Denpasar (Antara Bali) - Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) merupakan program pemerintah pusat sebagai kompensasi kepada warga miskin akibat kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi.
Namun program tersebut menghadapi berbagai kendala dan protes dari masyarakat ketika tahap pencairan bantuan tidak tepat sasaran.
Hal itu karena keakuratan data yang dimiliki pemerintah terbatas sehingga masyarakat yang semestinya mendapatkan kucuran program tersebut, mereka harus "gigit jari" karena tak masuk dalam data base.
Bahkan ironisnya yang tidak mendapatkan program kompensasi tersebut adalah warga yang masuk dalam kriteria mendapatkan BLSM, lantaran tidak terdata dalam daftar penerima bantuan, maka mereka pun pasrah, namun ada juga melakukan protes kepada pemerintah setempat.
Ketua Komisi IV DPRD Bali Nyoman Parta mengatakan, keberadaan program BLSM adalah sangat mulia untuk membantu warga miskin atau kepala keluarga kurang mampu, tetapi sebelum membagikan program tersebut seharusnya dilakukan pemutahiran data base penerima program.
Semua itu dengan harapan program yang berpihak kepada masyarakat miskin tepat sasaran dan mampu mewujudkan sesuai dengan arah program tersebut.
"Semestinya data base harus akurat. Untuk mendapatkan keakuratan data penerima program BLSM terlebih dahulu melakukan pendataan, mulai dari tingkat dusun (rukun tetangga) hingga per kabupaten dan kota," katanya.
Menurut politikus asal Desa Guwang, Kabupaten Gianyar ini, bila datanya akurat maka program tersebut kecil kemungkinan akan menemui masalah pembagian di lapangan.
"Karena hanya mengandalkan data yang sudah ada akibatnya kurang valid. Saya melihat banyak warga yang semestinya mendapatkan ternyata tidak mendapatkan sentuhan BLSM," ujarnya.
Ia menilai program ini terburu-buru dilaksanakan oleh pemerintah, namun data yang dimiliki semestinya harus dilakukan terlebih dahulu pendataan ulang ke lapangan. Karena warga miskin itu pergerakannya sangat statis, sehingga kreteria itu tepat sasaran.
"Di Bali saja yang belum mendapatkan kartu pengambilan BLSM mencapai ribuan lembar. Padahal dalam sistem banjar (dusun) sangat mudah untuk mendapatkan data yang akurat warga mendapatkan program tersebut, namun kenyataan banyak juga tak tercatat dalam data base," kata Parta.
Dengan kenyataan tersebut, kata dia, membuktikan program yang digagas pemerintah pusat dalam mengantisipasi gejolak masyarakat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi masih lemah dan harus segera dilakukan evaluasi.
"Program ini harus dikaji dan di evaluasi oleh semua pihak, tujuannya warga yang miskin dapat terbantu oleh program ini, justru sebaliknya menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Hal tersebut harus menjadi catatan kita bersama, sehingga program ini tidak berbau politik semata," ucapnya.
Parta lebih lanjut menyoroti soal pembagian tersebut mekanismenya seharusnya bisa diubah, warga yang mendapatkan tidak mesti mendatangi Kantor PT Pos Indonesia, tetapi petugas kantor Pos yang datang ke desa-desa dengan waktu yang terjadwal.
"Dengan sistem ini akan lebih meringankan bagi rumah tangga sasaran (RTS), karena tidak sedikit pula warga penerima itu umurnya sudah uzur, bahkan ada warga yang tidak memiliki keluarga," katanya.
Dengan sistem sekarang, menurut mantan aktivis KMHDI itu, jelas sangat memberatkan warga yang telah uzur untuk mendatangi kantor-kantor Pos terdekat.
"Pihak Kantor Pos harus rela membagikan dan mendatangi desa-desa sasaran, sehingga program tersebut tak menjadi beban lagi bagi warga yang jauh rumahnya dari kantor Pos," kata Parta menegaskan.
