Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof Dr I Wayan 'Kun' Adnyana berpandangan pertautan antara teknologi dan seni dewasa ini tidak dapat dihindari lagi, apalagi semenjak hubungannya semakin mesra selama pandemi COVID-19, sehingga seni virtual menjadi keniscayaan.
Teknologi informasi yang kian canggih, bukan saja menciptakan keunggulan komunikasi yang serba seketika-serentak, melainkan terbukti pula menyajikan kemungkinan penciptaan dengan ragam media baru.
Berbagai fitur dan aplikasi, tersedia dalam gawai yang setiap saat bisa diakses, tidak hanya menawarkan kemudahan kehidupan sehari-hari, namun juga sarana berkreasi melahirkan ragam seni virtual yang imajinatif, berikut bentuk-bentuk ekspresi seni yang menyuguhkan kebaruan.
Fenomena di atas menjadi pembahasan dalam Timbang Rasa (Sarasehan) serangkaian Festival Seni Bali Jani IV Tahun 2022 bertajuk Seni Virtual, Media Baru, dan Jelajah Kreativitas bertempat di Gedung Citta Kelangen ISI Denpasar, pekan ini.
"Seni hari ini sangat bertaut dengan teknologi. Post corona sudah meniscayakan bagi seluruh seniman memasuki dunia ulang-alik antara yang riil dengan berbagai kemungkinan ruang-ruang virtual," ujar Kun Adnyana saat menjadi narasumber sarasehan.
Mantan Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali tersebut mencermati perkembangan dunia teknologi Bali pun telah mulai menggagas seni virtual yang bahkan tidak saja dilakukan oleh seniman di wilayah perkotaan, tetapi juga oleh sanggar-sanggar seni yang ada di perdesaan Bali.
Menurut dia, seorang seniman tentulah harus adaptif dengan segala perubahan. Seni virtual di Bali prosesnya sudah dapat dilihat semenjak 2019, namun semakin masif dilakukan semenjak pandemi melanda tahun 2020. Pada saat itu Disbud Bali memfasilitasi 202 komunitas seni di Bali untuk berkarya seni virtual.
Pada saat itu, lanjut Prof Adnyana, sudah cukup banyak seniman Bali yang memanfaatkan teknologi virtual untuk berkarya, misalnya menggunakan Augmented Reality.
"Pandemi seharusnya dipandang sebagai achievement seniman Bali bertransformasi secara bersama-sama, tidak terhalang ruang dan waktu," katanya.
Gelaran FSBJ II Tahun 2020 mengangkat tema Bali Art Virtual dapat dikatakan sebagai sebuah konsep seni virtual sekaligus capaian seniman Bali di era pandemi untuk tetap menjaga kreativitas seni di tengah masa pandemi saat itu.
"Bagaimana pada saat penabuh dan penari berada pada ruang yang berbeda tapi bisa saling merespons satu pergelaran virtual," tuturnya.
Tidak bisa ditampik seni virtual memiliki kelebihan tersendiri dibanding seni konvensional. Ada citra waktu dan gerak yang dapat dieksplorasi di sana untuk menarik para penikmat seni.
Dengan keunggulan tersebut seni virtual juga menawarkan kebebasan berekspresi seluasnya-luasnya bagi imajinasi para seniman. "Seni virtual bisa menghadirkan kenyataan simulacra yang jauh berbeda dengan realitas sehari-hari," kata Prof Adnyana.
Di sisi lain, karena teknologi bisa memanipulasi realitas-realitas rekaan, kata Prof Adnyana, seni virtual juga bisa dipandang sebagai upaya sistematis melawan hoaks atau representasi palsu atas kebenaran faktual.
"Jadi yang namanya artificial intelligence atau kecerdasan buatan itu bisa saja digunakan untuk memanipulasi realitas menjadi realitas rekaan dengan tujuan jahat," ujar Prof Adnyana.
Sementara itu, narasumber kedua seniman muda Bandu Darmawan memaparkan penggunaan artificial intelligence dalam berkreativitas seni dewasa ini.
Menurutnya, berkesenian bukanlah soal kemampuan teknik melainkan lebih kepada ekspresi ide-ide yang selama ini terpendam.
Ia juga melihat tidak berbanding lurusnya antara kurun waktu pengerjaan dengan kualitas estetika yang dihasilkan seorang seniman. Di sini peran teknologi jelas terlihat membantu seniman menghemat waktu pengerjaan sembari menghasilkan karya seni yang mumpuni sebagai ekspresi diri sang seniman.
