Amerika Serikat (AS) pada Jumat memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB yang menuntut gencatan senjata segera guna menghentikan pertumpahan darah yang berlangsung di Jalur Gaza ketika jumlah korban tewas terus meningkat.
Teks yang disponsori oleh hampir 100 anggota PBB tersebut mendapat dukungan dari 13 anggota Dewan Keamanan. Sementara Inggris, anggota tetap DK PBB yang memiliki hak veto, memilih abstain.
Rancangan resolusi tersebut menyerukan semua pihak yang berkonflik untuk mematuhi hukum internasional, khususnya perlindungan bagi warga sipil, menuntut gencatan kemanusiaan segera dan meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk melaporkan kepada dewan tersebut mengenai pelaksanaan gencatan senjata.
Uni Emirat Arab (UEA), yang memperkenalkan rancangan tersebut, mengatakan bahwa mereka berupaya secepatnya menyelesaikan resolusi tersebut karena meningkatnya jumlah korban tewas selama perang yang telah berlangsung selama 63 hari.
Guterres pada Rabu menggunakan Pasal 99 Piagam PBB untuk pertama kalinya sejak ia menjabat posisi teratas organisasi tersebut pada 2017, menyerukan pembentukan gencatan senjata dan mengatakan bahwa kondisi terkini di Gaza tidak memungkinkan dilakukannya "operasi kemanusiaan yang berarti."
Setelah AS menghentikan rancangan undang-undang tersebut, Mohamed Abushahab, perwakilan UEA, menyesali kegagalannya, mengatakan "sangat disayangkan, di tengah kesengsaraan tak terkira (warga Gaza), dewan ini tidak mampu menuntut gencatan senjata kemanusiaan."
"Ingin saya perjelas: dengan adanya peringatan keras dari Sekretaris Jenderal, seruan para aktor kemanusiaan (dan) opini publik dunia, dewan ini semakin terisolasi. Ini tampaknya tidak terikat dengan dokumen pendiriannya sendiri," katanya.
"Hasil mengecewakan dari pemungutan suara ini tidak akan menghalangi kita untuk terus memohon kepada anggota dewan untuk bertindak dan mengakhiri kekerasan di Gaza. Dewan ini harus bersatu dan bertindak untuk mengakhiri perang ini, dan UEA akan terus menegaskan hal itu," tambahnya.
"Kami mencatat hasilnya di Dewan Keamanan. Tekad Sekretaris Jenderal untuk mendorong gencatan senjata kemanusiaan dan upaya kemanusiaan PBB di Gaza akan terus berlanjut," kata juru bicara PBB Stephane Dujarric kepada Anadolu dalam sebuah pernyataan.
Robert Wood, perwakilan AS untuk PBB, mengatakan pemerintahan Biden menggunakan hak vetonya karena gencatan senjata akan memungkinkan Hamas untuk tetap menguasai Gaza.
"Selama Hamas tetap pada ideologi penghancurannya, gencatan senjata apapun hanya bersifat sementara dan tentu saja bukan perdamaian. Dan gencatan senjata yang membiarkan Hamas tetap menguasai Gaza akan menutup kesempatan warga sipil Palestina untuk membangun sesuatu yang lebih baik bagi diri mereka sendiri," kata Wood.
"Oleh karena itu, meskipun AS sangat mendukung perdamaian abadi di mana Israel dan Palestina bisa hidup damai dan aman, kami tidak mendukung seruan resolusi untuk gencatan senjata yang hanya akan menjadi benih bagi perang berikutnya."
Lebih dari 17 ribu orang telah tewas di Gaza di tengah penembakan dan serangan udara tanpa henti oleh Israel, menurut angka resmi dari otoritas di Gaza.
Sekitar 70 persen dari total korban tewas adalah perempuan dan anak-anak, dengan lebih dari 46 ribu lainnya luka-luka. Sementara itu, sekitar 1,8 juta warga Palestina telah mengungsi secara internal.
Israel memulai perangnya sebagai balasan atas serangan lintas batas yang dilakukan kelompok Hamas Palestina pada 7 Oktober yang menewaskan lebih dari 1.200 warga Israel. Sekitar 240 warga Israel lainnya dibawa ke Gaza sebagai sandera.
