Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Di Bali tiada hari tanpa kegiatan ritual dan kegiatan itu mempunyai kaitan erat dengan seni yang memberikan vibrasi dan sinar kedamaian bagi umat manusia.
Umat Hindu merayakan Hari Suci Galingan hari Kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (keburukan) pada hari Rabu (27/3) menyusul sepuluh hari kemudian Hari Raya Kuningan Sabtu, 6 April 2013.
Selama sepuluh hari antara Galungan hari raya besar yang dirayakan setiap 210 hari sekali hingga Hari Raya Kuningan itu ditandai dengan pementasan kesenian Barong, atau jenis kesenian sakral lainnya pentas "ngelawang" berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Tradisi "ngelawang" yang diwarisi secara turun temurun itu bermakna untuk menetralisir alam semesta, menolak segala jenis penyakit yang mengganggu kehidupan manusia, termasuk secara niskala mengusir orang-orang yang bermaksud jahat, menggangu keamanan Bali.
Eksotisme sebuah pentas seni komunal masing-masing di depan pintu masuk pekarangan rumah penduduk frekuensinya semakin berkurang, namun masih tetap dilakukan masyarakat setempat, khususnya anak-anak seusia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama (SMP), tutur dosen Institut Seni Indonesia (ISI Denpasar I Kadek Suartaya, SS Kar, MSi.
Seni "ngelawang" selain menyuguhkan hiburan yang diyakini mampu memberi vibrasi kesucian, dengan harapan masyarakat terhindar dari marabahaya, penyakit atau hal-hal lain yang tidak diinginkan.
Pementasan yang unik dan menarik itu masih dilakukan sebagian besar masyarakat di wilayah Kabupaten Tabanan, Badung, Denpasar dan Gianyar.
Panggung pentas yang berpindah-pindah, bahkan masuk gang dan rumah tangga, meskipun hingga kini masih lestari, namun semakin jarang, padahal pentas seni nomadan pada tahun 1980-an, mengkristal menjadi peristiwa kesenian yang mewarnai Galungan selama sepuluh hari hingga ritual Kuningan.
Seni ngelawang memiliki makna melanglang lingkungan. Pada awalnya ngelawang adalah sebuah ritus sakral yang magis yang disangga oleh psiko-relegi yang kuat.
Bentuk perlindungan
Kadek Suartaya, kandidat doktor kajian budaya Universitas Udayana itu menjelaskan, antara Galungan dan Kuningan pada era tahun 1980-an benda-benda keramat yang disimpan di Pura seperti barong dan rangda diusung ke luar tempat suci berkeliling dalam lingkungan banjar atau desa.
Kegiatan ritual yang melibatkan seluruh warga masyarakat desa adat itu dimaknai sebagai bentuk perlindungan secara niskala kepada seluruh masyarakat setempat.
Kehadiran benda-benda yang disucikan itu ditunggu-tunggu oleh masyarakat , bahkan warga yang dapat memungut bulu-bulu barong atau rangda yang tercecer, dengan penuh keyakinan, menjadikannya sebagai jimat bertuah.
Tradisi ngelawang dalam konteks sakral magis sebagai persembahan penolak bala seperti makna pentas ngelawang saat Hari Raya Galungan hingga Hari Suci Kuningan. Namun dalam perkembangannya masyarakat Bali yang kreatif tidak hanya ngelawang mengusung benda-benda sakral, namun dibuatkan tiruannya untuk disajikan sebagai ngelawang tontonan.
Dalam tradisi ngelawang Galungan hingga Kuningan itu, bentuk-bentuk seni "balih-balihan" seperti arja, janger, atau joged juga dapat disaksikan masyarakat sebagai hiburan. Masyarakat yang haus hiburan menstimulasi pentas ngelawang menjadi wahana berkesenian yang konstruktif.
Sebagai seni tontonan, ngelawang menurut Suartaya yang juga seniman andal asal Kabupaten Gianyar itu, merupakan suguhan seni pentas yang serius, namun santai. Untuk mengapresiasinya penonton tidak harus duduk kaku, namun bisa jongkok, berdiri atau bergelayutan, bersentuhan dan bergesekan sembari menikmati alam bebas.
Dengan demikian hampir tak ada jarak antara pelaku seni dengan penonton, semua lebur dan menyatu. Kehadiran seni pentas itu tidak terikat oleh tempat, ruang dan waktu. (*/ADT)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
Denpasar (Antara Bali) - Di Bali tiada hari tanpa kegiatan ritual dan kegiatan itu mempunyai kaitan erat dengan seni yang memberikan vibrasi dan sinar kedamaian bagi umat manusia.
