Benoa (Antara Bali) - Para nelayan yang tergabung dalam Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) mengharapkan pemerintah dapat melakukan pembatasan terhadap jumlah rompon yang dioperasikan di laut dalam, terlebih yang beberadaannya diketahui ilegal.

"Keberadaan rumpon, terlebih yang dioperasikan secara liar, sangat merusak ekosistem di perairan laut, terutama kelangsungan hidup aneka jenmis ikan," kata Ketua Umum ATLI Kasdi Taman, di Benoa, Denpasar, Bali, Selasa.

Ia menyebutkan, dari sebuah rumpon liar, aneka jenis ikan dalam berbagai ukuran akan dapat dijaring dalam suatu kesempatan, dan ini yang merusak ekosistem di perairan.

"Bayangkan, mulai dari ikan yang sebesar telunjuk hingga sebesar orang dewasa, dapat dijaring denbgan seketika saat satwa perairan itu berkerumun dalam rumpon," katanya.

Menurut dia, rumpon yang selama ini diletakkan di laut dalam, dirancang secara khusus dengan "asesoris" yang mampu menarik aneka jenis ikan untuk berkerumun di tempat itu.

"Rumpon menang dibuat agar aneka jenis ikan betah berada di tempat itu. Masalahnya, pada 'asesoris' yang ditanam di dalam air, nantinya akan banyak ditumbuhi plangton yang adalah makanan ikan," katanya.

Celakanya, lanjut dia, pihak yang memasang rumpon tidak banyak yang mau mempedulikan kelestarian atau kesinambungan hidup dari ikan-ikan itu.

"Aneka jenis ikan dengan berbagai ukuran, dijaring begitu saja ke permukaan laut. Akibatnya, ikan-ikan kecil yang sesungguhnya adalah generasi penerus di perairan, ikut musnah," katanya dengan nada geram.

Berbeda dengan nelayan biasa, lanjut Kasdi, umumnya sangat selektif dalam menangkap ikan di perairan laut, sehingga ekosistem dan kelangsungan hidup aneka jenis biota khususnya ikan, dapat tetap dipertahankan.

Ia menjelaskan, nelayan biasa akan selalu memilih dan memilah jenis dan ukuran ikan yang harus diambilnya dari dalam laut. "Tidak hantam kromo dengan memberangus ikan-ikan kecil yang harus tetap diselamatkan," ujarnya menandaskan.

Kasdi mengungkapkan, bagi para penangkap ikan dalam rumpon, mereka tidak mempedulikan itu. Sekali tebar jaring pukat cincin (purse seine), apapun unsur kehidupan yang berada dalam rumpon akan terjaring semuanya.

Terkait itu, kelangsungan hidup ikan tidak akan dapat dipertahankan. Masalahnya, ikan-ikan berukuran kecil turut terjaring dan mati, katanya menandaskan.

Menurut dia, nelayan yang tergabung dalam ATLI selalu memperhatikan kelangsungan hidup aneka ikan dan ekosistemnya di perairan laut.

Terkait itu, alat tangkap yang digunakan ATLI tidak akan turut "memberangus" ikan-ikan kecil. Selain itu, lokasi tangkap yang selama ini diterjuni ATLI juga jauh dari kemungkinan untuk dapat membunuh ikan yang merupakan generasi penerus dari kehidupan hasil tangkapan di laut itu, katanya.

"Sementara kapal yang menangkap ikan di rumpon, terlebih yang dibangun secara liar, kami ketahui tidak sedikit yang kemudin menjaring ikan kecil-kecil yang kemudian bangkainya ditebar di laut," kata Kasdi, dengan nada kesal.

Namun demikian, ia mengungkapkan ada juga anggota ATLI yang ikut "nakal", yang ambil bagian dalam menangkap ikan di kawasan rumpon-rumpon yang ternyata dibangun dengan tanpa izin itu.

Terhadap anggota yang demikian, lanjut Kasdi, pihaknya telah melakukan tindak pemecatan sebagai anggota ATLI.

"Dua anggota telah kami pecat, yakni pemilik Kapal Micky dan Minnie yang terbukti telah menjaring ikan di kawasan rumpon-rumpon yang dibangun ilegal," katanya.

Rumpon ilegal yang juga dinilai dapat mengganggu jalur pelayaran itu, selama ini tidak hanya dibangun di perairan laut Bali, tetapi juga di Flores, Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur. (*)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010