Penilaian Akademisi
Sementara itu, kalangan akademisi meragukan efektivitas pemberian BLSM sebagai bentuk kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi karena dinilai tidak tepat sasaran penerimanya.
"Kami meragukan karena kompensasi yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin justru diduga banyak dinikmati masyarakat menengah ke atas," kata Sekretaris Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Bali Profesor Dr Ida Bagus Raka Suardana.
Menurut dia, banyak kelemahan yang terjadi dalam penyaluran BLSM di lapangan, seperti tidak tepat sarasan, karena yang seharusnya menerima tidak memperolehnya.
Selain itu, kata dia, ada sebagian penerima BLSM yang menyalahgunakan bantuan tersebut bukan untuk membeli sembilan bahan pokok, melainkan untuk keperluan lainnya.
"Tentu dengan melihat kondisi itu maka pemberian BLSM oleh pemerintah tidaklah sesuai dengan yang diharapkan," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Area Retail dan Properti PT Pos Indonesia Area VIII Bali Nusra, Made Wirya, mengatakan bahwa pihaknya tidak mengetahui mekanisme pemilihan rumah tangga sasaran (RTS) yang menjadi penerima BLSM.
"Tugas kami hanya menyalurkannya saja. Terkait dengan data penerima itu sudah langsung diberikan oleh Pemerintah," ucapnya.
Dana kompensasi itu diberikan kepada 151.924 rumah tangga sasaran (RTS) di Bali. Uang kompensasi ini diberikan sekaligus dua bulan sebanyak Rp300 ribu.
"Bagi yang belum mengambil bisa langsung datang ke Kantor Pos atau bisa diambil sekaligus empat bulan," katanya.
Sementara itu kenyataan di lapangan, sejumlah kepala desa di Kabupaten Jembrana, Bali, meminta pencairan dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) ditunda karena banyak yang salah sasaran.
"Ada beberapa warga saya masuk dalam buku merah atau tergolong keluarga miskin, tapi tidak masuk dalam daftar penerima BLSM. Karena itu kami mohon kantor Pos menunda dulu pencairan BLSM hingga masalah ini teratasi," kata Lurah Baler Bale Agung, Putu Nova Novianto, saat rapat gabungan kepala desa dan lurah bersama pejabat Pemkab Jembrana di Negara, Kamis (4/7).
Menurut dia, penundaan bisa dilakukan berdasarkan Instruksi Mendagri Nomer 541/3150/SJ tentang pembagian BLSM karena ada usulan dari masyarakat.
Kepala desa lainnya mendukung usulan Nova karena banyak juga warga mereka yang tidak mampu namun tidak masuk sebagai penerima BLSM.
Usulan serupa juga disampaikan Camat Melaya Putu Suarnama yang mengungkapkan bahwa di Kelurahan Gilimanuk ada warga yang faktanya layak menerima BLSM, namun tidak masuk dalam daftar.
Sementara Kepala Kantor Pos Cabang Jembrana, Sugianto, mengatakan, pihaknya membagikan BLSM sesuai prosedur serta data yang diterimanya.
"Kami tidak berani menunda apalagi mengalihkan karena akan mendapatkan sanksi. Kalau masih ada yang tercecer atau salah sasaran, mari sama-sama dicarikan jalan keluarnya," katanya.
Perbedaan data antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pemkab Jembrana terkait jumlah keluarga miskin juga diungkapkan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kabupaten Jembrana Nengah Ledang.
Menurut dia, jumlah keluarga miskin di Kabupaten Jembrana mencapai 5.308 rumah tangga, sedangkan versi BPS sebanyak 13.154 rumah tangga.
"Dari versi BPS tersebut hanya 10.953 keluarga yang masuk daftar penerima BLSM. Kalau data milik pemkab yang dipakai, potensi salah sasaran sangat kecil karena kami melakukan pendataan ulang tiap tahun," katanya.
Ribuan RTS Tak Dapat
Sebanyak 2.063 rumah tangga sasaran (RTS) di Kabupaten Karangasem, Bali, tidak mendapatkan BLSM dari pemerintah, karena berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS) kabupaten setempat, menyebutkan bahwa jumlah rumah tangga miskin mencapai 26.126 keluarga.
