Pengamat hukum sekaligus Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi I Dewa Gede Palguna menilai Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tahun 2022 tentang Pengurusan Piutang Negara oleh Panitia Urusan Piutang Negara perlu dilakukan uji materi di Mahkamah Agung.

Hal itu disampaikan Dewa Palguna dalam diskusi yang diinisiasi Publik Nusakom Pratama Institut bertajuk “Perspektif Keadilan dalam Pandangan Hukum dan Budaya” yang digelar di Denpasar, Bali, Jumat (18/7) yang dipimpin oleh Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Dr. Ari Junaedi.

Menurut Palguna, uji materi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 tentang Pengurusan Piutang Negara Oleh Panitia Urusan Piutang Negara penting mengingat PP tersebut dianggap inkonsisten dengan peraturan pada tingkatan yang berbeda, karena itu harus diuji materi ke Mahkamah Agung dengan melakukan pengajuan gugatan uji materiil.

“Dengan munculnya PP Nomor 28/2022 saya sering bingung apakah teori-teori hukum masih berlaku sekarang ini. Dari legal struktur sebetulnya perangkat hukum kita sudah memadai. Dalam hal legal kultur, kita sangat lemah karena budaya permisif demikian juga legal substances kita juga mengenal adanya kompromi politik yang bisa mengatasi persoalan hukum. PP Nomor 28/2022  jika  bertentangan dengan Undang-Undang di atasnya bisa dibawa ke Mahkamah Agung," kata Dewa Palguna.

Menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana itu, tidak menjadi persolan yang serius bahwa PP Nomor 28/2022 dianggap lahir terlambat dikeluarkan oleh pemerintah. Akan tetapi, sepanjang isinya bertentangan dengan nilai keadilan, maka layak digugat publik.

Bagi Dewa Palguna yang juga pendiri Forum Merah Putih, negara mestinya memiliki constistusional complaint atau Verfassungbeschwerde seperti di Jerman untuk mengadukan persoalan hukum seperti munculnya PP Nomor 28/2022.

Dari segi norma, kata dia, Undang-Undang yang baik harusnya dimulai dari awal pembentukannya sehingga aturan turunannya bisa dikontrol dan tidak bertentangan dengan aturan hukum lain.

Sementara itu, Direktur LBH Bali Woman Crisis Center Ni Nengah Budawati yang hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut menyoroti hukum dari aspek budaya hukum. Menurut dia, hukum yang baik mestinya mempertimbangkan aspek sosial budaya masyarakat agar dalam penerapannya dapat diterima oleh masyarakat.

“Dari aspek budaya, budaya leluhur bangsa kita meninggalkan ajaran dan pola sikap untuk berbuat baik, menolak berbuat salah serta mengagungkan keselarasan alam dan isinya. Budaya adiluhung kita begitu menghormati tata krama yang baik dan mengajarkan adanya kehidupan setelah kematian. Hidup selama kehidupan dan hidup usai kematian harus terus mengedepankan kebaikan,” kata Ni Nengah Budawati.

Bagi Nengah Budawati, produk hukum yang tidak berpijak kepada aspek psikologis, sosial, serta budaya, maka dalam pemberlakuannya menjadi tidak efektif.

Akibat yang paling fatal dari produk hukum yang tidak efektif, kata dia, adalah publik pesimis dan Undang-Undang menjadi produk hukum yang hampa tanpa makna.

Baik Palguna maupun Budawati membentangkan konteks pentingnya penegakan hukum bagi terselenggaranya kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis dari amalan hukum dan budaya baik dari sisi struktur legal maupun substansi hukum itu sendiri.

Menurut keduanya, selama hukum belum ditegakkan, kemajuan ekonomi sebuah bangsa menjadi tidak bermakna. Demikian pula halnya dengan upaya mengesampingkan aspek budaya dalam proses legislasi menjadikan produk hukum yang dihasilkan menjadi hampa.

Pewarta: Rolandus Nampu

Editor : Widodo Suyamto Jusuf


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023