"Pekerjaan seni bukan kepandaian teknik, bukan kepandaian melukis, tetapi kata hati yang padat karena banyak menahan," ucapnya mengutip pernyataan pelukis Suromo Darpo Sawego.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022
Teknologi informasi yang kian canggih, bukan saja menciptakan keunggulan komunikasi yang serba seketika-serentak, melainkan terbukti pula menyajikan kemungkinan penciptaan dengan ragam media baru.
Berbagai fitur dan aplikasi, tersedia dalam gawai yang setiap saat bisa diakses, tidak hanya menawarkan kemudahan kehidupan sehari-hari, namun juga sarana berkreasi melahirkan ragam seni virtual yang imajinatif, berikut bentuk-bentuk ekspresi seni yang menyuguhkan kebaruan.
Fenomena di atas menjadi pembahasan dalam Timbang Rasa (Sarasehan) serangkaian Festival Seni Bali Jani IV Tahun 2022 bertajuk Seni Virtual, Media Baru, dan Jelajah Kreativitas bertempat di Gedung Citta Kelangen ISI Denpasar, pekan ini.
"Seni hari ini sangat bertaut dengan teknologi. Post corona sudah meniscayakan bagi seluruh seniman memasuki dunia ulang-alik antara yang riil dengan berbagai kemungkinan ruang-ruang virtual," ujar Kun Adnyana saat menjadi narasumber sarasehan.
Mantan Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali tersebut mencermati perkembangan dunia teknologi Bali pun telah mulai menggagas seni virtual yang bahkan tidak saja dilakukan oleh seniman di wilayah perkotaan, tetapi juga oleh sanggar-sanggar seni yang ada di perdesaan Bali.
Menurut dia, seorang seniman tentulah harus adaptif dengan segala perubahan. Seni virtual di Bali prosesnya sudah dapat dilihat semenjak 2019, namun semakin masif dilakukan semenjak pandemi melanda tahun 2020. Pada saat itu Disbud Bali memfasilitasi 202 komunitas seni di Bali untuk berkarya seni virtual.
Pada saat itu, lanjut Prof Adnyana, sudah cukup banyak seniman Bali yang memanfaatkan teknologi virtual untuk berkarya, misalnya menggunakan Augmented Reality.
"Pandemi seharusnya dipandang sebagai achievement seniman Bali bertransformasi secara bersama-sama, tidak terhalang ruang dan waktu," katanya.
Gelaran FSBJ II Tahun 2020 mengangkat tema Bali Art Virtual dapat dikatakan sebagai sebuah konsep seni virtual sekaligus capaian seniman Bali di era pandemi untuk tetap menjaga kreativitas seni di tengah masa pandemi saat itu.
"Bagaimana pada saat penabuh dan penari berada pada ruang yang berbeda tapi bisa saling merespons satu pergelaran virtual," tuturnya.
Tidak bisa ditampik seni virtual memiliki kelebihan tersendiri dibanding seni konvensional. Ada citra waktu dan gerak yang dapat dieksplorasi di sana untuk menarik para penikmat seni.
Dengan keunggulan tersebut seni virtual juga menawarkan kebebasan berekspresi seluasnya-luasnya bagi imajinasi para seniman. "Seni virtual bisa menghadirkan kenyataan simulacra yang jauh berbeda dengan realitas sehari-hari," kata Prof Adnyana.
Di sisi lain, karena teknologi bisa memanipulasi realitas-realitas rekaan, kata Prof Adnyana, seni virtual juga bisa dipandang sebagai upaya sistematis melawan hoaks atau representasi palsu atas kebenaran faktual.
"Jadi yang namanya artificial intelligence atau kecerdasan buatan itu bisa saja digunakan untuk memanipulasi realitas menjadi realitas rekaan dengan tujuan jahat," ujar Prof Adnyana.
Sementara itu, narasumber kedua seniman muda Bandu Darmawan memaparkan penggunaan artificial intelligence dalam berkreativitas seni dewasa ini.
Menurutnya, berkesenian bukanlah soal kemampuan teknik melainkan lebih kepada ekspresi ide-ide yang selama ini terpendam.
Ia juga melihat tidak berbanding lurusnya antara kurun waktu pengerjaan dengan kualitas estetika yang dihasilkan seorang seniman. Di sini peran teknologi jelas terlihat membantu seniman menghemat waktu pengerjaan sembari menghasilkan karya seni yang mumpuni sebagai ekspresi diri sang seniman.
"Pekerjaan seni bukan kepandaian teknik, bukan kepandaian melukis, tetapi kata hati yang padat karena banyak menahan," ucapnya mengutip pernyataan pelukis Suromo Darpo Sawego.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022