Gencatan senjata selama sepekan menghasilkan pembebasan sekitar 100 sandera dan memungkinkan masuknya bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan ke Gaza, meskipun pada tingkat yang tidak seberapa dibandingkan waktu sebelum perang.
Setelah gencatan senjata berakhir pada 1 Desember, bantuan kembali berkurang dibandingkan dengan kebutuhan di Gaza.
Guterres pada Jumat memperingatkan Dewan Keamanan bahwa jaringan bantuan kemanusiaan di Gaza menghadapi "keruntuhan total," dan jika gagal, akan ada "konsekuensi yang menghancurkan" bagi wilayah tersebut, dan akan mengakibatkan "gangguan total terhadap ketertiban umum dan keamanan dan meningkatkan tekanan untuk melakukan perpindahan massal ke Mesir."
"Saya khawatir dampaknya bisa sangat buruk bagi keamanan seluruh wilayah," katanya kepada Dewan Keamanan sebelum pemungutan suara terkait rancangan resolusi yang menuntut gencatan senjata segera untuk mengakhiri permusuhan.
"Risiko runtuhnya sistem kemanusiaan pada dasarnya terkait dengan kurangnya keselamatan dan keamanan bagi staf kami di Gaza, dan dengan besarnya intensitas operasi militer yang sangat membatasi akses terhadap orang-orang yang sangat membutuhkan," tambahnya.
Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) saat ini memfasilitasi bantuan untuk lebih dari 2,2 juta warga Palestina di Gaza, termasuk lebih dari 1,2 juta orang yang mencari perlindungan di fasilitas-fasilitas organisasi tersebut.
Badan tersebut memperingatkan bahwa situasinya mendekati "titik yang tidak dapat dibalikkan" di daerah kantong pesisir tersebut, "di mana pengabaian terhadap hukum kemanusiaan internasional melukai hari nurani kita bersama."
Sedikitnya 133 pekerja UNRWA tewas, menjadikan perang di Gaza sebagai perang paling mematikan bagi personel PBB dalam sejarah badan internasional tersebut, dan 91 fasilitas UNRWA juga telah rusak selama konflik tersebut. Banyak pekerja UNRWA tewas di rumah mereka bersama keluarga mereka.
Sumber: Anadolu
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023
Teks yang disponsori oleh hampir 100 anggota PBB tersebut mendapat dukungan dari 13 anggota Dewan Keamanan. Sementara Inggris, anggota tetap DK PBB yang memiliki hak veto, memilih abstain.
Rancangan resolusi tersebut menyerukan semua pihak yang berkonflik untuk mematuhi hukum internasional, khususnya perlindungan bagi warga sipil, menuntut gencatan kemanusiaan segera dan meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk melaporkan kepada dewan tersebut mengenai pelaksanaan gencatan senjata.
Uni Emirat Arab (UEA), yang memperkenalkan rancangan tersebut, mengatakan bahwa mereka berupaya secepatnya menyelesaikan resolusi tersebut karena meningkatnya jumlah korban tewas selama perang yang telah berlangsung selama 63 hari.
Guterres pada Rabu menggunakan Pasal 99 Piagam PBB untuk pertama kalinya sejak ia menjabat posisi teratas organisasi tersebut pada 2017, menyerukan pembentukan gencatan senjata dan mengatakan bahwa kondisi terkini di Gaza tidak memungkinkan dilakukannya "operasi kemanusiaan yang berarti."
Setelah AS menghentikan rancangan undang-undang tersebut, Mohamed Abushahab, perwakilan UEA, menyesali kegagalannya, mengatakan "sangat disayangkan, di tengah kesengsaraan tak terkira (warga Gaza), dewan ini tidak mampu menuntut gencatan senjata kemanusiaan."
"Ingin saya perjelas: dengan adanya peringatan keras dari Sekretaris Jenderal, seruan para aktor kemanusiaan (dan) opini publik dunia, dewan ini semakin terisolasi. Ini tampaknya tidak terikat dengan dokumen pendiriannya sendiri," katanya.
"Hasil mengecewakan dari pemungutan suara ini tidak akan menghalangi kita untuk terus memohon kepada anggota dewan untuk bertindak dan mengakhiri kekerasan di Gaza. Dewan ini harus bersatu dan bertindak untuk mengakhiri perang ini, dan UEA akan terus menegaskan hal itu," tambahnya.
