Denpasar (Antara Bali) - Desa Pekraman (adat) dan petugas keamanan desa adat (pecalang) di Bali, dinilai tangguh dalam memproteksi Pulau Dewata dari berbagai macam ancaman gerakan radikal dan terorisme yang patut dicurigai.
"Tragedi kemanusiaan bom Bali 2002 dan 2005 menjadikan umat Hindu di Pulau Dewata, khususnya pemuda dan pecalang memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap semua gerakan radikal dan terorisme," kata Moh Yazid Afandi, dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta di Denpasar, Sabtu.
Ia bersama dua orang rekannya, Wahid Muhtaram (Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta) dan I Wayan Gede Suryatartha mahasiswa program doktor (S-3) Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar melakukan penelitian di Bali.
Penelitian tersebut dilakukan bekerja sama dengan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Bali yang diketuai Drs I Gede Putu Jaya Suartama, MSI dan hasil penelitian itu telah disosialisasikan kepada masyarakat luas.
Moh Yazid Afandi memaparkan hasil penelitian yang diberi judul "Narasi dan Politik Identitas: Pola Penyebaran serta Penerimaan Radikalisme dan Terorisme di Bali".
Ia mengatakan semua pihak di Bali sepakat dan bertekad mengawasi adanya kelompok-kelompok radikal yang dikhawatirkan mengganggu keamanan dan ketertiban umum di Pulau Dewata.
Hal itu berkat Bali memiliki pengalaman buruk dengan radikalisme-terorisme yakni peristiwa bom Bali I dan II.
"Tragedi kemanusiaan itu seolah memberikan pesan, bahwa daerah Bali merupakan target gerakan terorisme Islamis. Para pelaku mengabsahkan tindakannya dengan mengusung wacana Islamisme," ujar Moh Yazid Afandi.
Pada sisi lain kekurang berhasilan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi kaum muda melahirkan pengangguran yang pada gilirannya membuat mereka cukup rentan menerima wacana Islamisme sebagai doktrin pembebasan, dan berakhir pada gerakan radikalis-teroris.
Bulan Puasa
Moh Yazid Afandi menjelaskan, tim melakukan penelitian di Bali bertepatan dengan bulan puasa menjelang Hari Raya Idul Fitri lalu selama lebih dari sebulan untuk mengungkap peta narasi Islamisme di Pulau Dewata.
Penelitian tersebut menggunakan parameter empat matrik Islamisme, militansi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.
Kegiatan itu sekaligus menjelaskan pola penyebaran, resonansi, dan faktor-faktor yang mendukung tumbuh berkembangnya narasi tertentu di daerah tujuan utama wisata tersebut.
Dengan menggunakan metode wawancara semi terstruktur, informan yang dijadikan sebagai sumber informasi utama adalah tokoh agama, tokoh kultural, pemuda muslim, rohaniawan, takmir masjid dan ustadz dan lain-lain.
Selain itu juga menerapkan metode observasi partisipatif, misalnya peneliti ikut ceramah-ceramah atau diskusi-diskusi dengan para responden.
Sejumlah temuan yang signifikan dari penelitian tersebut antara lain meskipun kelihatan samar-samar Islamisme tetap dirasakan keberadaannya sebagai sebuah gerakan laten yang terus mencari celah untuk menyebar.
Hal itu tergambar dalam materi-materi ceramah beberapa ustadz di mana mereka dengan kesadarannya menyelipkan pesan simbolik tentang Islamisme, tutur Moh Yazid Afandi. (LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
"Tragedi kemanusiaan bom Bali 2002 dan 2005 menjadikan umat Hindu di Pulau Dewata, khususnya pemuda dan pecalang memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap semua gerakan radikal dan terorisme," kata Moh Yazid Afandi, dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta di Denpasar, Sabtu.
Ia bersama dua orang rekannya, Wahid Muhtaram (Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta) dan I Wayan Gede Suryatartha mahasiswa program doktor (S-3) Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar melakukan penelitian di Bali.
Penelitian tersebut dilakukan bekerja sama dengan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Bali yang diketuai Drs I Gede Putu Jaya Suartama, MSI dan hasil penelitian itu telah disosialisasikan kepada masyarakat luas.
Moh Yazid Afandi memaparkan hasil penelitian yang diberi judul "Narasi dan Politik Identitas: Pola Penyebaran serta Penerimaan Radikalisme dan Terorisme di Bali".
Ia mengatakan semua pihak di Bali sepakat dan bertekad mengawasi adanya kelompok-kelompok radikal yang dikhawatirkan mengganggu keamanan dan ketertiban umum di Pulau Dewata.
Hal itu berkat Bali memiliki pengalaman buruk dengan radikalisme-terorisme yakni peristiwa bom Bali I dan II.
"Tragedi kemanusiaan itu seolah memberikan pesan, bahwa daerah Bali merupakan target gerakan terorisme Islamis. Para pelaku mengabsahkan tindakannya dengan mengusung wacana Islamisme," ujar Moh Yazid Afandi.
Pada sisi lain kekurang berhasilan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi kaum muda melahirkan pengangguran yang pada gilirannya membuat mereka cukup rentan menerima wacana Islamisme sebagai doktrin pembebasan, dan berakhir pada gerakan radikalis-teroris.
Bulan Puasa
Moh Yazid Afandi menjelaskan, tim melakukan penelitian di Bali bertepatan dengan bulan puasa menjelang Hari Raya Idul Fitri lalu selama lebih dari sebulan untuk mengungkap peta narasi Islamisme di Pulau Dewata.
Penelitian tersebut menggunakan parameter empat matrik Islamisme, militansi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.
Kegiatan itu sekaligus menjelaskan pola penyebaran, resonansi, dan faktor-faktor yang mendukung tumbuh berkembangnya narasi tertentu di daerah tujuan utama wisata tersebut.
Dengan menggunakan metode wawancara semi terstruktur, informan yang dijadikan sebagai sumber informasi utama adalah tokoh agama, tokoh kultural, pemuda muslim, rohaniawan, takmir masjid dan ustadz dan lain-lain.
Selain itu juga menerapkan metode observasi partisipatif, misalnya peneliti ikut ceramah-ceramah atau diskusi-diskusi dengan para responden.
Sejumlah temuan yang signifikan dari penelitian tersebut antara lain meskipun kelihatan samar-samar Islamisme tetap dirasakan keberadaannya sebagai sebuah gerakan laten yang terus mencari celah untuk menyebar.
Hal itu tergambar dalam materi-materi ceramah beberapa ustadz di mana mereka dengan kesadarannya menyelipkan pesan simbolik tentang Islamisme, tutur Moh Yazid Afandi. (LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013