Pengakuan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani masalah pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) telah mengukuhkan subak menjadi warisan budaya dunia (WBD), namun belum sepenuhnya mendapat apreasi pemerintah setempat.

Organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak) di Bali kini berada diambang kehancuran, karena sebagai petani telah menjual sawahnya sehingga luas sawah di Pulau Dewata semakin menyempit.

Sistem irigasi sawah khas Bali yang telah dianugerahi status Warisan Budaya Dunia untuk kategori lanskap budaya semakin menghadapi tantangan dan ujian berat, sementara pemerintah belum memberikan apresiasi terhadap petani khususnya yang terhimpun dalam subak, tutur Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia yang juga Sekretaris Tim Penyusunan Proposal WBD tersebut.

Hamparan lahan sawah yang menghijau, dengan lokasi yang berundag-undang (terasering) di Jatiluwih, Kecamatan Penebel, daerah "gudang beras" di Kabupaten Tabanan memiliki pemandangan dan keindahan panorama alam.

Perpaduan lembah dan perbukitan di bagian hulu Gunung Batukaru itu dikitari lingkungan dan kawasan hutan yang lestari, menjadi satu kesatuan hamparan lahan sawah yang cukup luas.

Sedikitnya sepuluh subak di kawasan Catur Angga Batukaru Kabupaten Tabanan dan tiga subak di daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar dengan total luas sekitar 1.000 hektare menjadi satu kesatuan telah ditetapkan menjadi WBD.

PSementara itu, friksi dan konflik kepentingan mulai muncul di kawasan WBD tersebut," ujar Prof Windia yang juga guru besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana.

Masalah yang muncul di antaranya konflik antara subak dengan lingkungannya di Subak Jatiluwih, Kabupaten Tabanan, akibat petani yang terhimpun dalam wadah subak merasa dipinggirkan karena kalangan komponen pariwisata yang berdiri di sekitar kawasan subak WBD, tidak pernah memberikan kontribusi kepada subak bersangkutan.

Padahal komponen pariwisata memanfaatkan kawasan subak sebagai pemandangan alam daya tarik bagi wisatawan mancanegara maupun nusantara berkunjung ke daerah itu.

Prof Windia, pria kelahiran Sukawati, Kabupaten Gianyar, 15 Desember 1949 atau 64 tahun yang silam itu mengharapkan Pemerintah Provinsi Bali maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) dapat memfasilitasi terbentuknya forum koordinasi antarstakeholders di setiap kawasan WBD di Pulau Dewata.

Demikian pula Pemprov Bali maupun Pemkab dan Pemkot di daerah ini

segera membentuk Dewan Pengelola WBD Provinsi Bali di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Hal itu dinilai sangat penting dalam melakukan langkah strategis sebagai upaya mengimbangi pengakuan dunia internasional terhadap keberadaan organisasi subak di Pulau Dewata.

Langkah strategis itu untuk menjadikan sistem pengairan tradisional bidang pertanian di sejumlah kawasan di Bali bisa segera ditetapkan menjadi sawah abadi sehingga keberadaannya tetap dapat dilestarikan.

"Penetapan menjadi subak abadi, khususnya di Kabupaten Gianyar dan Tabanan sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) No.9 tahun 2012," ujar Prof Windia yang senantiasa memimpin mahasiswa dan dosen untuk meneliti subak.



Jangan berharap PAD

Prof Windia mengingatkan pemerintah dan DPRD di Bali untuk tidak terlalu mengharapkan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pertanian, justru sebaliknya

memerlukan investasi dan uluran tangan dari pemerintah dan unsur swasta lainnya.

Pemerintah Provinsi Bali maupun pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan dana yang relatif kecil untuk sektor pertanian, akibat adanya harapan untuk mampu meningkatkan PAD dari sektor pertanian, karena setiap penyusunan program pembangunan selalu menekankan peningkatan PAD.

