Badung (Antara Bali) - Masyarakat Desa Munggu, Kabupaten Badung, Bali, memasukkan tradisi "Mekotek" ke dalam agenda wisata rutin.
"Tradisi ini rutin kami gelar setiap Hari Raya Kuningan," kata Kepala Desa Munggu, I Ketut Darta, di sela-sela pergelaran tradisi "Mekotek", Sabtu.
Kegiatan itu diikuti kaum pria berusia 15-60 tahun berjalan beriringan dengan membawa kayu sepanjang 3,5 meter yang saling dipukul antara yang satu dengan lainnya sehingga menghasilkan bunyi "tek...tek..tek..."
Kayu-kayu mirip galah itu membentuk formasi menyerupai gunung. "Tradisi ini sebagai upaya untuk menolak bala," kata Darta menuturkan.
Dahulu kala tradisi yang dilestarikan oleh masyarakat Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, itu sempat dilarang oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda karena dianggap bisa menimbulkan pemberontakan, apalagi ratusan warga membawa kayu bersama-sama.
"Namun ketika kami tidak menggelar ritual itu, di desa ini justru tertimpa wabah penyakit," ujarnya.
Mekotek diambil dari kata "tek-tek" yang merupakan efek dari bunyi kayu yang saling bergesekan. Kayu yang digunakan untuk Mekotek harus dari jenis "pulet".
Tradisi itu dulunya untuk merayakan kemenangan pasukan Kerajaan Mengwi menumpaskan pasukan Kerajaan Blambangan dari Banyuwangi, Jawa Timur.
Kegiatan itu didahului dengan persembahyangan di pura desa. Kemudian kaum pria berjalan beriringan dengan membawa kayu mengelilingi seluruh penjuru desa.
Mereka berjalan sambil bersorak bersahut-sahutan hingga menuju areal persawahan di ujung desa yang berjarak sekitar 10 kilometer di sebelah barat pusat Kota Denpasar itu.
Selain Mekotek, warga Desa Munggu juga melakukan parade ogoh-ogoh setiap menyambut Hari Raya Nyepi. "Parade ogoh-ogoh dilaksanakan pada hari pengerupukan atau sehari sebelum Nyepi. Ada 20 ogoh-ogoh yang diarak," kata Darta. (M038)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
"Tradisi ini rutin kami gelar setiap Hari Raya Kuningan," kata Kepala Desa Munggu, I Ketut Darta, di sela-sela pergelaran tradisi "Mekotek", Sabtu.
Kegiatan itu diikuti kaum pria berusia 15-60 tahun berjalan beriringan dengan membawa kayu sepanjang 3,5 meter yang saling dipukul antara yang satu dengan lainnya sehingga menghasilkan bunyi "tek...tek..tek..."
Kayu-kayu mirip galah itu membentuk formasi menyerupai gunung. "Tradisi ini sebagai upaya untuk menolak bala," kata Darta menuturkan.
Dahulu kala tradisi yang dilestarikan oleh masyarakat Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, itu sempat dilarang oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda karena dianggap bisa menimbulkan pemberontakan, apalagi ratusan warga membawa kayu bersama-sama.
"Namun ketika kami tidak menggelar ritual itu, di desa ini justru tertimpa wabah penyakit," ujarnya.
Mekotek diambil dari kata "tek-tek" yang merupakan efek dari bunyi kayu yang saling bergesekan. Kayu yang digunakan untuk Mekotek harus dari jenis "pulet".
Tradisi itu dulunya untuk merayakan kemenangan pasukan Kerajaan Mengwi menumpaskan pasukan Kerajaan Blambangan dari Banyuwangi, Jawa Timur.
Kegiatan itu didahului dengan persembahyangan di pura desa. Kemudian kaum pria berjalan beriringan dengan membawa kayu mengelilingi seluruh penjuru desa.
Mereka berjalan sambil bersorak bersahut-sahutan hingga menuju areal persawahan di ujung desa yang berjarak sekitar 10 kilometer di sebelah barat pusat Kota Denpasar itu.
Selain Mekotek, warga Desa Munggu juga melakukan parade ogoh-ogoh setiap menyambut Hari Raya Nyepi. "Parade ogoh-ogoh dilaksanakan pada hari pengerupukan atau sehari sebelum Nyepi. Ada 20 ogoh-ogoh yang diarak," kata Darta. (M038)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013