Denpasar (Antara Bali) - Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), majelis tertinggi umat Hindu di Bali, mengeluarkan pedoman tentang pelaksanaan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1935 yang jatuh pada Selasa, 12 Maret 2013.
"Pedoman tersebut merupakan hasil rapat pengurus harian dan anggota Forum Welaka (kelompok pemikir) PHDI Bali tentang perayaan Hari Suci Nyepi tahun baru saka 1935," kata Ketua PHDI Provinsi Bali Dr I Gusti Ngurah Sudiana MSi di Denpasar, Senin.
Ia mengatakan, rangkaian upacara pelaksanaan hari suci Nyepi disesuaikan dengan tempat, waktu dan keadaan di suatu desa (desa kala patra), termasuk tradisi di masing-masing desa pekraman (adat) di Pulau Dewata.
Kegiatan tersebut diawali dengan mengadakan prosesi "Melasti/Melis" di kawasan pantai yang bermakna membersihkan "pratima" atau benda yang disakralkan oleh umat Hindu.
Tidak hanya ke pantai, "Melasti" juga bisa dilakukan ke tepi danau atau sumber mata air (kelebutan) yang dianggap suci. "Ritual ini dilakukan umat pada salah satu dari dua hari yang ditetapkan, yakni Minggu (10/3) dan Senin (11/3).
Ngurah Sudiana menjelaskan, umat yang bermukim dekat pantai melakukan prosesi "Melasti" ke laut, dan yang tinggal di daerah pegunungan melakukannya ke danau atau ke sumber mata air.
Sementara masyarakat yang tinggal di tengah-tengah daratan Pulau Dewata jauh dari laut maupun danau, dapat melakukan ritual "Melasti" di sumber mata air terdekat.
Ngurah Sudiana menambahkan, setelah "Melasti", menyusul dilakukan "Bhatara Nyejer" di Pura Desa/Bale Agung di desa adat masing-masing, dilanjutkan dengan "Tawur Kesanga" atau persembahan kurban pada hari Senin (11/3), sehari menjelang Nyepi.
"Tawur Kesanga" itu dilakukan secara berjenjang di tingkat Provinsi Bali yang dipusatkan di Pura Besakih, kemudian tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa dan banjar hingga di rumah tangga masing-masing.
Kegiatan ritual tersebut bermakna meningkatkan hubungan yang serasi dan harmonis antara sesama umat manusia, lingkungan dan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
"Tawur Kesanga" yang berakhir pada petang hari itu dilanjutkan dengan "Ngerupuk" yang bermakna mengusir roh jahat serta menetralkan semua kekuatan dan pengaruh negatif "bhutakala" yakni roh atau makluk yang tidak kelihatan secara kasat mata di lingkungan warga.
Keesokan harinya, Selasa (12/3), umat Hindu merayakan Hari Suci Nyepi tahun baru saka 1935 dengan melaksanakan "Catur Brata" penyepian, yakni empat pantangan (larangan) yang wajib dilaksanakan dan dipatuhi umat Hindu.
Keempat larangan tersebut meliputi tidak melakukan kegiatan/bekerja (Amati Karya), tidak menyalakan lampu atau api (Amati Geni), tidak bepergian (Amati Lelungan) serta tidak mengadakan rekreasi, bersenang-senang atau hura-hura (Amati Lelanguan).
Pelaksanaan "Catur Brata" penyepian diawasi secara ketat oleh petugas keamanan desa adat (pecalang) di bawah koordinasi prajuru atau pengurus banjar setempat, ujar Ngurah Sudiana. (*/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
"Pedoman tersebut merupakan hasil rapat pengurus harian dan anggota Forum Welaka (kelompok pemikir) PHDI Bali tentang perayaan Hari Suci Nyepi tahun baru saka 1935," kata Ketua PHDI Provinsi Bali Dr I Gusti Ngurah Sudiana MSi di Denpasar, Senin.
Ia mengatakan, rangkaian upacara pelaksanaan hari suci Nyepi disesuaikan dengan tempat, waktu dan keadaan di suatu desa (desa kala patra), termasuk tradisi di masing-masing desa pekraman (adat) di Pulau Dewata.
Kegiatan tersebut diawali dengan mengadakan prosesi "Melasti/Melis" di kawasan pantai yang bermakna membersihkan "pratima" atau benda yang disakralkan oleh umat Hindu.
Tidak hanya ke pantai, "Melasti" juga bisa dilakukan ke tepi danau atau sumber mata air (kelebutan) yang dianggap suci. "Ritual ini dilakukan umat pada salah satu dari dua hari yang ditetapkan, yakni Minggu (10/3) dan Senin (11/3).
Ngurah Sudiana menjelaskan, umat yang bermukim dekat pantai melakukan prosesi "Melasti" ke laut, dan yang tinggal di daerah pegunungan melakukannya ke danau atau ke sumber mata air.
Sementara masyarakat yang tinggal di tengah-tengah daratan Pulau Dewata jauh dari laut maupun danau, dapat melakukan ritual "Melasti" di sumber mata air terdekat.
Ngurah Sudiana menambahkan, setelah "Melasti", menyusul dilakukan "Bhatara Nyejer" di Pura Desa/Bale Agung di desa adat masing-masing, dilanjutkan dengan "Tawur Kesanga" atau persembahan kurban pada hari Senin (11/3), sehari menjelang Nyepi.
"Tawur Kesanga" itu dilakukan secara berjenjang di tingkat Provinsi Bali yang dipusatkan di Pura Besakih, kemudian tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa dan banjar hingga di rumah tangga masing-masing.
Kegiatan ritual tersebut bermakna meningkatkan hubungan yang serasi dan harmonis antara sesama umat manusia, lingkungan dan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
"Tawur Kesanga" yang berakhir pada petang hari itu dilanjutkan dengan "Ngerupuk" yang bermakna mengusir roh jahat serta menetralkan semua kekuatan dan pengaruh negatif "bhutakala" yakni roh atau makluk yang tidak kelihatan secara kasat mata di lingkungan warga.
Keesokan harinya, Selasa (12/3), umat Hindu merayakan Hari Suci Nyepi tahun baru saka 1935 dengan melaksanakan "Catur Brata" penyepian, yakni empat pantangan (larangan) yang wajib dilaksanakan dan dipatuhi umat Hindu.
Keempat larangan tersebut meliputi tidak melakukan kegiatan/bekerja (Amati Karya), tidak menyalakan lampu atau api (Amati Geni), tidak bepergian (Amati Lelungan) serta tidak mengadakan rekreasi, bersenang-senang atau hura-hura (Amati Lelanguan).
Pelaksanaan "Catur Brata" penyepian diawasi secara ketat oleh petugas keamanan desa adat (pecalang) di bawah koordinasi prajuru atau pengurus banjar setempat, ujar Ngurah Sudiana. (*/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013