PT Pertamina melalui anak usaha Pertamina International Shipping (PIS) meremajakan sebanyak 22 unit kapal tanker untuk menekan emisi karbon hingga 2,8 juta ton CO2 per tahun pada 2030.
“Kami lakukan dengan peremajaan armada yakni bisa dijual kemudian membeli yang baru atau membuat kontrak baru,” kata Direktur Armada PIS Muhammad Irfan Zainul Fikri di sela konferensi Bali Ocean Days di Jimbaran, Kabupaten Badung, Bali, Jumat.
Dia menjelaskan saat ini pihaknya mengoperasikan sebanyak 370 kapal tanker untuk distribusi energi gas cair dan gas baik domestik dan internasional.
Dari jumlah itu, sebanyak 98 unit kapal tanker di antaranya merupakan milik anak usaha BUMN perusahaan minyak dan gas itu serta sisanya merupakan kapal sewa.
Hingga saat ini, kata dia, lima unit kapal tanker sudah dijual di wilayah Indonesia dengan skema lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
Meski tidak menyebutkan rinciannya nilai jual keseluruhan, ia memberikan gambaran nilai jual per unit untuk ukuran kapal tanker dengan bobot mati hingga 80 ribu ton menembus hingga Rp78 miliar dan kapal ukuran lebih kecil mencapai Rp13 miliar.
Kapal jumbo yang dijual itu, lanjut dia, merupakan kapal berusia tua atau berusia di atas 25 tahun dengan mengonsumsi bahan bakar yang lebih banyak.
“Kapal tua yang kami jual itu kemudian diganti dengan kapal lebih baru, lebih muda, dan tentu dengan konsumsi bahan bakar lebih rendah, harapannya semakin sedikit BBM yang dibakar, semakin sedikit emisi yang terbuang dalam bentuk CO2,” imbuhnya.
Ia memberikan gambaran, distribusi dilakukan hingga mencapai 50 negara di dunia misalnya ke Chile di Amerika Selatan diperkirakan satu unit kapal tanker ukuran 301 ribu ton bobot mati (dead weight) mencapai 54 ton BBM per hari.
Selain menjual besi tua dan kontrak baru, untuk menekan emisi karbon juga dilakukan dengan inovasi bahan bakarnya.
Irfan menambahkan komposisi bahan bakar kapal tankernya sebanyak 60 persen sudah mengonsumsi BBM rendah emisi yakni Low Sulphur Fuel Oil (LSFO) dan sisanya 40 persen masih High Sulphur Fuel Oil (HSFO).
Selain menyasar BBM LSFO, pihaknya juga menggunakan BBM gas yang saat ini sudah ada tiga kapal tanker jumbo mengonsumsi gas.
“Harapannya 30 persen menggunakan BBM lebih hijau contohnya gas LNG, LPG, amonia bahkan ke depan hidrogen akan kami geser semua,” ucapnya.
Bahan bakar LSFO, kata dial dapat dikonversi juga dengan program pemerintah yakni B35 dan B40 atau BBM campuran minyak kelapa sawit.
Namun, pihaknya memiliki tantangan karena belum menemukan penyedia B35 atau B40 di luar negeri.
Karena itu kapal yang beroperasi di dalam negeri diarahkan menggunakan bahan bakar ramah lingkungan campuran sawit itu.
Ia mengakui transisi energi itu membutuhkan biaya yang besar misalnya untuk instalasi alat hemat energi bisa menembus 300 ribu dolar AS untuk satu peralatan per satu kapal tanker.
Baca juga: Pertamina temukan cadangan migas baru di Blok Rokan, Riau
Baca juga: Pertamina bisa genjot suplai BBM hijau bagi kapal pesiar di Bali
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2024