Dari jumlah itu sebanyak 24.063 rumah tangga miskin terdata memperoleh BLSM sehingga masih ada 2.063 rumah tangga miskin yang tidak mendapatkan bantuan tunai sebesar Rp300 ribu per tiga bulan itu.
Ni Wayan Ngempah (75) asal Banjar Tengah, Rendang, salah satu warga miskin yang tidak mendapatkan BLSM. Dia tinggal di rumah yang kondisinya memprihatinkan. Bahkan setiap kali terjadi hujan, Wayan Ngempah kebanjiran karena atap rumahnya bocor.
Menanggapi hal itu Kepala PT Pos Indonesia Cabang Karangasem Agus Widodo mengaku tidak bisa berbuat apa-apa karena yang menyajikan data BLSM adalah pemerintah pusat. "Kami hanya bertugas menyalurkan bantuan. Yang menentukan dari pusat," katanya.
Kepala Seksi Statistik Pemkab Karangasem I Wayan Pariarta menjelaskan bahwa penerima BLSM mengacu pada penerima Kartu Perlindungan Sosial yang bersumber hasil survei BPS.
"Saat turun ke lapangan, petugas survei BPS diantar kepala lingkungan dan kepala dusun setempat," katanya.
Namun saat ini justru kepala lingkungan, kepala dusun, dan kepala desa di Kabupaten Karangasem justru menyalahkan BPS. "Data BPS sendiri tidak akurat," kata Kepala Lingkungan Galiran, Desa Subagan, Made Putra Dana.
Hal yang sama juga dikeluhkan Kepala Desa Amerta Bhuana, Kecamatan Selat, Wayan Suara. "Justru data terbaru yang disampaikan kepala dusun kami tidak dipakai oleh BPS. Data BPS tahun 2007," katanya.
Untuk mencairkan dana BLSM di kantor Pos, warga memang diwajibkan membawa KPS. Selama ini KPS digunakan warga untuk mendapatkan raskin dan beasiswa miskin. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
Namun program tersebut menghadapi berbagai kendala dan protes dari masyarakat ketika tahap pencairan bantuan tidak tepat sasaran.
Hal itu karena keakuratan data yang dimiliki pemerintah terbatas sehingga masyarakat yang semestinya mendapatkan kucuran program tersebut, mereka harus "gigit jari" karena tak masuk dalam data base.
Bahkan ironisnya yang tidak mendapatkan program kompensasi tersebut adalah warga yang masuk dalam kriteria mendapatkan BLSM, lantaran tidak terdata dalam daftar penerima bantuan, maka mereka pun pasrah, namun ada juga melakukan protes kepada pemerintah setempat.
Ketua Komisi IV DPRD Bali Nyoman Parta mengatakan, keberadaan program BLSM adalah sangat mulia untuk membantu warga miskin atau kepala keluarga kurang mampu, tetapi sebelum membagikan program tersebut seharusnya dilakukan pemutahiran data base penerima program.
Semua itu dengan harapan program yang berpihak kepada masyarakat miskin tepat sasaran dan mampu mewujudkan sesuai dengan arah program tersebut.
"Semestinya data base harus akurat. Untuk mendapatkan keakuratan data penerima program BLSM terlebih dahulu melakukan pendataan, mulai dari tingkat dusun (rukun tetangga) hingga per kabupaten dan kota," katanya.
Menurut politikus asal Desa Guwang, Kabupaten Gianyar ini, bila datanya akurat maka program tersebut kecil kemungkinan akan menemui masalah pembagian di lapangan.
"Karena hanya mengandalkan data yang sudah ada akibatnya kurang valid. Saya melihat banyak warga yang semestinya mendapatkan ternyata tidak mendapatkan sentuhan BLSM," ujarnya.
Ia menilai program ini terburu-buru dilaksanakan oleh pemerintah, namun data yang dimiliki semestinya harus dilakukan terlebih dahulu pendataan ulang ke lapangan. Karena warga miskin itu pergerakannya sangat statis, sehingga kreteria itu tepat sasaran.