"Kami mencatat hasilnya di Dewan Keamanan. Tekad Sekretaris Jenderal untuk mendorong gencatan senjata kemanusiaan dan upaya kemanusiaan PBB di Gaza akan terus berlanjut," kata juru bicara PBB Stephane Dujarric kepada Anadolu dalam sebuah pernyataan.
Robert Wood, perwakilan AS untuk PBB, mengatakan pemerintahan Biden menggunakan hak vetonya karena gencatan senjata akan memungkinkan Hamas untuk tetap menguasai Gaza.
"Selama Hamas tetap pada ideologi penghancurannya, gencatan senjata apapun hanya bersifat sementara dan tentu saja bukan perdamaian. Dan gencatan senjata yang membiarkan Hamas tetap menguasai Gaza akan menutup kesempatan warga sipil Palestina untuk membangun sesuatu yang lebih baik bagi diri mereka sendiri," kata Wood.
"Oleh karena itu, meskipun AS sangat mendukung perdamaian abadi di mana Israel dan Palestina bisa hidup damai dan aman, kami tidak mendukung seruan resolusi untuk gencatan senjata yang hanya akan menjadi benih bagi perang berikutnya."
Lebih dari 17 ribu orang telah tewas di Gaza di tengah penembakan dan serangan udara tanpa henti oleh Israel, menurut angka resmi dari otoritas di Gaza.
Sekitar 70 persen dari total korban tewas adalah perempuan dan anak-anak, dengan lebih dari 46 ribu lainnya luka-luka. Sementara itu, sekitar 1,8 juta warga Palestina telah mengungsi secara internal.
Israel memulai perangnya sebagai balasan atas serangan lintas batas yang dilakukan kelompok Hamas Palestina pada 7 Oktober yang menewaskan lebih dari 1.200 warga Israel. Sekitar 240 warga Israel lainnya dibawa ke Gaza sebagai sandera.
Gencatan senjata selama sepekan menghasilkan pembebasan sekitar 100 sandera dan memungkinkan masuknya bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan ke Gaza, meskipun pada tingkat yang tidak seberapa dibandingkan waktu sebelum perang.
Setelah gencatan senjata berakhir pada 1 Desember, bantuan kembali berkurang dibandingkan dengan kebutuhan di Gaza.
Guterres pada Jumat memperingatkan Dewan Keamanan bahwa jaringan bantuan kemanusiaan di Gaza menghadapi "keruntuhan total," dan jika gagal, akan ada "konsekuensi yang menghancurkan" bagi wilayah tersebut, dan akan mengakibatkan "gangguan total terhadap ketertiban umum dan keamanan dan meningkatkan tekanan untuk melakukan perpindahan massal ke Mesir."
"Saya khawatir dampaknya bisa sangat buruk bagi keamanan seluruh wilayah," katanya kepada Dewan Keamanan sebelum pemungutan suara terkait rancangan resolusi yang menuntut gencatan senjata segera untuk mengakhiri permusuhan.
"Risiko runtuhnya sistem kemanusiaan pada dasarnya terkait dengan kurangnya keselamatan dan keamanan bagi staf kami di Gaza, dan dengan besarnya intensitas operasi militer yang sangat membatasi akses terhadap orang-orang yang sangat membutuhkan," tambahnya.
Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) saat ini memfasilitasi bantuan untuk lebih dari 2,2 juta warga Palestina di Gaza, termasuk lebih dari 1,2 juta orang yang mencari perlindungan di fasilitas-fasilitas organisasi tersebut.
Badan tersebut memperingatkan bahwa situasinya mendekati "titik yang tidak dapat dibalikkan" di daerah kantong pesisir tersebut, "di mana pengabaian terhadap hukum kemanusiaan internasional melukai hari nurani kita bersama."
Sedikitnya 133 pekerja UNRWA tewas, menjadikan perang di Gaza sebagai perang paling mematikan bagi personel PBB dalam sejarah badan internasional tersebut, dan 91 fasilitas UNRWA juga telah rusak selama konflik tersebut. Banyak pekerja UNRWA tewas di rumah mereka bersama keluarga mereka.
Sumber: Anadolu
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023