Belakangan ini muncul fenomena muda-mudi yang berkumpul di kawasan Jalan Sudirman, Jakarta Pusat sambil mengekspresikan diri lewat "Citayam Fashion Week".

Muda-mudi berusia belasan tahun tersebut mayoritas berasal dari daerah penyangga Jakarta seperti Depok, Citayam dan Bojong Gede di Bogor.
 
Namun, tak sedikit pula yang berasal dari Jakarta seperti Ancol, Tanjung Priok dan Cakung, sehingga tidak heran singkatan SCBD bukan lagi untuk Sudirman Central Business District melainkan Sudirman, Citayam, Bojong Gede, Depok.
 
Kawasan Niaga Terpadu Sudirman atau dikenal dengan SCBD kerap diasosiasikan sebagai kawasan elite dan eksklusif.

Tetapi, belakangan kawasan tersebut menjadi tempat berkumpulnya muda-mudi dengan memamerkan berbagai jenis mode pakaian tanpa disponsori oleh merk fashion tertentu.

Fenomena itu mendapat sorotan berbagai kalangan termasuk akademisi. Sosiolog Universitas Udayana Bali Wahyu Budi Nugroho, S. Sos., MA menyebut fenomena 'Citayam Fashion Week' sebagai seni permainan kode dan simbol di kalangan remaja.
 
"Fenomena Citayam Fashion Week ada kaitan dengan kajian semiotika dalam perspektif sosiologis," ucapnya di Denpasar, Bali, Sabtu (17/7).

Dia mengatakan setiap merek atau produk fashion selalu memuat kode atau simbol tertentu. Kode atau simbol tersebut sengaja dibuat industri fashion agar seolah mampu merepresentasi atau mewakili karakter konsumennya.
 
"Ada merek fashion tertentu yang menunjukkan superioritas sehingga mereka yang memakainya pun merasa itu mewakili dirinya atau bisa juga mereka yang sebetulnya tak merasa superior, baru merasa superior setelah mengenakannya," kata Wahyu, demikian sapaan akrab penulis buku Sosiologi Kehidupan Sehari-hari itu.

Wahyu mencontohkan kode atau simbol fashion yang menunjukkan kecantikan, kefemininan, kemaskulinan atau kemachoan, jiwa muda, keunikan, bahkan juga kode atau simbol fashion yang menunjukkan pemberontakan memang sengaja diciptakan untuk menyuarakan karakter seseorang lewat penampilan atau bisa juga membuat seseorang merasa menjadi demikian setelah menggunakannya.
 
Dengan kata lain, kode-kode atau simbol fashion juga kata Wahyu memiliki dimensi performativitas (kemampuan bertindak); ia bisa menyuarakan sesuatu, memberikan informasi tertentu, bahkan menunjukkan status dan derajat seseorang dalam dunia pergaulan.



Budaya konsumerisme
 
Sosiolog Universitas Udayana, Magister alumnus Prodi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada tersebut menjelaskan ada beberapa dampak sosial yang bisa muncul dari fenomena Citayam Fashion week tersebut.
 
Pertama, munculnya masyarakat tontonan, yakni masyarakat atau dalam hal ini muda-mudi Citayam yang saling mempertontonkan kode-kode atau simbol yang ditunjukkan satu sama lain lewat fashion yang mereka kenakan.

Fenomena tersebut lambat laun bisa juga ditiru oleh muda-mudi di daerah lain di Indonesia. Secara sosiologis, kata dia, fenomena masyarakat tontonan memang selalu berpotensi meluaskan skalanya, apalagi jika sudah diliput media massa.
 
"Dalam fenomena masyarakat tontonan, muda-mudi di Citayam ini saling bertukar simbol dan ketika muda-mudi lain ingin memasuki komunitas ini, mereka pun juga harus memiliki simbol untuk dipertukarkan, konkretnya adalah dengan berpenampilan seperti muda-mudi di Citayam," kata Direktur Utama Sanglah Institut itu.
 
Kedua, munculnya social distinction atau jarak sosial dengan muda-mudi lain. Penggunaan kode-kode atau simbol tertentu dalam fashion, kata dia, berpotensi memunculkan definisi tentang apa yang dianggap keren dan tidak keren, apa yang bagus dan tidak bagus, serta apa yang dianggap kekinian dan tidak kekinian di kalangan anak muda.
 
"Mereka yang dianggap tidak keren, tidak bagus, atau tidak kekinian bisa tereksklusi atau tersisihkan dari dunia pergaulan, karena memang salah satu akibat dari fashion adalah menciptakan struktur sosial semu dalam dunia pergaulan," ucap Wahyu Nugroho.
 
Aspek ketiga yang muncul dari fenomena Citayam fashion week adalah budaya konsumerisme yakni ketika muda-mudi ini menghabiskan lebih banyak uang untuk penampilan daripada untuk hal-hal lain yang lebih produktif, misalnya untuk pendidikan mereka, apalagi jika mereka sampai harus berhutang atau mengajukan kredit agar bisa berpenampilan seperti yang mereka inginkan.



Trendsetter
 
Wahyu menilai Citayam Fashion Week idealnya tak hanya sekadar menjadi ajang mempertontonkan atau menukarkan berbagai kode dan simbol di kalangan anak muda, tetapi juga bisa memupuk modal sosial di antara mereka.
 
"Modal sosial ini jika dikelola dengan baik, bisa disalurkan untuk hal-hal produktif misalnya membuat proyek bersama yang berkaitan dengan media sosial sehingga bisa memperoleh pemasukan darinya, atau bisa juga dengan mengajukan proposal ke pihak-pihak tertentu guna menggelar kegiatan kepemudaan yang positif dan masih berkaitan dengan fashion," kata dia.
 
Tak menutup kemungkinan pula, menurut Wahyu, kegiatan ini menjelma menjadi festival per pekan dan menjadi sarana merintis kewirausahaan muda di kalangan muda-mudi.
 
Di sisi lain, menurut dia, festival ini juga bisa merangsang kegiatan ekonomi masyarakat sekitar, terlebih jika Citayam Fashion Week menjadi tujuan wisata baru bagi masyarakat luas, tepatnya wisata fashion.

Jika bisa demikian, Wahyu merekomendasikan agar pemerintah setempat memfasilitasi kegiatan tersebut, dan tertutup kemungkinan kondisi ini juga akan muncul di kota-kota besar lain karena Jakarta selalu menjadi trendsetter.*
 


Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sosiolog: Seni bermain kode dan simbol di 'Citayam Fashion Week'

Pewarta: Rolandus Nampu

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022