Denpasar (Antara Bali) - Berbagai suku bangsa di Tanah Air maupun dari desa-desa di Bali, sejak awal banyak yang menetap sementara di kawasan wisata Kuta untuk berbagai tujuan dan kepentingan.

"Mereka menetap di wilayah Desa Adat Kuta untuk mencari pekerjaan, berdagang, usaha bisnis, maupun hanya sebagai wisatawan guna menikmati panorama pantai berpasir putih itu," kata Dr I Ketut  Sumadi M.Par dosen Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Rabu.

Pria kelahiran Bayuyang, Gianyar 48 tahun silam itu, melakukan penelitian dan kajian terhadap desa adat Kuta untuk meraih gelar doktor pada program studi kajian budaya program pascasarjana Universitas Udayana dan dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan.

Kawasan Kuta yang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan dalam dan luar negeri saat berlibur ke Pulau Dewata, merupakan desa adat pertama dari 1.452 desa "pekraman" di Bali yang pariwisatanya berkembang pesat.

Bahkan dalam pengembangan tersebut sarana dan prasarana pendukung kepariwisataan terintegrasi dengan fasilitas yang diperlukan warga desa adat setempat.

Perkembangan pariwisata yang pesat, menjadikan kuta bagai magnet yang mampu menarik kedatangan banyak orang, termasuk warga asing, dengan berbagai kepentingan, terutama ekonomi dan berwisata.

Doktor Sumadi menjelaskan, proses modal budaya sebagai dasar pengembangan pariwisata di desa adat Kuta tidak terlepas dari kedatangan orang asing ke desa tersebut yang pada abad ke-18 menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Mengwi.

Nelayan di pesisir pantai pada zaman kerajaan itu berasal dari Menaga Samanjaya Majapahit yang akhirnya menetap di Kuta bersamaan dengan penaklukan Gajah Mada ke Bali sekitar tahun 1334.

"Orang asing yang pertama berkunjung ke Kuta adalah Mads Johansen Lange yang kemudian lebih dikenal dengan K'tur Tantri. Ia melakukan aktivitas mendirikan pabrik kopra dan membuka usaha ekspor impor dan tahun 1939 mendapat kepercayaan menjadi syahbandar di Kuta dari Raja Kesiman, Gusti Ngurah Gede Kesiman," tutur Ketut Sumadi.

Bahkan K'tur Tantri menjadi anak angkat seorang raja di Bali dan tahun 1930 mendirikan hotel "Swara Segara" yang arsitekturnya menonjolkan budaya lokal. Sejak pembangunan hingga pengoperasian hotel itu melibatkan masyarakat lokal.

Pariwisata Kuta sejak 1960-an hingga 1990-an mengalami perkembangan pesat yang ditandai datangnya pemilik modal untuk membangun fasilitas kepariwisataan dan Pemprov Bali mengendalikan dengan menetapkan Peraturan Daerah (Perda) No 3 tahun 1974.

Warga desa adat Kuta yang memiliki karakter ramah, terbuka dan toleransi tinggi mengalami "euphoria" karena mendapat keuntungan ekonomi yang besar dari menjadikan modal budaya sebagai dasar pengembangan pariwisata yang terus berkembang pesat, tutur Ketut Sumadi.(*)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010