Gianyar (Antara Bali) - Warga Desa Adat Ketewel, Kabupaten Gianyar, dilarang menggelar ritual keagamaan selama 42 hari karena seorang warga melahirkan bayi kembar berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.
"Hal ini sudah diatur dalam Pawos (pasal) 70 `Awing-awig Desa Pakraman` (peraturan desa adat) Ketewel," kata Kepala Desa Adat Ketewel I Wayan Loci, Senin.
Ia menjelaskan bahwa jika ada warga yang melahirkan bayi kembar laki-laki dan perempuan atau "kembar buncing" yang mana bayi perempuan lahir lebih dulu, maka warga desa adat itu diwajibkan menggelar ritual Gumi Suda di perempatan jalan.
Selain itu warga Desa Adat Ketewel juga diwajibkan menggelar ritual "pemendak" di Pura Kahyangan Pelinggih Ida Bhatara Ratu Mas Murub dan Mas Maketel.
"Larangan ini berlaku sejak warga kami melahirkan bayi kembar pada Selasa (9/4) lalu karena dia dianggap `cuntaka` (tidak bersih) sehingga tidak boleh ke pura," kata Wayan Loci.
Setelah masa 42 hari terlewati, warga Desa Adat Ketewel diperbolehkan menggelar ritual keagamaan sebagaimana biasanya. Namun harus didahului dengan ritual Gumi Suda.
"Seluruh biaya upacara Gumi Suda ditanggung oleh pakraman (desa adat). Hal ini sudah tiga kali terjadi di desa kami," katanya. (IPA/M038)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
"Hal ini sudah diatur dalam Pawos (pasal) 70 `Awing-awig Desa Pakraman` (peraturan desa adat) Ketewel," kata Kepala Desa Adat Ketewel I Wayan Loci, Senin.
Ia menjelaskan bahwa jika ada warga yang melahirkan bayi kembar laki-laki dan perempuan atau "kembar buncing" yang mana bayi perempuan lahir lebih dulu, maka warga desa adat itu diwajibkan menggelar ritual Gumi Suda di perempatan jalan.
Selain itu warga Desa Adat Ketewel juga diwajibkan menggelar ritual "pemendak" di Pura Kahyangan Pelinggih Ida Bhatara Ratu Mas Murub dan Mas Maketel.
"Larangan ini berlaku sejak warga kami melahirkan bayi kembar pada Selasa (9/4) lalu karena dia dianggap `cuntaka` (tidak bersih) sehingga tidak boleh ke pura," kata Wayan Loci.
Setelah masa 42 hari terlewati, warga Desa Adat Ketewel diperbolehkan menggelar ritual keagamaan sebagaimana biasanya. Namun harus didahului dengan ritual Gumi Suda.
"Seluruh biaya upacara Gumi Suda ditanggung oleh pakraman (desa adat). Hal ini sudah tiga kali terjadi di desa kami," katanya. (IPA/M038)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013