Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan dampak fenomena La Nina kini sudah terasa dan mencapai puncak pada Oktober atau November 2024 mendatang.
Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Eddy Hermawan mengatakan bulan ini La Nina belum menunjukkan eksistensinya, tetapi dampaknya sudah kemana-mana dan menyebabkan musim kemarau menjadi lebih pendek.
"Kita sekarang merasakan langit sering mendung dan turun hujan gerimis," ujarnya saat dihubungi di Mataram, Selasa.
Fenomena La Nina adalah pola iklim berulang yang melibatkan perubahan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik.
Selama La Nina berlangsung, lanjutnya, suhu permukaan laut di sepanjang timur dan tengah Samudera Pasifik mengalami penurunan sebanyak 3 sampai 5 derajat Celcius dari suhu normal.
Suhu permukaan laut yang mendingin mengurangi pertumbuhan awan hujan di bagian timur dan tengah Samudera Pasifik, lalu meningkatkan curah hujan di wilayah khatulistiwa, terkhusus Indonesia.
Eddy menuturkan fenomena La Nina kali ini diprediksi berlangsung hingga akhir Februari atau awal Maret 2025.
Menurutnya, kemunculan La Nina membuat puncak musim kemarau di Indonesia yang terjadi pada Agustus dan September 2024 cenderung basah.
"Puncaknya kemarau pada Agustus dan September akan diimbangi dengan mulai menguatnya La Nina pada saat itu. Jadi, tidak ada efek kemarau yang panas," kata Eddy.
Lebih lanjut dia mengingatkan berbagai dampak yang timbul akibat fenomena La Nina berupa limpahan air berlebihan ke lahan-lahan pertanian. Jika lahan pertanian terendam banjir bisa mempengaruhi angka produksi pangan.
Bahkan La Nina juga bisa membangkitkan awan-awan besar yang berpotensi mengganggu aktivitas penerbangan.
"Banyak efek yang ditimbulkan. Kalau ingin bepergian harus bebas dari awan-awan besar karena La Nina menyebabkan awan-awan besar gagal meninggalkan Indonesia," ujar Eddy Hermawan.
Baca juga: Kepulauan Sunda Kecil yang meliputi Bali, NTB dan NTT masih mengalami suhu udara dingin
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2024
Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Eddy Hermawan mengatakan bulan ini La Nina belum menunjukkan eksistensinya, tetapi dampaknya sudah kemana-mana dan menyebabkan musim kemarau menjadi lebih pendek.
"Kita sekarang merasakan langit sering mendung dan turun hujan gerimis," ujarnya saat dihubungi di Mataram, Selasa.
Fenomena La Nina adalah pola iklim berulang yang melibatkan perubahan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik.
Selama La Nina berlangsung, lanjutnya, suhu permukaan laut di sepanjang timur dan tengah Samudera Pasifik mengalami penurunan sebanyak 3 sampai 5 derajat Celcius dari suhu normal.
Suhu permukaan laut yang mendingin mengurangi pertumbuhan awan hujan di bagian timur dan tengah Samudera Pasifik, lalu meningkatkan curah hujan di wilayah khatulistiwa, terkhusus Indonesia.
Eddy menuturkan fenomena La Nina kali ini diprediksi berlangsung hingga akhir Februari atau awal Maret 2025.
Menurutnya, kemunculan La Nina membuat puncak musim kemarau di Indonesia yang terjadi pada Agustus dan September 2024 cenderung basah.
"Puncaknya kemarau pada Agustus dan September akan diimbangi dengan mulai menguatnya La Nina pada saat itu. Jadi, tidak ada efek kemarau yang panas," kata Eddy.
Lebih lanjut dia mengingatkan berbagai dampak yang timbul akibat fenomena La Nina berupa limpahan air berlebihan ke lahan-lahan pertanian. Jika lahan pertanian terendam banjir bisa mempengaruhi angka produksi pangan.
Bahkan La Nina juga bisa membangkitkan awan-awan besar yang berpotensi mengganggu aktivitas penerbangan.
"Banyak efek yang ditimbulkan. Kalau ingin bepergian harus bebas dari awan-awan besar karena La Nina menyebabkan awan-awan besar gagal meninggalkan Indonesia," ujar Eddy Hermawan.
Baca juga: Kepulauan Sunda Kecil yang meliputi Bali, NTB dan NTT masih mengalami suhu udara dingin
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2024