Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) melalui Direktorat Jenderal Informasi Komunikasi Publik menyosialisasikan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada masyarakat dan akademisi di Provinsi Bali.
Direktur Informasi Komunikasi Polhukam Kemenkominfo Bambang Gunawan dalam keterangan tertulisnya di Denpasar, Jumat, mengatakan perwujudan negara hukum yang berlandaskan Pancasila memerlukan sistem hukum nasional yang harmonis, sinergis, komprehensif, dan dinamis melalui upaya pembangunan hukum.
"Salah satu proses yang sedang dilakukan oleh pemerintah terkait hukum pidana adalah dengan merevisi RUU KUHP," ujarnya.
Kemenkominfo bekerja sama dengan Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar pada 1 Desember 2022 melaksanakan sosialisasi RKUHP untuk meningkatkan pemahaman guna memperoleh dukungan publik yang lebih luas.
"Upaya pemerintah merevisi dan menyusun sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda perlu segera dilakukan, sehingga sesuai dengan dinamika masyarakat," ucapnya.
Pemerintah mulai merancang RKUHP sejak tahun 1964 untuk menggantikan KUHP yang berlaku sampai saat ini. Penyusunan RUU KUHP juga melibatkan partisipasi masyarakat melalui dialog publik dan sosialisasi.
Baca juga: "Kumham Goes to Campus" ajang sosialisasi RUU KUHP
Lewat dialog publik yang telah berjalan di 11 titik di Indonesia, pemerintah menghimpun masukan dan melakukan penyesuaian sehingga menghasilkan draf terbaru RUU KUHP. Pada tanggal 9 November 2022, draf tersebut telah diserahkan ke Komisi III DPR RI, dan 24 November telah disepakati bersama dalam pembahasan tingkat I.
"Yang dilakukan pemerintah sudah sangat transparan dan demokratis melibatkan masyarakat. Jadi tidak ada maksud-maksud pemerintah untuk tidak melibatkan masyarakat ataupun terburu-buru disahkan," ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Studi Universitas Pendidikan Nasional AAA Ngurah Tini Rusmini Gorda mengatakan RUU KUHP merupakan produk hukum yang diinisiasi oleh anak bangsa. Menurutnya, RUU KUHP yang telah disusun selama 76 tahun ini sudah diidam-idamkan kehadirannya.
Untuk itu, ia berharap kegiatan Sosialisasi RUU KUHP ini bisa menjadi wadah diskusi. Walaupun menurutnya, di tahap sosialisasi ini belum bisa 100 persen mengubah, paling tidak ada hal yang bisa diakomodasi melalui kegiatan ini.
"Saya harap kegiatan ini bisa mengakomodir di tanggal 15 nanti, agar di tahun 2023 kita sudah memiliki KUHP produk Indonesia," ujarnya.
Mengawali sesi sosialisasi, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember Arief Amrullah mengatakan bahwa pentingnya penggantian KUHP ini karena secara politis, dengan kita masih menggunakan KUHP yang ada sekarang, artinya kita masih dalam konteks terjajah oleh Belanda.
"Secara sosiologis juga berbeda muatan masyarakatnya antara Belanda dengan kita, berbeda sekali, ukurannya saja sudah beda. Lalu secara kontekstual juga begitu, KUHP Indonesia harus sesuai dengan nilai-nilai bangsa kita. Inilah salah satu keunggulan dari RUU KUHP yang mengadopsi nilai-nilai bangsanya sendiri,” jelasnya.
Ia mengungkapkan bahwa RUU KUHP yang sebentar lagi disahkan, akan menjadi konstitusinya hukum pidana. Menurutnya, materi muatan hukum pidana nasional ada keseimbangan antara kepentingan umum dan individu.
"KUHP yang sekarang ini lebih menekankan pada individu, kepada sisi pelaku saja, bagaimana sisi korban? Ini kan tidak diperhatikan, dan memang tidak ada. Nah, inilah yang direvisi di dalam RUU KUHP ini, jadi ada keseimbangan itu," ujar Arief.
