Puluhan aparat dari Polresta Denpasar mengamankan demonstrasi mahasiswa asal Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRIWP) yang meminta pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Biak, Papua Barat.
Kepala Seksi Humas Polresta Denpasar Ketut Sukadi di Denpasar, Rabu, menjelaskan peserta aksi demonstrasi itu dikawal oleh satuan pengamanan Polresta Denpasar, Polsek Denpasar Timur dan Kapospol Renon di bawah kendali komando Kapolres Kota Denpasar melalui Kepala bagian operasi (Kabag Ops) Kompol Made Uder.
Sebanyak 90 orang aparat yang terdiri dari anggota Polri, TNI dan Satuan Polisi Pamong Praja mengamankan aksi itu. Polisi juga mengatur lalu lintas di sekitar Bundaran Patung I Gusti Ngurah Rai dan jalur sekitar Plaza Renon Hotel untuk mengantisipasi kemacetan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022
Kepala Seksi Humas Polresta Denpasar Ketut Sukadi di Denpasar, Rabu, menjelaskan peserta aksi demonstrasi itu dikawal oleh satuan pengamanan Polresta Denpasar, Polsek Denpasar Timur dan Kapospol Renon di bawah kendali komando Kapolres Kota Denpasar melalui Kepala bagian operasi (Kabag Ops) Kompol Made Uder.
Sebanyak 90 orang aparat yang terdiri dari anggota Polri, TNI dan Satuan Polisi Pamong Praja mengamankan aksi itu. Polisi juga mengatur lalu lintas di sekitar Bundaran Patung I Gusti Ngurah Rai dan jalur sekitar Plaza Renon Hotel untuk mengantisipasi kemacetan.
Mahasiswa yang hadir melakukan orasi dan membawa sejumlah poster berisikan sejumlah tuntutan di kawasan depan Plaza Hotel Renon, Denpasar, Bali.
Wemy Enembe dalam orasinya menyebutkan tragedi terhadap rakyat Papua Barat di Biak tanggal 2-6 Juli 1998 telah berdampak kepada 230 orang yakni 8 orang meninggal, 8 orang hilang, 4 orang luka berat dan dievakuasi ke Makassar, 33 orang ditahan, 150 orang mengalami penyiksaan dan 32 mayat misterius ditemukan di perairan Papua Nugini (PNG) dan sebagian korban belum terdata.
Baca Baca juga: Polresta Denpasar bubarkan bentrokan AMP-PGN
Baca Baca juga: Polresta Denpasar bubarkan bentrokan AMP-PGN
Enembe mengatakan sudah 24 tahun berlalu tidak ada proses penyelesaian kasus tragedi Biak Berdarah itu. "Pelanggaran HAM seperti pembunuhan, pemerkosaan, pengejaran dan penangkapan aktivis Papua Barat, rasialisme, penganiayaan, bahkan pemenjaraan paksa di Papua Barat harus dihentikan," kata dia.
Dalam aksi selama dua jam tersebut, Wemy juga menyebutkan tragedi HAM setelah Biak Berdarah, seperti Wamena Berdarah (2000 dan 2003), Wasyor Berdarah (2001), Uncen Berdarah (2006), Nabire Berdarah (2012), Paniai Berdarah (2014), Nduga berdarah (2017 dan 2018), Fak-Fak Berdarah (2019) dan peristiwa HAM lainnya yang belum ditangani.
"Bahkan Otsus (otonomi khusus) sejak 21 November 2001 telah disahkan dan dilanjutkan dengan Otsus jilid ll Papua yang disahkan tanggal 30 Juni. Otsus merupakan kebijakan yang merugikan dan meresahkan rakyat Papua Barat," katanya.
Selain itu, massa juga menolak DOB (daerah otonomi baru), mendesak pencabutan Undang-undang cipta kerja (Omnibus Law), mendesak pembebasan Viktor Yeimo, Alpius Wonda, dan seluruh tahanan politik Papua tanpa syarat, mengutuk keras tindakan teror, intimidasi dan upaya kriminalisasi aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Bali dan seluruh tanah Papua.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022