Denpasar (Antara Bali) - Made Taro, maestro dongeng asal Bali meluncurkan buku berjudul "Dongeng Untuk Presiden" yang berisi nilai-nilai kearifan lokal bagi para pemimpin.
"Dalam konteks buku ini, presiden bukan semata-mata berarti kepala pemerintahan atau kepala negara, melainkan semua pemimpin mulai dari kepala rumah tangga, kepala desa, ketua partai, sampai dengan presiden, perdana menteri, raja, ratu, sultan, kaisar, atau kanselir," katanya di Denpasar, Senin.
Pria kelahiran 1939 itu mengemukakan penerbitan buku dongeng terbarunya tersebut terinspirasi dari sebuah peristiwa seperempat abad lalu tentang surat-menyurat seorang bocah Uni Soviet yang bertanya kepada Presiden Amerika Serikat.
"Bocah itu bertanya mengapa harus berperang? Dan dijawab oleh sang presiden bahwa semua orang cinta perdamaian. Jadi tujuan dari buku dongeng untuk presiden ini hampir sama dengan surat menyurat yang ditulis oleh bocah Uni Soviet tersebut," ujarnya.
Di sisi lain, sering dikatakan menjadi presiden atau pemimpin itu sulit karena harus belajar dari banyak pengalaman dan pengetahuan termasuk belajar dari kisah-kisah yang tergolong sastra klasik.
Ia mengemukakan presiden hendaknya berani mengorbankan diri untuk keselamatan rakyatnya seperti kisah Jembatan Kera (India). Ia juga harus jujur dan bersih dari penyelewengan kekuasaan seperti kisah sindiran Pengadilan Tuak (Bali), dan Ikan Tuna untuk Sang Raja (Myanmar) serta kisah Harga Seekor Kucing (Swedia).
Di samping itu, presiden juga harus mampu menghormati dan menghargai para pendahulunya seperti kisah Kakek dalam Keranjang (Nepal), dituntut harus mampu menciptakan situasi dan suasana damai serta menghargai keberagaman seperti kisah Jembatan Kayu (Amerika Serikat), dan kisah Burung Kedidi dan Ikan Paus (Kepulauan Marshal) dan kisah Nyanyian Mohon Hujan (Indian Amerika).
"Selain itu sesungguhnya masih banyak petuah dari kisah dongeng yang menarik dan inspiratif untuk seorang pemimpin dari Jepang, Timur Tengah, Thailand dan tentunya dari negeri kita, Indonesia," katanya.
Nominator peneriman penghargaan pengabdi seni dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-35 tahun ini pun mengakui kisah dongeng untuk presiden tersebut sengaja ditulis dengan teknik campuran sastra lisan dan sastra tulis serta melalui alur cerita yang sederhana, gaya bahasa yang segar dan menarik. "Ada juga pemecahan masalah dan perenungan yang lebih mendalam sehingga mudah dipahami, dinikmati dan dihayati," ujarnya.
Ia mengharapkan buku karyanya dapat memberikan nilai manfaat bagi pengembangan pribadi anak-anak sesuai dengan konteks kehidupan kekinian. "Buku ini sudah pasti jauh dari sempurna. Semoga pemikiran yang jernih dapat memberikan hasil yang bermanfaat bagi kita semua ke depannya," katanya.
Buku setebal 151 halaman itu berisikan 27 cerita dongeng yang dikatakannya sangat aspiratif dan edukatif sebagai upaya pembentukan karakter bangsa karena juga menyoroti fenomena kehidupan masyarakat kekinian yang sangat populer dengan gaya hidup pragmatis dan sangat hedonis.