Baca juga: Dewan Pers minta dilibatkan pembahasan RKUHP
Selain itu, ia mengatakan bahwa RUU KUHP juga memiliki muatan keseimbangan antara unsur perbuatan dan sikap batin. Menurutnya, segala perbuatan harus tergantung pada niatnya.
Pada sesi selanjutnya, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional, I Nyoman Juwita Arsawati, mengungkapkan jika salah satu alasan KUHP dipandang perlu untuk diperbaharui adalah karena banyaknya undang-undang yang lahir di luar KUHP.
"Hal tersebut menunjukkan bahwa KUHP itu sendiri sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat terkait dengan kualitas dan kuantitas kejahatan yang terjadi di masyarakat," ucapnya.
Ia juga menjelaskan bahwa sistem pemidanaan yang ada di dalam RUU KUHP menganut "double-track system" yang artinya di dalam RUU KUHP ada penjatuhan sanksi pidana berupa tindakan, seperti kerja sosial, rehabilitasi, pengawasan dan lain sebagainya.
Berbeda dengan KUHP peninggalan kolonial yang menganut single-track system, di mana hanya ada satu pidana saja.
"Ada perbedaan di dalam RUU KUHP, jenis pidananya ada tiga yaitu pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus atau tindakan. Pidana yang bersifat khusus inilah yang akan diatur secara tersendiri,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Pujiyono mengatakan bahwa ketika membaca RUU KUHP, ada dua asas legalitas, yaitu asas legalitas formil dan asas legalitas materiil.
Ia menambahkan sangat tidak memadai ketika perbuatan yang disebut sebagai tindak pidana hanya apa yang disebut di dalam UU.
"Realitasnya, yang disebut sebagai tindak pidana di tengah masyarakat masih sangat banyak, yang kemudian hidup berkembang di masyarakat adat yang disebut dengan the living law. Maka munculnya asas legalitas formil dan materiil, tidak lepas dari asas keseimbangan yang dianut di dalam RUU KUHP," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022
Direktur Informasi Komunikasi Polhukam Kemenkominfo Bambang Gunawan dalam keterangan tertulisnya di Denpasar, Jumat, mengatakan perwujudan negara hukum yang berlandaskan Pancasila memerlukan sistem hukum nasional yang harmonis, sinergis, komprehensif, dan dinamis melalui upaya pembangunan hukum.
"Salah satu proses yang sedang dilakukan oleh pemerintah terkait hukum pidana adalah dengan merevisi RUU KUHP," ujarnya.
Kemenkominfo bekerja sama dengan Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar pada 1 Desember 2022 melaksanakan sosialisasi RKUHP untuk meningkatkan pemahaman guna memperoleh dukungan publik yang lebih luas.
"Upaya pemerintah merevisi dan menyusun sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda perlu segera dilakukan, sehingga sesuai dengan dinamika masyarakat," ucapnya.
Pemerintah mulai merancang RKUHP sejak tahun 1964 untuk menggantikan KUHP yang berlaku sampai saat ini. Penyusunan RUU KUHP juga melibatkan partisipasi masyarakat melalui dialog publik dan sosialisasi.
Baca juga: "Kumham Goes to Campus" ajang sosialisasi RUU KUHP
Lewat dialog publik yang telah berjalan di 11 titik di Indonesia, pemerintah menghimpun masukan dan melakukan penyesuaian sehingga menghasilkan draf terbaru RUU KUHP. Pada tanggal 9 November 2022, draf tersebut telah diserahkan ke Komisi III DPR RI, dan 24 November telah disepakati bersama dalam pembahasan tingkat I.
"Yang dilakukan pemerintah sudah sangat transparan dan demokratis melibatkan masyarakat. Jadi tidak ada maksud-maksud pemerintah untuk tidak melibatkan masyarakat ataupun terburu-buru disahkan," ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Studi Universitas Pendidikan Nasional AAA Ngurah Tini Rusmini Gorda mengatakan RUU KUHP merupakan produk hukum yang diinisiasi oleh anak bangsa. Menurutnya, RUU KUHP yang telah disusun selama 76 tahun ini sudah diidam-idamkan kehadirannya.
