Oleh Drs I Ketut Suarja MSi*)

Keberhasilan pembangunan dewasa ini mempunyai implikasi sosial budaya, khususnya dalam bidang keagamaan.

Dengan menurunnya peranan sektor pertanian serta peningkatan sektor lainnya, keadaan seperti ini akan tampak pula meningkatnya tuntunan-tuntunan hidup, baik yang menyangkut bidang spiritual maupun material, khusus di bidang spiritual akan tampak meningkatnya kebutuhan akan bahan bacaan yang berkaitan dengan Agama Hindu.

Pelaksanaan ajaran agama tidak cukup berdasarkan konsep "yadnya" (ritual) saja, karena umat dalam tingkat sosial budaya dan teknologi maju perlu ajaran-ajaran yang bersifat rohani.

Ajaran-ajaran yang bersifat rohani diharapkan akan menjadi dasar yang kuat dalam menghadapi tuntutan sosial. Apabila dalam kehidupan ini manusia tidak bisa mengisi tuntutan-tuntutan ini, maka akan terjadi pendangkalan nilai umat Hindu.

Oleh karena itu, diperlukan adanya usaha-usaha yang mengarah pada "pendalaman" ajaran agama, antara lain dengan mengadakan penggalian pada nilai-nilai universal dan abadi yang terdapat dalam ajaran Hindu. Demikian nilai yang didapat dari pelaksanaan ajaran Siwaratri adalah sebagai "pendakian untuk mencapai kebebasan".

Istilah Siwaratri berasal dari kata Siwa dalam Bahasa Sansekerta berarti baik hati, suka memaafkan, memberi harapan, dan membahagiakan. Dalam hal ini kata Siwa adalah sebuah gelar atau nama kehormatan untuk salah satu manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai "pemerelina" atau pelebur segala yang patut dilebur untuk mencapai kesucian atau kesadaran diri yang memberikan harapan untuk bahagia. Sedangkan Ratri artinya "malam".

Malam di sini juga dimaksudkan kegelapan. Jadi, Siwaratri artinya malam untuk melebur atau melenyapkan kegelapan hati menuju jalan yang terang.

Hari Siwaratri, dilaksanakan setiap tahun sekali yakni pada "panglong ping 14/purwaning Tilem sasih kepitu" atau sehari menjelang tilem (bulan mati), bulan ke-7, yaitu malam yang paling gelap di dalam satu tahun. Pelaksanaan Siwaratri untuk 2010 ini dilangsungkan pada Kamis (14/1).

Pada hari itu umat Hindu, melakukan "brata" yang berarti "sumpah, janji, pandangan, kewajiban, laku utama, keteguhan hati", yang dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa "Brata Siwaratri", artinya kewajiban bertingkah laku utama atau janji untuk teguh hati melaksanakan ajaran Siwaratri. Ajaran utama Siwaratri adalah melakukan upawasa (tidak makan dan minum), monabrata (tidak bicara), dan jagra (tidak tidur).

"Brata Siwaratri pada tingkatan yang paling sederhana, yakni tidak tidur selama 36 jam, dari pukul 06.00 pada panglong ping 14 sampai pukul 18.00 tileming sasih ke-7 pada 14 hingga 15 Januari 2010.

Untuk memperoleh kesadaran diri dengan melakukan Brata Siwaratri, umat Hindu berharap dapat melenyapkan "papa". Kata "papa" dalam Bahasa Sansekerta artinya "sengsara, neraka, buruk, jahat, dan hina". Jadi tujuan utama Brata Siwaratri  adalah melenyapkan sifat-sfat buruk atau jahat dan hina.

Manusia yang lahir ke dunia ini sangat perlu melakukan Brata Siwaratri karena manusia dalam kehidupannya dibelenggu oleh "kekuatan yang tidak baik". Maka manusia hendaknya berusaha mendapatkan keseimbangan jasmani dan rohani, yang bisa dicapai dengan perlahan-lahan dan bertahap melalui perbuatan yang bersifat kebajikan.

Telah disadari bahwa dalam kehidupan manusia di dunia penuh dengan hambatan dan gangguan, baik yang datang dari dalam diri manusia itu sendiri maupun dari luar diri.