"Di Bali saja yang belum mendapatkan kartu pengambilan BLSM mencapai ribuan lembar. Padahal dalam sistem banjar (dusun) sangat mudah untuk mendapatkan data yang akurat warga mendapatkan program tersebut, namun kenyataan banyak juga tak tercatat dalam data base," kata Parta.
Dengan kenyataan tersebut, kata dia, membuktikan program yang digagas pemerintah pusat dalam mengantisipasi gejolak masyarakat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi masih lemah dan harus segera dilakukan evaluasi.
"Program ini harus dikaji dan di evaluasi oleh semua pihak, tujuannya warga yang miskin dapat terbantu oleh program ini, justru sebaliknya menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Hal tersebut harus menjadi catatan kita bersama, sehingga program ini tidak berbau politik semata," ucapnya.
Parta lebih lanjut menyoroti soal pembagian tersebut mekanismenya seharusnya bisa diubah, warga yang mendapatkan tidak mesti mendatangi Kantor PT Pos Indonesia, tetapi petugas kantor Pos yang datang ke desa-desa dengan waktu yang terjadwal.
"Dengan sistem ini akan lebih meringankan bagi rumah tangga sasaran (RTS), karena tidak sedikit pula warga penerima itu umurnya sudah uzur, bahkan ada warga yang tidak memiliki keluarga," katanya.
Dengan sistem sekarang, menurut mantan aktivis KMHDI itu, jelas sangat memberatkan warga yang telah uzur untuk mendatangi kantor-kantor Pos terdekat.
"Pihak Kantor Pos harus rela membagikan dan mendatangi desa-desa sasaran, sehingga program tersebut tak menjadi beban lagi bagi warga yang jauh rumahnya dari kantor Pos," kata Parta menegaskan.
Penilaian Akademisi
Sementara itu, kalangan akademisi meragukan efektivitas pemberian BLSM sebagai bentuk kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi karena dinilai tidak tepat sasaran penerimanya.
"Kami meragukan karena kompensasi yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin justru diduga banyak dinikmati masyarakat menengah ke atas," kata Sekretaris Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Bali Profesor Dr Ida Bagus Raka Suardana.
Menurut dia, banyak kelemahan yang terjadi dalam penyaluran BLSM di lapangan, seperti tidak tepat sarasan, karena yang seharusnya menerima tidak memperolehnya.
Selain itu, kata dia, ada sebagian penerima BLSM yang menyalahgunakan bantuan tersebut bukan untuk membeli sembilan bahan pokok, melainkan untuk keperluan lainnya.
"Tentu dengan melihat kondisi itu maka pemberian BLSM oleh pemerintah tidaklah sesuai dengan yang diharapkan," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Area Retail dan Properti PT Pos Indonesia Area VIII Bali Nusra, Made Wirya, mengatakan bahwa pihaknya tidak mengetahui mekanisme pemilihan rumah tangga sasaran (RTS) yang menjadi penerima BLSM.
"Tugas kami hanya menyalurkannya saja. Terkait dengan data penerima itu sudah langsung diberikan oleh Pemerintah," ucapnya.
Dana kompensasi itu diberikan kepada 151.924 rumah tangga sasaran (RTS) di Bali. Uang kompensasi ini diberikan sekaligus dua bulan sebanyak Rp300 ribu.
"Bagi yang belum mengambil bisa langsung datang ke Kantor Pos atau bisa diambil sekaligus empat bulan," katanya.
Sementara itu kenyataan di lapangan, sejumlah kepala desa di Kabupaten Jembrana, Bali, meminta pencairan dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) ditunda karena banyak yang salah sasaran.
"Ada beberapa warga saya masuk dalam buku merah atau tergolong keluarga miskin, tapi tidak masuk dalam daftar penerima BLSM. Karena itu kami mohon kantor Pos menunda dulu pencairan BLSM hingga masalah ini teratasi," kata Lurah Baler Bale Agung, Putu Nova Novianto, saat rapat gabungan kepala desa dan lurah bersama pejabat Pemkab Jembrana di Negara, Kamis (4/7).
