Denpasar (Antara Bali) - Masyarakat Hindu di Bali, Kamis menggelar ritual "Sugihan" di pura serta sebagian di puri atau lingkungan istana untuk menyambut datangnya Hari Raya Galungan dan Kuningan.

Seperti di Puri Gerenceng, Pemecutan, Denpasar yang banyak diikuti warga serta keluarga puri. Mereka datang ke puri dengan membawa bahan makanan yang dinikmati bersama setelah mereka bersembahyang.

Tokoh Puri Gerenceng Anak Agung Ngurah Agung menjelaskan, pihaknya selalu merayakan ritual "Sugihan" yang diambil dari sejarah masuknya orang Jawa di zaman kerajaan Majapahit ke Pulau Bali, sehingga ritual itu dikenal dengan sebutan "Sugihan Jawa".

"Sugihan Jawa ini dilaksanakan enam hari sebelum Galungan. Ada juga yang dikenal dengan Sugihan Bali yang dilaksanakan oleh umat yang memang asli Bali, lima hari menjelang Galungan," kata tokoh yang selalu mengenakan pakaian adat Bali ini.

Sementara guru besar sejarah Hindu pada Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar Prof Dr Dr Litt I Gusti Putu Phalgunadi, MA yang juga pewaris Puri Gerenceng menjelaskan bahwa sugihan itu merupakan rangkaian dari upaya penyucian diri.

Penyucian diri itu, katanya, terus berlanjut hingga empat hari menjelang Galungan, dimana masyarakat membuat berbagai persiapan, termasuk menyembelih hewan, seperti babi dan ayam sebagai lambang membuang sifat buruk, seperti kemalasan dan angkara murka.

"Baru setelah diri ini bersih, kami menghadap pada Dewa. Itu filosofinya. Kalau tidak bersih, tidak bisa melakukan pemujaan pada Tuhan," katanya.

Mengenai sebutan "Sugihan", kata dia, kemungkinan hal itu diambil kata kekayaan. Karena itu saat ritual sugihan ini umat Hindu menikmati makanan setelah melakukan pemujaan terhadap para dewa dan arwah leluhur.

"Kalau kami melaksanakan di puri, sementara masyarakat kebanyakan menggelar ritual ini di pura," kata Phalgunadi.

Lelaki yang puluhan tahun menimba ilmu hingga meraih gelar profesor di India ini mengemukakan bahwa ritual "Sugihan" juga bermakna menyambut kemenangan dharma (kebaikan) terhadap adharma (keburukan) yang dikenal dengan hari raya Galungan.

"Dari sisi mitos, Galungan ini bermakna kemenangan Dewi Durga melawan raksasa yang mengganggu surga. Peperangan dengan raksasa sakti ini berlangsung 10 hari, sehingga Galungan disambung hari raya setelah 10 hari, yakni Kuningan," katanya.

Penerima penghargaan bintang emas dari pemerintah India ini mengemukakan bahwa di India, kemenangan ini juga dirayakan, namun dengan nama Wijaya Dasami. Wijaya artinya kemenangan, sedangkan Dasami adalah 10.

"Cuma waktu pelaksanaannya antara Hindu di India dengan di Bali berbeda karena di buku-buku agama memang tidak disebutkan waktunya. Hanya saja, ceritanya sama, yakni merayakan peperangan yang berlangsung selama 10 hari," katanya.(*)
   

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010