Hambatan yang berasal dari luar diri dan dari dalam diri sama beratnya. Namun demikian, orang yang mendapat hambatan dari luar, sering berasal dari dalam diri sendiri. Karena untuk mengetahui kelemahan diri sendiri sungguh-sungguh sangat sulit.

Orang lebih sulit menghadapi diri sendiri daripada menghadapi orang lain. Jika orang lain sedang bingung, sedih, kecewa, maka seribu kata dapat kita ucapkan untuk menasihatinya.

Akan tetapi kalau diri sendiri sedang ditimpa kesedihan, maka hilanglah nasehat-nasehat tersebut. Oleh karena itu, timbullah pandangan bahwa hambatan yang berasal dari diri sendiri jauh lebih berat daripada yang berasal dari diri sendiri.

Untuk itu, amat diperlukan kerja sama sesama manusia untuk saling tolong-menolong, saling menyadarkan, saling mengingatkan dengan tujuan untuk membangkitkan kesadaran diri yang sedang ditenggelamkan oleh sifat-sifat ego, sombong, angkuh dan lain-lainya. Siwaratri pada hakekatnya suatu ajaran untuk membangkitkan perjuangan Umat Hindu agar sadar bahwa dirinya  bisa mencapai kebebasan duniawi.

Pemujaan terhadap Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa di hari suci ini, karena manusia dalam menghadapi segala hambatan, baik yang berasal dari dalam diri maupun dari luar diri, memerlukan tuntunan dan anugrah dari Dewa Siwa sebagai "pemeralina" (pembasmi) segala sesuatu yang menghalangi tujuan suci.

Dewa Siwa sebagai penuntun dan pelindung manusia dalam perjuangannya melenyapkan kegelapan batin, menuju hidup yang penuh kesadaran, karena hidup penuh kesadaran dapat melenyapkan kesengsaraan. Ciri orang yang telah berhasil berjuang melenyapkan kesengsaraan adalah orang yang penuh pengendalian diri dalam bidang makan dan minum yang disimbulkan dengan "puasa".

Orang yang penuh dengan pengendalian diri dalam kata-kata disimbulkan dengan "monabrata". Dan orang yang selalu waspada dan sadar berbuat kebenaran disimbolkan dengan "jagra". Orang yang demikian akan selalu mendapat perlindungan dan anugrah oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa, baik selama hidupnya maupun di akhirat.


Brata Siwaratri

Umat Hindu khususnya di Bali pada saat perayaan hari suci Siwaratri ini melakukan monabrata, upawasa, dan jagra selama 36 jam, mulai dari matahari terbit pada hari panglong 14 sasih ke-7 sampai matahari terbenam pada tilem ke-7.

Sementara bagi umat Hindu yang tidak bisa monabrata bisa hanya dengan upawasa dan jagra saja, dan apabila juga tidak bisa melakukan monabrata dan upawasa, maka bisa hanya melakukan brata yang paling sederhana, yakni jagra.

Tata cara pelaksanaannya adalah terlebih pada hari panglong 14 ke-7, melakukan suci laksana atau merenungkan segala apa yang telah dilakukan selama hidup ini.

Pada sore harinya melakukan persembahyangan kepada Suryadhitya dengan maksud mempermaklumkan dan mohon agar beliau menyaksikan pelaksanaan Brata Siwaratri yang dilakukan.

Setelah itu bersembahyang di Kamimitan (sanggah kemulan-red) dengan maksud mempermaklumkan dan mohon tuntunan batin agar sukses dalam melakukan Brata Siwaratri.

Setelah hari mulai malam, mulai melakukan persembayangan fase pertama. Persembahyangan dipusatkan kehadapan Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Siwamahadewa. Selain itu juga persembahyangan ditujukan kepada Dewa Samodaya, yaitu Suryadhitya, Brahma, Wisnu, Iswara, Gana, dan Gangga.

Persembahyangan fase kedua, tengah malam, juga dipusatkan kepada Dewa Siwamahadewa serta Dewa Samodaya.

Persembahyangan fase ketiga pada pagi-pagi buta besoknya, juga dipusatkan kepada Dewa Siwamahadewa serta Dewa Samodaya. Setiap selesai sembahyang diikuti dengan "metirta-pakuluh" yang dimohon ke hadapan Dewa Siwamahadewa.

   
*) Penulis adalah dosen Agama Hindu Politeknik Negeri Bali

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010