Ombudsman RI Perwakilan Bali di Denpasar, Kamis, meminta Majelis Desa Adat (MDA) Bali mensosialisasikan pedoman mengenai dudukan atau uang pungutan warga ke seluruh desa adat.
Hal ini berkaitan dengan temuan Ombudsman Bali dalam kajian cepatnya terhadap desa adat, di mana banyak laporan yang masuk mengenai pelayanan dan biaya pungutan, sementara di Bali baru ada satu desa adat yang meresmikan pararem atau aturan terkait hal ini.
“Saran kita supaya yang pertama majelis desa adat terus melakukan sosialisasi atau bimtek terkait pedoman, kemudian menyusun standar operasional prosedur kan masih ada kekurangan soal belum adanya kepastian waktu (menyelesaikan suatu pelayanan) dan biaya,“ kata Kepala Ombudsman Bali Ni Nyoman Sri Widhiyanti.
Hingga saat ini dari 1.493 desa adat baru satu yang memiliki pararem mengenai dudukan yang telah disetujui MDA Bali dan dinas pemajuan desa adat, padahal ini penting untuk kejelasan pelayanan.
Sri menegaskan bahwa pararem di masing-masing desa adat semestinya terverifikasi, namun setelah melakukan kajian di 21 desa adat ia menemukan fakta bahwa mereka belum memahami pedoman tersebut.
Baca juga: MDA Bali: Aturan soal kontribusi pendatang digpdok di Pesamuan Agung
“Pedoman itu juga sebenarnya sudah ada tetapi belum maksimal untuk disosialisasi kepada desa adat. Makanya akhirnya mereka belum tahu sudah ada pedoman terkait itu, seharusnya kalau tahu kan mereka juga pasti akan mengevaluasi yang sudah ada sesuai pedoman,” ujarnya.
Ombudsman Bali mengaku tak mempersoalkan nominal pungutan karena semuanya telah tercantum dalam pedoman, namun mereka ingin pungutan yang diminta ke penduduk asli maupun pendatang jelas peruntukannya karena selama ini mereka banyak menerima laporan.
“Rata-rata keluhannya begitu. Saya dikenakan sekian, desa sana kok sekian, kami jumlahnya Rp50 ribu per orang, kalau di desa sana kok Rp50 ribu per kepala keluarga. Jadi penerapannya beda-beda,” kata Sri.
“Makanya di pedoman itu sudah ada standarisasinya, makanya nanti akan dilihat supaya juga tidak ada penerapan yang terlalu besar, harus ada rasa keadilan juga, jadi ada standarisasi lewat pararem,” sambungnya.
Baca juga: PLN bantu mobil tanggap bencana kepada Majelis Desa Adat Bali
Kepala Ombudsman Bali itu menekankan bahwa niat mereka baik agar suatu saat tak ada yang mempermasalahkan perihal pungutan, namun mereka menyadari masalah dari kurangnya desa adat yang terdaftar ada di jumlah sumber daya manusia yang kurang.
Saat ini setiap desa adat yang hendak mendaftarkan pararemnya harus diverifikasi terlebih dahulu di MDA Bali dan mendapat nomor registrasi dari Dinas Pemajuan Desa Adat Bali.
Sementara menurutnya sebaiknya tugas tersebut dilimpahkan ke lembaga di jajaran kabupaten/kota sehingga mempermudah dalam verifikasi.
“Nah itu keluhannya sebenarnya bukan di nomor register ya, tapi verifikasinya yang lama di majelis desa adat, tapi memang rata-rata di lapangan sih mereka banyak bilangnya belum tahu pedoman,” tutur Sri.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023
Hal ini berkaitan dengan temuan Ombudsman Bali dalam kajian cepatnya terhadap desa adat, di mana banyak laporan yang masuk mengenai pelayanan dan biaya pungutan, sementara di Bali baru ada satu desa adat yang meresmikan pararem atau aturan terkait hal ini.
“Saran kita supaya yang pertama majelis desa adat terus melakukan sosialisasi atau bimtek terkait pedoman, kemudian menyusun standar operasional prosedur kan masih ada kekurangan soal belum adanya kepastian waktu (menyelesaikan suatu pelayanan) dan biaya,“ kata Kepala Ombudsman Bali Ni Nyoman Sri Widhiyanti.
Hingga saat ini dari 1.493 desa adat baru satu yang memiliki pararem mengenai dudukan yang telah disetujui MDA Bali dan dinas pemajuan desa adat, padahal ini penting untuk kejelasan pelayanan.
Sri menegaskan bahwa pararem di masing-masing desa adat semestinya terverifikasi, namun setelah melakukan kajian di 21 desa adat ia menemukan fakta bahwa mereka belum memahami pedoman tersebut.
Baca juga: MDA Bali: Aturan soal kontribusi pendatang digpdok di Pesamuan Agung
“Pedoman itu juga sebenarnya sudah ada tetapi belum maksimal untuk disosialisasi kepada desa adat. Makanya akhirnya mereka belum tahu sudah ada pedoman terkait itu, seharusnya kalau tahu kan mereka juga pasti akan mengevaluasi yang sudah ada sesuai pedoman,” ujarnya.
Ombudsman Bali mengaku tak mempersoalkan nominal pungutan karena semuanya telah tercantum dalam pedoman, namun mereka ingin pungutan yang diminta ke penduduk asli maupun pendatang jelas peruntukannya karena selama ini mereka banyak menerima laporan.
“Rata-rata keluhannya begitu. Saya dikenakan sekian, desa sana kok sekian, kami jumlahnya Rp50 ribu per orang, kalau di desa sana kok Rp50 ribu per kepala keluarga. Jadi penerapannya beda-beda,” kata Sri.
“Makanya di pedoman itu sudah ada standarisasinya, makanya nanti akan dilihat supaya juga tidak ada penerapan yang terlalu besar, harus ada rasa keadilan juga, jadi ada standarisasi lewat pararem,” sambungnya.
Baca juga: PLN bantu mobil tanggap bencana kepada Majelis Desa Adat Bali
Kepala Ombudsman Bali itu menekankan bahwa niat mereka baik agar suatu saat tak ada yang mempermasalahkan perihal pungutan, namun mereka menyadari masalah dari kurangnya desa adat yang terdaftar ada di jumlah sumber daya manusia yang kurang.
Saat ini setiap desa adat yang hendak mendaftarkan pararemnya harus diverifikasi terlebih dahulu di MDA Bali dan mendapat nomor registrasi dari Dinas Pemajuan Desa Adat Bali.
Sementara menurutnya sebaiknya tugas tersebut dilimpahkan ke lembaga di jajaran kabupaten/kota sehingga mempermudah dalam verifikasi.
“Nah itu keluhannya sebenarnya bukan di nomor register ya, tapi verifikasinya yang lama di majelis desa adat, tapi memang rata-rata di lapangan sih mereka banyak bilangnya belum tahu pedoman,” tutur Sri.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023