Denpasar (Antara Bali) - Pengamat budaya dari Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr Ketut Sumadi menilai masyarakat Bali yang menulis aksara Bali telah melatih mengekspresikan bahasa hatinya yang tulus kepada orang lain.
"Hakekat suatu aksara (huruf) dan penulisannya terletak pada bagaimana cara untuk menuliskan bunyi dalam sistem bahasa ke dalam simbol huruf," kata Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana IHDN Denpasar itu, Rabu.
Menurut dia, bagaimana orang lain yang datang ke Bali bisa mencintai seni budaya Bali dengan sepenuh hati. Sebaliknya orang Bali tidak bisa menulis dengan Aksara Bali.
Hal itu didorong oleh meningkatnya pola fikir pragmatis, yang melihat sesuatu lebih menekankan sisi manfaat praktis dan menguntungkan secara finansial, serta lemahnya sikap kritis orang Bali menyikapi desakan ideologi pasar.
Selain itu, rayuan janji-janji meningkatkan taraf hidup dan memenuhi hasrat bersenang-senang yang ditebar para pengusaha besar dalam memutar roda perekonomian di Bali, telah menumpulkan perasaan cinta orang Bali untuk memuliakan warisan leluluhurnya berupa Aksara Bali.
Sumadi mengingatkan bahwa dalam konteks memuliakan warisan leluhur itulah perlu dilakukan langkah monumental dalam melestarikan Aksara Bali agar generasi mendatang tidak menyesal.
Hal itu penting mengingat aksara yang tersurat menyiratkan sebuah tanda tujuan yang hendak dicapai dalam hidup sebagai orang Bali. Termasuk para pendatang dan pengusaha yang mencari sumber hidup di Bali, sesungguhnya tidak bisa lepas dari tanda dan penanda berupa Aksara Bali.
Berbagai problema sosial budaya yang sering meletup-letup di Bali, termasuk tindak kekerasan yang melibatkan krama Bali antardesa pakraman, atau antarpendatang, pengusaha pariwisata dengan penduduk lokal, merupakan salah satu dampak dari hilangnya aktivitas dan ruang-ruang di desa pakraman yang menjadi tempat olah rasa menyurat Aksara Bali untuk menemukan makna di balik tanda suatu problema.
"Hal ini sekaligus akan merusak sendi-sendi keutuhan Bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila. Jika Aksara Bali semakin jauh di hati dan kabur dari pandangan mata orang Bali, maka mereka akan kehilangan diri sendiri dan tanah tempat berpijak," ujar Ketut Sumadi. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Hakekat suatu aksara (huruf) dan penulisannya terletak pada bagaimana cara untuk menuliskan bunyi dalam sistem bahasa ke dalam simbol huruf," kata Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana IHDN Denpasar itu, Rabu.
Menurut dia, bagaimana orang lain yang datang ke Bali bisa mencintai seni budaya Bali dengan sepenuh hati. Sebaliknya orang Bali tidak bisa menulis dengan Aksara Bali.
Hal itu didorong oleh meningkatnya pola fikir pragmatis, yang melihat sesuatu lebih menekankan sisi manfaat praktis dan menguntungkan secara finansial, serta lemahnya sikap kritis orang Bali menyikapi desakan ideologi pasar.
Selain itu, rayuan janji-janji meningkatkan taraf hidup dan memenuhi hasrat bersenang-senang yang ditebar para pengusaha besar dalam memutar roda perekonomian di Bali, telah menumpulkan perasaan cinta orang Bali untuk memuliakan warisan leluluhurnya berupa Aksara Bali.
Sumadi mengingatkan bahwa dalam konteks memuliakan warisan leluhur itulah perlu dilakukan langkah monumental dalam melestarikan Aksara Bali agar generasi mendatang tidak menyesal.
Hal itu penting mengingat aksara yang tersurat menyiratkan sebuah tanda tujuan yang hendak dicapai dalam hidup sebagai orang Bali. Termasuk para pendatang dan pengusaha yang mencari sumber hidup di Bali, sesungguhnya tidak bisa lepas dari tanda dan penanda berupa Aksara Bali.
Berbagai problema sosial budaya yang sering meletup-letup di Bali, termasuk tindak kekerasan yang melibatkan krama Bali antardesa pakraman, atau antarpendatang, pengusaha pariwisata dengan penduduk lokal, merupakan salah satu dampak dari hilangnya aktivitas dan ruang-ruang di desa pakraman yang menjadi tempat olah rasa menyurat Aksara Bali untuk menemukan makna di balik tanda suatu problema.
"Hal ini sekaligus akan merusak sendi-sendi keutuhan Bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila. Jika Aksara Bali semakin jauh di hati dan kabur dari pandangan mata orang Bali, maka mereka akan kehilangan diri sendiri dan tanah tempat berpijak," ujar Ketut Sumadi. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014