Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Made Mangku Pastika mengajak para pemuda Bali dapat mewaspadai penggunaan politik identitas menjelang Pemilu 2024 dengan tujuan meraih posisi tertentu dan berpotensi mengadu domba masyarakat.
"Sebentar lagi hiruk pikuk penggunaan politik identitas terjadi, termasuk di Bali dan nasional. Sekarang saja sudah ada tanda-tandanya," kata Pastika dalam Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan di Denpasar, Sabtu.
Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan bertajuk Perkembangan Politik Identitas: Tantangan dan Solusi untuk Penguatan Integritas Bangsa tersebut menghadirkan dua narasumber, yakni pemerhati sosial politik Dr Putu Suasta dan akademisi Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Dr I Gede Sutarya.
Menurut mantan Gubernur Bali dua periode itu, para politisi paling sering menggunakan politik identitas karena cara tersebut dinilai yang paling laku dan murah, tetapi bisa berakibat yang parah.
"Mau menang biaya murah, dengan politik identitas ini, tetapi akibatnya parah. Murah mau bagus, ya tidak bisa. Ada harga, ada rupa," ujar Pastika yang juga anggota Komite 2 Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI itu.
Baca juga: Menkumham: Parpol yang tidak aktif berpotensi ganggu demokrasi
Oleh karena itu, Pastika mengajak para mahasiswa yang hadir dalam acara sosialisasi tersebut untuk senantiasa bisa berpikir kritis dan berani berbicara karena generasi muda yang memiliki energi untuk mendobrak dan melakukan perubahan.
Pastika di depan puluhan mahasiswa peserta sosialisasi itu pun mendorong agar mereka menjadi pribadi yang bertanggung jawab, berani dan terus mengisi diri dengan belajar.
"Kalian bertanggung jawab atas masa depan kalian sendiri. Jadi, jangan menyalahkan sistem, orang tua, ataupun lingkungan. Otak harus berpikir dan tangan bekerja untuk menjadi sukses. Makin susah kondisi yang dihadapi, maka akan menjadi orang yang hebat," katanya memotivasi.
Kondisi kemiskinan, menurut Pastika, juga bukan menjadi alasan untuk tidak bisa menjadi orang yang hebat. Dalam kesempatan itu ia juga menceritakan pengalaman hidupnya ketika masih kecil harus selama empat tahun menjadi pembantu rumah tangga.
"Saya pernah empat tahun jadi pembantu rumah tangga di negeri orang (di Palembang). Saya baru merasakan tidur di kasur setelah menempuh pendidikan di AKABRI," ujar mantan Kapolda Bali itu.
Baca juga: Gus Yahya: jangan eksploitasi NU untuk kepentingan Pemilu
Pemerhati sosial politik Dr Putu Suasta mengatakan saat ini politik identitas tidak saja menyangkut suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), namun juga soal kemiskinan serta kebodohan, dan itu terjadi di Bali.
"Adu domba menggunakan identitas kemiskinan dan kebodohan ini menjadi bahaya paling berat dibandingkan politik identitas yang lain," ucapnya.
Mantan Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat itu mengatakan negara atau pemerintah harus hadir untuk melakukan pembelaan.
"Pemerintah harus hadir, tokoh-tokoh harus hadir, yang memiliki intelektual mesti membantu," ujar Suasta yang juga penulis buku dan aktif menulis di berbagai media nasional itu.
Dr I Gede Sutarya, narasumber berikutnya menambahkan, sebelumnya politik identitas di Bali juga terkait dengan perkembangan pariwisata karena kecenderungan pengusaha mencari yang tenaga kerja yang murah dan itu diisi oleh tenaga kerja dari luar.
"Kita harus mengembangkan budaya dialog sehingga mereka yang dalam kondisi terpinggirkan bisa diketahui dan tidak ada saluran yang mampet. Pembangunan SDM itu penting untuk memutus kemiskinan," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022
"Sebentar lagi hiruk pikuk penggunaan politik identitas terjadi, termasuk di Bali dan nasional. Sekarang saja sudah ada tanda-tandanya," kata Pastika dalam Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan di Denpasar, Sabtu.
Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan bertajuk Perkembangan Politik Identitas: Tantangan dan Solusi untuk Penguatan Integritas Bangsa tersebut menghadirkan dua narasumber, yakni pemerhati sosial politik Dr Putu Suasta dan akademisi Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Dr I Gede Sutarya.
Menurut mantan Gubernur Bali dua periode itu, para politisi paling sering menggunakan politik identitas karena cara tersebut dinilai yang paling laku dan murah, tetapi bisa berakibat yang parah.
"Mau menang biaya murah, dengan politik identitas ini, tetapi akibatnya parah. Murah mau bagus, ya tidak bisa. Ada harga, ada rupa," ujar Pastika yang juga anggota Komite 2 Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI itu.
Baca juga: Menkumham: Parpol yang tidak aktif berpotensi ganggu demokrasi
Oleh karena itu, Pastika mengajak para mahasiswa yang hadir dalam acara sosialisasi tersebut untuk senantiasa bisa berpikir kritis dan berani berbicara karena generasi muda yang memiliki energi untuk mendobrak dan melakukan perubahan.
Pastika di depan puluhan mahasiswa peserta sosialisasi itu pun mendorong agar mereka menjadi pribadi yang bertanggung jawab, berani dan terus mengisi diri dengan belajar.
"Kalian bertanggung jawab atas masa depan kalian sendiri. Jadi, jangan menyalahkan sistem, orang tua, ataupun lingkungan. Otak harus berpikir dan tangan bekerja untuk menjadi sukses. Makin susah kondisi yang dihadapi, maka akan menjadi orang yang hebat," katanya memotivasi.
Kondisi kemiskinan, menurut Pastika, juga bukan menjadi alasan untuk tidak bisa menjadi orang yang hebat. Dalam kesempatan itu ia juga menceritakan pengalaman hidupnya ketika masih kecil harus selama empat tahun menjadi pembantu rumah tangga.
"Saya pernah empat tahun jadi pembantu rumah tangga di negeri orang (di Palembang). Saya baru merasakan tidur di kasur setelah menempuh pendidikan di AKABRI," ujar mantan Kapolda Bali itu.
Baca juga: Gus Yahya: jangan eksploitasi NU untuk kepentingan Pemilu
Pemerhati sosial politik Dr Putu Suasta mengatakan saat ini politik identitas tidak saja menyangkut suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), namun juga soal kemiskinan serta kebodohan, dan itu terjadi di Bali.
"Adu domba menggunakan identitas kemiskinan dan kebodohan ini menjadi bahaya paling berat dibandingkan politik identitas yang lain," ucapnya.
Mantan Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat itu mengatakan negara atau pemerintah harus hadir untuk melakukan pembelaan.
"Pemerintah harus hadir, tokoh-tokoh harus hadir, yang memiliki intelektual mesti membantu," ujar Suasta yang juga penulis buku dan aktif menulis di berbagai media nasional itu.
Dr I Gede Sutarya, narasumber berikutnya menambahkan, sebelumnya politik identitas di Bali juga terkait dengan perkembangan pariwisata karena kecenderungan pengusaha mencari yang tenaga kerja yang murah dan itu diisi oleh tenaga kerja dari luar.
"Kita harus mengembangkan budaya dialog sehingga mereka yang dalam kondisi terpinggirkan bisa diketahui dan tidak ada saluran yang mampet. Pembangunan SDM itu penting untuk memutus kemiskinan," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022