Semarang (Antara Bali) - Anggota Komisi III (Bidang Hukum dan Keamanan) DPR RI Eva Kusuma Sundari menilai Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, menjadi "hot area" untuk latihan (exercise) proyek destabilisasi banyak pihak, terutama kelompok radikal teroris.
"Poso kembali bergolak dan tampaknya menjadi 'hot area' (daerah panas) untuk 'exercise' proyek destabilisasi banyak pihak, terutama kelompok radikal teroris," kata Eva yang juga Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI kepada Antara di Semarang, Senin malam.
Eva mengemukakan hal itu ketika merespons aksi bom bunuh diri Senin pagi di Mapolres Poso yang menewaskan pelaku dan melukai seorang pekerja kebun.
Salah satu dugaan kenapa kelompok teroris seperti mendapat energi lagi, menurut dia, adalah adanya napi-napi teroris kelas kakap, antara lain, desersi oknum TNI (Sabar Subagyo), mantan trainer Moro (Upik Lawanga), ahli bom (Santoso), dan penjagal (Basri) yang kabur dari penjara. Mereka berkumpul di Poso.
Eva menduga faktor lemahnya pengawasan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) merupakan kesempatan teroris mengorganisasi dari tempat itu. "Sepatutnya mereka ditempatkan di lapas-lapas yang terpisah-pisah," ujarnya.
Dugaan lain, lanjut Eva, adalah kebangkitan kelompok teroris juga merupakan dampak kampanye kelompok Islam moderat untuk pembubaran Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri yang tentu makin memperberat beban Densus 88. (*/WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
"Poso kembali bergolak dan tampaknya menjadi 'hot area' (daerah panas) untuk 'exercise' proyek destabilisasi banyak pihak, terutama kelompok radikal teroris," kata Eva yang juga Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI kepada Antara di Semarang, Senin malam.
Eva mengemukakan hal itu ketika merespons aksi bom bunuh diri Senin pagi di Mapolres Poso yang menewaskan pelaku dan melukai seorang pekerja kebun.
Salah satu dugaan kenapa kelompok teroris seperti mendapat energi lagi, menurut dia, adalah adanya napi-napi teroris kelas kakap, antara lain, desersi oknum TNI (Sabar Subagyo), mantan trainer Moro (Upik Lawanga), ahli bom (Santoso), dan penjagal (Basri) yang kabur dari penjara. Mereka berkumpul di Poso.
Eva menduga faktor lemahnya pengawasan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) merupakan kesempatan teroris mengorganisasi dari tempat itu. "Sepatutnya mereka ditempatkan di lapas-lapas yang terpisah-pisah," ujarnya.
Dugaan lain, lanjut Eva, adalah kebangkitan kelompok teroris juga merupakan dampak kampanye kelompok Islam moderat untuk pembubaran Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri yang tentu makin memperberat beban Densus 88. (*/WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013