Made Taro yang juga peraih hadiah Sastra Rancage tahun 2005 ini telah merilis sedikitnya 35 buku dan sempat meraih sekitar 12 penghargaan dari pemerintah maupun non pemerintah sebagai pendidik, pelestari kebudayaan, penulis buku, storyteller, pembina sastra daerah, pencipta lagu, dan permainan anak-anak, serta meraih penghargaan Anugerah Kebudayaan dari Presiden RI pada 2009. (LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
"Dalam konteks buku ini, presiden bukan semata-mata berarti kepala pemerintahan atau kepala negara, melainkan semua pemimpin mulai dari kepala rumah tangga, kepala desa, ketua partai, sampai dengan presiden, perdana menteri, raja, ratu, sultan, kaisar, atau kanselir," katanya di Denpasar, Senin.
Pria kelahiran 1939 itu mengemukakan penerbitan buku dongeng terbarunya tersebut terinspirasi dari sebuah peristiwa seperempat abad lalu tentang surat-menyurat seorang bocah Uni Soviet yang bertanya kepada Presiden Amerika Serikat.
"Bocah itu bertanya mengapa harus berperang? Dan dijawab oleh sang presiden bahwa semua orang cinta perdamaian. Jadi tujuan dari buku dongeng untuk presiden ini hampir sama dengan surat menyurat yang ditulis oleh bocah Uni Soviet tersebut," ujarnya.
Di sisi lain, sering dikatakan menjadi presiden atau pemimpin itu sulit karena harus belajar dari banyak pengalaman dan pengetahuan termasuk belajar dari kisah-kisah yang tergolong sastra klasik.
Ia mengemukakan presiden hendaknya berani mengorbankan diri untuk keselamatan rakyatnya seperti kisah Jembatan Kera (India). Ia juga harus jujur dan bersih dari penyelewengan kekuasaan seperti kisah sindiran Pengadilan Tuak (Bali), dan Ikan Tuna untuk Sang Raja (Myanmar) serta kisah Harga Seekor Kucing (Swedia).
Di samping itu, presiden juga harus mampu menghormati dan menghargai para pendahulunya seperti kisah Kakek dalam Keranjang (Nepal), dituntut harus mampu menciptakan situasi dan suasana damai serta menghargai keberagaman seperti kisah Jembatan Kayu (Amerika Serikat), dan kisah Burung Kedidi dan Ikan Paus (Kepulauan Marshal) dan kisah Nyanyian Mohon Hujan (Indian Amerika).
"Selain itu sesungguhnya masih banyak petuah dari kisah dongeng yang menarik dan inspiratif untuk seorang pemimpin dari Jepang, Timur Tengah, Thailand dan tentunya dari negeri kita, Indonesia," katanya.
Nominator peneriman penghargaan pengabdi seni dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-35 tahun ini pun mengakui kisah dongeng untuk presiden tersebut sengaja ditulis dengan teknik campuran sastra lisan dan sastra tulis serta melalui alur cerita yang sederhana, gaya bahasa yang segar dan menarik. "Ada juga pemecahan masalah dan perenungan yang lebih mendalam sehingga mudah dipahami, dinikmati dan dihayati," ujarnya.
Ia mengharapkan buku karyanya dapat memberikan nilai manfaat bagi pengembangan pribadi anak-anak sesuai dengan konteks kehidupan kekinian. "Buku ini sudah pasti jauh dari sempurna. Semoga pemikiran yang jernih dapat memberikan hasil yang bermanfaat bagi kita semua ke depannya," katanya.
Buku setebal 151 halaman itu berisikan 27 cerita dongeng yang dikatakannya sangat aspiratif dan edukatif sebagai upaya pembentukan karakter bangsa karena juga menyoroti fenomena kehidupan masyarakat kekinian yang sangat populer dengan gaya hidup pragmatis dan sangat hedonis.
Made Taro yang juga peraih hadiah Sastra Rancage tahun 2005 ini telah merilis sedikitnya 35 buku dan sempat meraih sekitar 12 penghargaan dari pemerintah maupun non pemerintah sebagai pendidik, pelestari kebudayaan, penulis buku, storyteller, pembina sastra daerah, pencipta lagu, dan permainan anak-anak, serta meraih penghargaan Anugerah Kebudayaan dari Presiden RI pada 2009. (LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013