksportir produk perikanan dari Filipina, Thailand, Vietnam, Hongkong, Jepang, Uni Eropa, Amerika Serikat dan tuan rumah Indonesia.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010
"Hal itu akibat praktik perikanan yang tidak selektif sehingga menghasilkan tangkapan sampingan (bycatch)," kata Kepala Pusat Analisis Kerjasama Internasional dan Antarlembaga Kantor Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) RI Anang Noegroho di Sanur, Bali, Selasa.
Seusai acara pembukaan Pertemuan Coral Triangle Fishers Forum (CTFF) yang melibatkan utusan dari 12 negara, ia mengatakan, sumber daya laut yang terbuang namun mempunyai nilai ekonomi tinggi itu menjadi salah satu agenda utama dalam pertemuan kali ini.
Hasil tangkapan sampingan oleh kapal-kapal nelayan yang tidak menjadi sasaran penangkapan itu sebagian besar dibuang kembali ke laut, tidak dikelola dan tidak dibutuhkan.
Salah satu upaya mengatasi dampak dari tangkapan sampingan tersebut, kata dia, dengan melakukan modifikasi alat-alat tangkap ikan, antara lain pancing dan jaring.
"Dengan melakukan modifikasi terhadap alat-alat penangkapan ikan, diharapkan ikan-ikan yang tidak menjadi sasaran penangkapan dapat diselamatkan," kata Anang Noegroho.
Dengan demikian, lanjut dia, tangkapan sampingan dapat dihindari, karena hingga saat ini diperkirakan 10-15 persen dari total produksi adalah jenis-jenis ikan yang sebenarnya tidak diinginkan.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Dedi Sutrisna menambahkan meningkatnya jumlah sisa hasil tangkapan perikanan merupakan isu yang paling penting dalam konservasi dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.
"Mengurangi 'bycatch' berarti meningkatkan kualitas produk perikanan sekaligus upaya mengelola bidang perikanan yang ramah lingkungan," katanya.
Negara-negara yang menjadi anggota Coral Triangle Intiative memiliki perhatian yang serius terhadap upaya mengurangi hasil tangkapan sampingan dan mengalihkan perhatian untuk mengelola perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Pertemuan selama tiga hari itu melibatkan kalangan industri perikanan, peneliti, akademisi, asosiasi, nelayan dan para importir/eksportir produk perikanan dari Filipina, Thailand, Vietnam, Hongkong, Jepang, Uni Eropa, Amerika Serikat dan tuan rumah Indonesia.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010