Umat Hindu merayakan Hari Suci Galingan hari Kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (keburukan) pada hari Rabu (27/3) menyusul sepuluh hari kemudian Hari Raya Kuningan Sabtu, 6 April 2013.
Selama sepuluh hari antara Galungan hari raya besar yang dirayakan setiap 210 hari sekali hingga Hari Raya Kuningan itu ditandai dengan pementasan kesenian Barong, atau jenis kesenian sakral lainnya pentas "ngelawang" berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Tradisi "ngelawang" yang diwarisi secara turun temurun itu bermakna untuk menetralisir alam semesta, menolak segala jenis penyakit yang mengganggu kehidupan manusia, termasuk secara niskala mengusir orang-orang yang bermaksud jahat, menggangu keamanan Bali.
Eksotisme sebuah pentas seni komunal masing-masing di depan pintu masuk pekarangan rumah penduduk frekuensinya semakin berkurang, namun masih tetap dilakukan masyarakat setempat, khususnya anak-anak seusia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama (SMP), tutur dosen Institut Seni Indonesia (ISI Denpasar I Kadek Suartaya, SS Kar, MSi.
Seni "ngelawang" selain menyuguhkan hiburan yang diyakini mampu memberi vibrasi kesucian, dengan harapan masyarakat terhindar dari marabahaya, penyakit atau hal-hal lain yang tidak diinginkan.
Pementasan yang unik dan menarik itu masih dilakukan sebagian besar masyarakat di wilayah Kabupaten Tabanan, Badung, Denpasar dan Gianyar.
Panggung pentas yang berpindah-pindah, bahkan masuk gang dan rumah tangga, meskipun hingga kini masih lestari, namun semakin jarang, padahal pentas seni nomadan pada tahun 1980-an, mengkristal menjadi peristiwa kesenian yang mewarnai Galungan selama sepuluh hari hingga ritual Kuningan.
Seni ngelawang memiliki makna melanglang lingkungan. Pada awalnya ngelawang adalah sebuah ritus sakral yang magis yang disangga oleh psiko-relegi yang kuat.
Bentuk perlindungan
Kadek Suartaya, kandidat doktor kajian budaya Universitas Udayana itu menjelaskan, antara Galungan dan Kuningan pada era tahun 1980-an benda-benda keramat yang disimpan di Pura seperti barong dan rangda diusung ke luar tempat suci berkeliling dalam lingkungan banjar atau desa.
Kegiatan ritual yang melibatkan seluruh warga masyarakat desa adat itu dimaknai sebagai bentuk perlindungan secara niskala kepada seluruh masyarakat setempat.
Kehadiran benda-benda yang disucikan itu ditunggu-tunggu oleh masyarakat , bahkan warga yang dapat memungut bulu-bulu barong atau rangda yang tercecer, dengan penuh keyakinan, menjadikannya sebagai jimat bertuah.
Tradisi ngelawang dalam konteks sakral magis sebagai persembahan penolak bala seperti makna pentas ngelawang saat Hari Raya Galungan hingga Hari Suci Kuningan. Namun dalam perkembangannya masyarakat Bali yang kreatif tidak hanya ngelawang mengusung benda-benda sakral, namun dibuatkan tiruannya untuk disajikan sebagai ngelawang tontonan.
Dalam tradisi ngelawang Galungan hingga Kuningan itu, bentuk-bentuk seni "balih-balihan" seperti arja, janger, atau joged juga dapat disaksikan masyarakat sebagai hiburan. Masyarakat yang haus hiburan menstimulasi pentas ngelawang menjadi wahana berkesenian yang konstruktif.
Sebagai seni tontonan, ngelawang menurut Suartaya yang juga seniman andal asal Kabupaten Gianyar itu, merupakan suguhan seni pentas yang serius, namun santai. Untuk mengapresiasinya penonton tidak harus duduk kaku, namun bisa jongkok, berdiri atau bergelayutan, bersentuhan dan bergesekan sembari menikmati alam bebas.
Dengan demikian hampir tak ada jarak antara pelaku seni dengan penonton, semua lebur dan menyatu. Kehadiran seni pentas itu tidak terikat oleh tempat, ruang dan waktu. (*/ADT)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013