Oleh Martin Moentadhim SM

Apa daya pesakitan, dikuntit polisi rahasia di mana dan kapan saja. Memang jaraknya 60 meter. Tetapi, begitu bicara “yang bukan-bukan”, petugas pemerintah kolonial itu pun segera mendekat. Dan dapat dibayangkan apa yang kemudian terjadi.

Itulah gambaran sederhana kondisi batin Bung Karno (BK), satu dari dua proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, ketika oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda diasingkan di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), antara tahun 1934-1938.

Setelah mengarungi lautan selama delapan hari dari Surabaya, kapal Van Riebek yang membawa Soekarno dan keluarganya membuang sauh di Pelabuhan Ende, pada 14 Januari 1934.

Demikian dikatakan oleh ahli sejarah Peter Kasenda dalam Diskusi Kolumnis "Pluralitas dan Multikulturalisme Masyarakat Ende" yang diselenggarakan oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman di Hotel Grand Wisata, Ende, pada Jumat (30/11).

Acara Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu dilaksanakan oleh PT Sasana Kreativa, Jakarta. Diskusi itu dimulai dengan brain storming atau curah pikir di antara peserta, Kamis (29/11) malam.

Diskusi kolumnis itu dibuka oleh Asisten I Sekretaris Kabupaten Ende, Sebastianus Sukadamai, yang juga membacakan sambutan tertulis Bupati Ende. Sementara Kepala Sub-Direktorat Program dan Evaluasi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Ir Yoesoef Budi Ariyanto, memberikan sambutan atas nama direkturnya.

"Dengan dikawal serdadu Belanda, Ir Soekarno dan istrinya, Inggit Ganarsih, beserta ibu mertua, dan anak angkat, Ratna Djuami, memasuki rumah tahanan di Kampung Ambugaga, Ende," kata Peter Kasenda dari Universitas Tujuh Belas Agustus, Jakarta.

Empat tahun pengasingan yang dihabiskan oleh Soekarno di Ende, kemungkinan menjadi masa kehidupannya yang paling bahagia atau paling tidak memberikan ketenangan.

Betapa tidak, dalam otobiografinya yang rampung disunting oleh Cindy Adam pada tahun 1965, Bung Karno menulis, "Endeh, kampung nelayan, telah dipilih sebagai penjara terbuka untukku, yang telah ditentukan oleh Gubernur Jenderal sebagai tempat aku menghabiskan sisa umurku".

"Kampung ini mempunyai penduduk 5.000 kepala. Keadaannya masih terbelakang. Dalam segala hal, Endeh di Pulau Bunga, yang terpencil itu, bagiku, menjadi ujung dunia," demikian Soekarno menulis.

Bicara Lewat Sandiwara
Bung Karno sebagai orang cerdas tentu saja tidak tinggal diam. Berbagai cara dilakukannya untuk tetap menjalani tekadnya membebaskan bangsanya dari belenggu penjajahan. Salah satunya ialah dengan cara menulis naskah tonil.

"Soekarno juga mengembangkan bakat lain di dalam dirinya, yaitu sebagai penulis naskah dan sutradara. Ia mendirikan Perkumpulan Sandiwara Kelimutu, yang jumlah anggotanya sekira lima puluh orang," kata Peter Kasenda.

"Di Ende, Soekarno menulis dan mementaskan sekira dua belas naskah. Sandiwara ini, semuanya membangkitkan semangat membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan," ujarnya.

Judul dua naskah dalam satu seri seperti Rahasia Kelimutu. Kemudian naskah Tahun 1945, Nggera Ende, Amuk, Rendo, Kutkuthi, Maha Iblis, Anak Haram Jadah, Dokter Setan, Aero Dinamit, Jula Gubi, dan Siang Hai Rumbai.

Sepuluh tahun sebelum 1945, misalnya, Soekarno bahkan sudah membayangkan bangsa Indonesia akan terbebas dari belenggu penjajahan.

Melalui sandiwara yang sama, Soekarno bahkan sudah memperkirakan kemerdekaan itu akan direbut dari penjajah sesama bangsa Asia, Jepang. Pementasan sering dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, sehingga membuat gerah pemerintah Hindia Belanda.

Delapan naskah asli tulisan tangan Soekarno diduga hilang. Delapan naskah itu dua di antaranya dalam satu seri berjudul Rahasia Kelimutu. Naskah lainnya berjududul Rendo, Jula Gubi, Kutkuthi, Anak Haram Jadah, Aero Dinamit, dan Dokter Setan, ujar Peter Kasenda.

Naskah ketik salinannya kini tersimpan di lemari kaca di Rumah Pengasingan Bung Karno yang sudah dijadikan museum. Dalam keadaan sudah dilapis plastik, naskah ini tersimpan dalam map plastik merah.

Pengunjung museum dapat melihat map tersebut, tetapi tidak boleh melihat isinya, apalagi memotretnya. (*/T007)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012