"Program ini, berapa PAD-nya nanti. Pertanyaan itu sering muncul di kalangan DPRD. Tampaknya besaran PAD berkait erat dengan pendapatan yang akan diterima oleh para pejabat di wilayah tsb," ujar Windia.

Demikian pula keluhan Ketua Himpunn Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Bali Prof Dr Nyoman Suparta yang menyatakan bahwa anggaran untuk sektor pertanian di Bali dan Kabupaten Badung khususnya dinilai masih kecil.

Kondisi itu jauh berbeda dengan di China yang sudah tidak ada lagi pajak untuk lahan pertanian. Hal itu tentu menyebabkan pendapatan negara akan berkurang. Namun sebaliknya hal itu justru akan menambah sirkulasi uang di kawasan pedesaan, dan akan menyebakan kesejahteran rakyat di pedesaan akan meningkat.

Masalahnya, apakah ingin pemerintah yang kaya dan sejahtera atau justru ingin masyarakat yang sejahtera. Kalau memang ingin mengurangi kesenjangan kaya-miskin di masyarakat, dan mengurangi kesenjangan kaya-miskin antarwilayah perlu melakukan investasi di sektor pertanian dan membantu perkembangan setor pertanian.

Memang tidak banyak pemerintah yang serius membangun sektor pertanian, karena keberhasilannya membutuhkan waktu yang cukup lama serta hambatan dan kesulitan yang tidak sedikit.

Oleh sebab itu pemerintah inginnya hanya membangun infrastruktur dan pembangunan fisik lainnya sehingga dengan cepat dapat dipamerkan kepada masyarakat luas,

Padahal sektor pertanian mempunyai peran strategis di Bali selain menghasilkan bahan makan juga melestarikan kebudayaan daerah setempat. Kecenderungan selama ini hanya dilihat untuk menghasilkan padi atau beras, sehingga kurang mendapat perhatian.

Dukungan investasi yang memadai itu sangat diperlukan, termasuk untuk pengembangan sektor hilir ini yakni usaha tani serta memperkuat dan memberdayakan organisasi subak.

Subak akan kuat, kalau petaninya sejahtera, sehingga diperlukan berbagai program dan investasi di sektor pertanian dengan tujuan untuk mensejahterakan petani.

Jika tidak, maka kebudayaan Bali bisa saja lenyap.

Sistem subak yang diterapkan petani Bali secara turun temurun menjadi komponen yang strategis dalam mendukung pertanian dan pariwisata. Kebudayaan Bali, khususnya konsep Tri Hita Karana menjadi penghubung terhadap ketiga elemen menjadi landasan pokok bagi berkembangnya pertanian dan pariwisata.

Jika sistem subak di Bali hancur, akan berpengaruh terhadap rusaknya kebudayaan, sekaligus sektor pertanian akan berantakan, yang segera disusul dengan kehancuran sektor pariwisata.

Oleh sebab itu revitalisasi sektor pertanian yang diwacanakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hendaknya segera bisa direalisasi di Bali. Dengan demikian sistem subak yang diterapkan secara turun temurun akan memiliki peranan penting dan sangat menentukan.

Ketua HKTI Bali Prof Dr Nyoman Suparta menjelaskan, HKTI sebagai organisasi sosial di bidang pertanian mempunya kewajiban untuk ikut berupaya membangun pertanian, di tengah banyak hambatan yang menghadang.

Di Bali memang masih dihadapkan pada masalah lahan yang semakin sempit karena digunakan untuk pembangunan. Bahkan yang paling santer saat ini menyangkut kesejahteraan petani.

Kesejahteraan petani belum bisa sepenuhnya ditangani mengingat sebagian besar penduduk miskin di Bali masih berada pada sektor pertanian.

Untuk itu Pemprov Bali agar betul-betul bisa menyempurnakan program untuk kemajuan petani dan menambah anggaran untuk menggarap sektor pertanian, harapnya. (WRA)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gede Wira Suryantala


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013