Gubernur Bali Wayan Koster saat mengisi studi umum di Institut Teknologi Bandung (ITB), Jawa Barat, mengakui bahwa cara pandangnya dalam membangun Pulau Dewata dipengaruhi oleh ilmu yang diperoleh selama pendidikan di perguruan tinggi tersebut.

"Saya di Jurusan Matematika ITB, dunianya banyak olah pikir, tidak ada hari tanpa kalkulus. Karena ini matematika, ini memberikan suatu aspek cara berpikir kritis, analitis, dan sistematis struktur logika berpikirnya, sehingga ini sangat membantu dalam memecahkan masalah dan berkomunikasi," kata dia dikutip di Denpasar, Rabu.

Dalam studi umum tentang kontribusi sains (matematika) dan pengaruhnya pada cara pandang kebijakan publik di era 4.0 yang disiarkan daring dan langsung, Wayan Koster menyampaikan bahwa sejumlah kebijakan sejak dirinya masuk ke dunia politik turut didasari pengalamannya selama perkuliahan.

Salah satunya ketika Koster menjabat sebagai anggota DPR RI yang berhasil meloloskan 14 undang-undang, di mana satu di antaranya mengenai tunjangan guru besar dengan total tiga kali tunjangan dari gaji pokok.

"Jadi guru besar itu dapat tiga kali tunjangan dari gaji pokok, itu saya terinspirasi dari guru besar ITB yang pensiun hanya dapat uang Rp2,5 juta dan tidak punya rumah, saya harus memikirkan itu agar guru besar punya harkat martabat dan bisa bertahan," ujarnya.

Selain melalui keilmuan, dalam membangun Bali, Wayan Koster menggunakan pengalaman organisasinya sebagai dasar yang menurutnya melebihi kemampuan akademis.

Baca juga: Gubernur Koster minta MKB petakan aset budaya di desa adat

Oleh sebab itu, kata dia, yang dilakukan ketika diberi kepercayaan menjadi Gubernur Bali adalah memahami Bali secara utuh, untuk membangun maka ia mencari tahu lebih dahulu masalah pada alam, manusia dan kebudayaan Bali.

"Alam Bali dianugerahi suatu warisan sumber daya luar biasa, tapi ada masalah, kalau pertanian itu sekarang alih fungsi lahan yang tinggi, subak menurun jumlahnya, masalah air untuk kehidupan dan air untuk pertanian, serta Bali saat ini mengalami masalah lingkungan," kata dia.

Orang nomor satu di lingkup Pemprov Bali itu juga melihat manusia Bali merupakan kategori ras unggul, namun dewasa ini masyarakat Pulau Dewata mengalami perubahan dari cara berpikir, sikap, dan perilaku, menjadi pragmatis dan konsumtif.

Kondisi ini menyebabkan adanya degradasi moral dan menurunnya kecintaan terhadap nilai adat, tradisi, budaya, dan kearifan lokal. Koster menyebut ini terjadi karena faktor ekonomi yang harus dipenuhi masyarakat, sehingga mulai meninggalkan hal-hal positif bagi kehidupan sosial yang umumnya dilakukan.

"Unsur ketiga adalah kebudayaan Bali, Bali tidak memiliki sumber daya seperti gas, minyak atau tambang, tapi dianugerahi keunikan budaya. Namun karena arah kebijakan sebelumnya kurang kuat maka mengakibatkan adat, tradisi, dan kearifan lokal terus mundur dari sisi jumlah dan kualitas," kata Wayan Koster.

Dari permasalahan tersebut, akhirnya Pemprov Bali mengusung budaya sebagai landasan fundamental dari hulu ke hilir. Budaya dijadikan sumber kehidupan, selain membangun etika dan moral, juga mampu menghasilkan produk karya seni seperti tari, musik, lukisan dan lain sebagainya.

Baca juga: Komunitas "Penggak Men Mersi" diskusikan terdesaknya rubrik budaya Bali

Koster juga menjadikan budaya sebagai basis pengembangan perekonomian untuk ekonomi berkelanjutan yang ramah lingkungan sejalan dengan perkembangan global, melalui visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, menuju Bali era baru.

Di hadapan mahasiswa ITB, tempatnya mengenyam pendidikan dahulu, Wayan Koster menjelaskan bahwa visi Pemprov Bali sepenuhnya dilandasi nilai kearifan lokal, lantaran dalam membangun suatu wilayah harus sepenuhnya memahami kondisi dan situasi.

Terdapat enam landasan pembangunan bernama Sad Kerthi atau enam sumber utama kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, antara lain Atma Kerthi yaitu pemuliaan jiwa, Segara Kerthi pemuliaan laut, Danu Kerthi pemuliaan sumber air, Wana Kerthi pemuliaan tumbuhan, Jana Kerthi pemuliaan manusia, dan Jagat Kerthi pemuliaan alam semesta.

Menurutnya, enam sumber utama ini akan menjadi kebutuhan manusia sepanjang kehidupan, untuk mewujudkan itu Koster membentuk tiga dimensi. Pertama, dengan bisa menjaga keseimbangan alam, manusia, dan kebudayaan Bali.

Dimensi kedua yaitu bisa memenuhi harapan dan aspirasi masyarakat dalam berbagai aspek, dan dimensi ketiga merupakan manajemen risiko, memiliki kesiapan yang cukup dalam antisipasi munculnya permasalahan dan tantangan baru yang akan berdampak positif maupun negatif ke depan.

"Jadi manajemen risiko ini bagian dari skenario pembangunan Bali, itu sebagai suatu mitigasi dampak suatu kebijakan, karena suatu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah selain memberi manfaat positif selalu ada dampak negatif yang dapat merugikan masyarakat. Ini harus dipertimbangkan betul ketika merumuskan kebijakan," ujar gubernur asal Buleleng itu.

Kata dia, dalam merumuskan visi misi untuk pembangunan Bali itu, dibutuhkan ketajaman seperti yang dia dapat semasa berkuliah di ITB untuk memahami masalah, dan hal tersebut dibangun sesuai karakter dan potensi yang ada di Bali.

Pewarta: Ni Putu Putri Muliantari

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022