Menurut dia, penundaan bisa dilakukan berdasarkan Instruksi Mendagri Nomer 541/3150/SJ tentang pembagian BLSM karena ada usulan dari masyarakat.
Kepala desa lainnya mendukung usulan Nova karena banyak juga warga mereka yang tidak mampu namun tidak masuk sebagai penerima BLSM.
Usulan serupa juga disampaikan Camat Melaya Putu Suarnama yang mengungkapkan bahwa di Kelurahan Gilimanuk ada warga yang faktanya layak menerima BLSM, namun tidak masuk dalam daftar.
Sementara Kepala Kantor Pos Cabang Jembrana, Sugianto, mengatakan, pihaknya membagikan BLSM sesuai prosedur serta data yang diterimanya.
"Kami tidak berani menunda apalagi mengalihkan karena akan mendapatkan sanksi. Kalau masih ada yang tercecer atau salah sasaran, mari sama-sama dicarikan jalan keluarnya," katanya.
Perbedaan data antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pemkab Jembrana terkait jumlah keluarga miskin juga diungkapkan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kabupaten Jembrana Nengah Ledang.
Menurut dia, jumlah keluarga miskin di Kabupaten Jembrana mencapai 5.308 rumah tangga, sedangkan versi BPS sebanyak 13.154 rumah tangga.
"Dari versi BPS tersebut hanya 10.953 keluarga yang masuk daftar penerima BLSM. Kalau data milik pemkab yang dipakai, potensi salah sasaran sangat kecil karena kami melakukan pendataan ulang tiap tahun," katanya.
Ribuan RTS Tak Dapat
Sebanyak 2.063 rumah tangga sasaran (RTS) di Kabupaten Karangasem, Bali, tidak mendapatkan BLSM dari pemerintah, karena berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS) kabupaten setempat, menyebutkan bahwa jumlah rumah tangga miskin mencapai 26.126 keluarga.
Dari jumlah itu sebanyak 24.063 rumah tangga miskin terdata memperoleh BLSM sehingga masih ada 2.063 rumah tangga miskin yang tidak mendapatkan bantuan tunai sebesar Rp300 ribu per tiga bulan itu.
Ni Wayan Ngempah (75) asal Banjar Tengah, Rendang, salah satu warga miskin yang tidak mendapatkan BLSM. Dia tinggal di rumah yang kondisinya memprihatinkan. Bahkan setiap kali terjadi hujan, Wayan Ngempah kebanjiran karena atap rumahnya bocor.
Menanggapi hal itu Kepala PT Pos Indonesia Cabang Karangasem Agus Widodo mengaku tidak bisa berbuat apa-apa karena yang menyajikan data BLSM adalah pemerintah pusat. "Kami hanya bertugas menyalurkan bantuan. Yang menentukan dari pusat," katanya.
Kepala Seksi Statistik Pemkab Karangasem I Wayan Pariarta menjelaskan bahwa penerima BLSM mengacu pada penerima Kartu Perlindungan Sosial yang bersumber hasil survei BPS.
"Saat turun ke lapangan, petugas survei BPS diantar kepala lingkungan dan kepala dusun setempat," katanya.
Namun saat ini justru kepala lingkungan, kepala dusun, dan kepala desa di Kabupaten Karangasem justru menyalahkan BPS. "Data BPS sendiri tidak akurat," kata Kepala Lingkungan Galiran, Desa Subagan, Made Putra Dana.
Hal yang sama juga dikeluhkan Kepala Desa Amerta Bhuana, Kecamatan Selat, Wayan Suara. "Justru data terbaru yang disampaikan kepala dusun kami tidak dipakai oleh BPS. Data BPS tahun 2007," katanya.
Untuk mencairkan dana BLSM di kantor Pos, warga memang diwajibkan membawa KPS. Selama ini KPS digunakan warga untuk mendapatkan raskin dan beasiswa miskin. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013