Nusa Dua (Antara Bali) - Ketua Real Estate Indonesia (REI) Teguh Satrio menyatakan optimistis bahwa perkembangan industri properti atau "real estate" Indonesia akan tetap meningkat hingga 2014.
"Pada 2010 ini diperkirakan angka kenaikan itu hingga 20 persen dibanding 2009. Dampak krisis properti dunia pada 2008 memang memberi angka negatif pada dua triwulan pertama, tetapi kini mulai pulih," katanya kepada ANTARA, di Nusa Dua, Bali, Minggu.
Satria berada di Nusa Dua untuk mendiseminasikan rencana Kongres Dunia Ke-61 Federasi Real Estate Internasional (FIABCI) di Bali, pada 24-29 Mei mendatang. Kongres itu akan diikuti ratusan anggota FIABCI dari puluhan negara, dengan tema pokok "Menyelamatkan Dunia: Tunas-tunas Baru Bagi Real Estate Berkelanjutan".
Kongres itu direncanakan akan dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan menghadirkan banyak pembicara kelas dunia, di antaranya James Ryadi dari Lippo Group, dan Ken Yeang, perancang dan pengembang "ecoproperty" dari Malaysia, yang karya dan idenya banyak diadopsi oleh para pengembang dunia.
Hampir seluruh anggota REI berkontribusi dalam kepanitiaan penyelenggaraan kongres itu. Banyak di antara mereka yang akan menawarkan beberapa konsep baru terkait perkembangan dunia properti Indonesia, kawasan, dan internasional.
Menurut Satria, nilai properti Indonesia yang dikembangkan pengembang pada 2009 lalu adalah Rp150 triliun, yang juga disumbang dari permintaan ruang perkantoran.
"Tetapi jangan dilupakan, perkembangan makro ekonomi nasional sangat baik belakangan ini. Bisa dibilang terbaik dalam beberapa saat terakhir. Salah indikatornya adalah IHSG yang sangat menarik investor," katanya.
Dia menyatakan, hal lain yang membuat industri properti nasional meningkat adalah sentimen negatif yang terjadi akibat perkembangan politik di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara. Thailand diperkirakan akan mengalami kelesuan pembangunan properti karena aksi demonstrasi masif dan laten di negara itu.
Sebagai dampak bagi perkembangan properti di kawasan, banyak perusahaan mancanegara di Thailand mengalihkan kantor perwakilannya di negara lain, dan Indonesia sangat dilirik mereka.
Menurut Kepala Hubungan Masyarakat Panitia Pelaksana Kongres Internasional Ke-61 FIABCI, Theresia Rustandi, kondisi tersebut merupakan berkah karena semula Indonesia tidak masuk dalam 'radar' pasar properti dunia.
"Kini mereka membidik Indonesia setelah China dan India di Asia," katanya.
Singapura juga bisa menunjukkan hal serupa akibat penguatan mata uang dolar Singapura yang menyebabkan harga barang-barang dan propertinya menjadi kurang kompetitif bagi investor mancanegara dan pribadi.
"Harga properti di Indonesia sangat menggoda, istilahnya satu banding 11. Artinya, dengan uang yang sama bisa mendapat 11 properti sekelas ketimbang cuma satu saja jika membelinya di Singapura," katanya.
Akan tetapi, masih ada satu hal penting yang bisa menghambat arah perkembangan industri properti oleh para pengembang nasional.
"Itu adalah bunga bank bagi sektor ini yang masih sangat tinggi, secara umum adalah 13,9 persen pada tahun lalu. Yang baik adalah selisih cuma dua persen di atas patokan bunga bank oleh pemegang otoritas," katanya.
Dalam hal itu, Indonesia bisa keteteran dalam menghadapi ekspansi bisnis pengembang di negara-negara kawasan Asia Tenggara. Vietnam hanya menerapkan bunga bank 8,6 persen, Malaysia dan Singapura bahkan cuma 5,3 persen.(*/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010
"Pada 2010 ini diperkirakan angka kenaikan itu hingga 20 persen dibanding 2009. Dampak krisis properti dunia pada 2008 memang memberi angka negatif pada dua triwulan pertama, tetapi kini mulai pulih," katanya kepada ANTARA, di Nusa Dua, Bali, Minggu.
Satria berada di Nusa Dua untuk mendiseminasikan rencana Kongres Dunia Ke-61 Federasi Real Estate Internasional (FIABCI) di Bali, pada 24-29 Mei mendatang. Kongres itu akan diikuti ratusan anggota FIABCI dari puluhan negara, dengan tema pokok "Menyelamatkan Dunia: Tunas-tunas Baru Bagi Real Estate Berkelanjutan".
Kongres itu direncanakan akan dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan menghadirkan banyak pembicara kelas dunia, di antaranya James Ryadi dari Lippo Group, dan Ken Yeang, perancang dan pengembang "ecoproperty" dari Malaysia, yang karya dan idenya banyak diadopsi oleh para pengembang dunia.
Hampir seluruh anggota REI berkontribusi dalam kepanitiaan penyelenggaraan kongres itu. Banyak di antara mereka yang akan menawarkan beberapa konsep baru terkait perkembangan dunia properti Indonesia, kawasan, dan internasional.
Menurut Satria, nilai properti Indonesia yang dikembangkan pengembang pada 2009 lalu adalah Rp150 triliun, yang juga disumbang dari permintaan ruang perkantoran.
"Tetapi jangan dilupakan, perkembangan makro ekonomi nasional sangat baik belakangan ini. Bisa dibilang terbaik dalam beberapa saat terakhir. Salah indikatornya adalah IHSG yang sangat menarik investor," katanya.
Dia menyatakan, hal lain yang membuat industri properti nasional meningkat adalah sentimen negatif yang terjadi akibat perkembangan politik di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara. Thailand diperkirakan akan mengalami kelesuan pembangunan properti karena aksi demonstrasi masif dan laten di negara itu.
Sebagai dampak bagi perkembangan properti di kawasan, banyak perusahaan mancanegara di Thailand mengalihkan kantor perwakilannya di negara lain, dan Indonesia sangat dilirik mereka.
Menurut Kepala Hubungan Masyarakat Panitia Pelaksana Kongres Internasional Ke-61 FIABCI, Theresia Rustandi, kondisi tersebut merupakan berkah karena semula Indonesia tidak masuk dalam 'radar' pasar properti dunia.
"Kini mereka membidik Indonesia setelah China dan India di Asia," katanya.
Singapura juga bisa menunjukkan hal serupa akibat penguatan mata uang dolar Singapura yang menyebabkan harga barang-barang dan propertinya menjadi kurang kompetitif bagi investor mancanegara dan pribadi.
"Harga properti di Indonesia sangat menggoda, istilahnya satu banding 11. Artinya, dengan uang yang sama bisa mendapat 11 properti sekelas ketimbang cuma satu saja jika membelinya di Singapura," katanya.
Akan tetapi, masih ada satu hal penting yang bisa menghambat arah perkembangan industri properti oleh para pengembang nasional.
"Itu adalah bunga bank bagi sektor ini yang masih sangat tinggi, secara umum adalah 13,9 persen pada tahun lalu. Yang baik adalah selisih cuma dua persen di atas patokan bunga bank oleh pemegang otoritas," katanya.
Dalam hal itu, Indonesia bisa keteteran dalam menghadapi ekspansi bisnis pengembang di negara-negara kawasan Asia Tenggara. Vietnam hanya menerapkan bunga bank 8,6 persen, Malaysia dan Singapura bahkan cuma 5,3 persen.(*/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010