Untuk itu, ia berharap kegiatan Sosialisasi RUU KUHP ini bisa menjadi wadah diskusi. Walaupun menurutnya, di tahap sosialisasi ini belum bisa 100 persen mengubah, paling tidak ada hal yang bisa diakomodasi melalui kegiatan ini.
"Saya harap kegiatan ini bisa mengakomodir di tanggal 15 nanti, agar di tahun 2023 kita sudah memiliki KUHP produk Indonesia," ujarnya.
Mengawali sesi sosialisasi, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember Arief Amrullah mengatakan bahwa pentingnya penggantian KUHP ini karena secara politis, dengan kita masih menggunakan KUHP yang ada sekarang, artinya kita masih dalam konteks terjajah oleh Belanda.
"Secara sosiologis juga berbeda muatan masyarakatnya antara Belanda dengan kita, berbeda sekali, ukurannya saja sudah beda. Lalu secara kontekstual juga begitu, KUHP Indonesia harus sesuai dengan nilai-nilai bangsa kita. Inilah salah satu keunggulan dari RUU KUHP yang mengadopsi nilai-nilai bangsanya sendiri,” jelasnya.
Ia mengungkapkan bahwa RUU KUHP yang sebentar lagi disahkan, akan menjadi konstitusinya hukum pidana. Menurutnya, materi muatan hukum pidana nasional ada keseimbangan antara kepentingan umum dan individu.
"KUHP yang sekarang ini lebih menekankan pada individu, kepada sisi pelaku saja, bagaimana sisi korban? Ini kan tidak diperhatikan, dan memang tidak ada. Nah, inilah yang direvisi di dalam RUU KUHP ini, jadi ada keseimbangan itu," ujar Arief.
Baca juga: Dewan Pers minta dilibatkan pembahasan RKUHP
Selain itu, ia mengatakan bahwa RUU KUHP juga memiliki muatan keseimbangan antara unsur perbuatan dan sikap batin. Menurutnya, segala perbuatan harus tergantung pada niatnya.
Pada sesi selanjutnya, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional, I Nyoman Juwita Arsawati, mengungkapkan jika salah satu alasan KUHP dipandang perlu untuk diperbaharui adalah karena banyaknya undang-undang yang lahir di luar KUHP.
"Hal tersebut menunjukkan bahwa KUHP itu sendiri sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat terkait dengan kualitas dan kuantitas kejahatan yang terjadi di masyarakat," ucapnya.
Ia juga menjelaskan bahwa sistem pemidanaan yang ada di dalam RUU KUHP menganut "double-track system" yang artinya di dalam RUU KUHP ada penjatuhan sanksi pidana berupa tindakan, seperti kerja sosial, rehabilitasi, pengawasan dan lain sebagainya.
Berbeda dengan KUHP peninggalan kolonial yang menganut single-track system, di mana hanya ada satu pidana saja.
"Ada perbedaan di dalam RUU KUHP, jenis pidananya ada tiga yaitu pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus atau tindakan. Pidana yang bersifat khusus inilah yang akan diatur secara tersendiri,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Pujiyono mengatakan bahwa ketika membaca RUU KUHP, ada dua asas legalitas, yaitu asas legalitas formil dan asas legalitas materiil.
Ia menambahkan sangat tidak memadai ketika perbuatan yang disebut sebagai tindak pidana hanya apa yang disebut di dalam UU.
"Realitasnya, yang disebut sebagai tindak pidana di tengah masyarakat masih sangat banyak, yang kemudian hidup berkembang di masyarakat adat yang disebut dengan the living law. Maka munculnya asas legalitas formil dan materiil, tidak lepas dari asas keseimbangan yang dianut di dalam RUU KUHP," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022