Oleh I Ketut Sutika

Denpasar (Antara Bali) - Sawah, lahan terbuka hijau di sela-sela bangunan hotel atau gedung-gedung bertingkat di daerah tujuan wisata Pulau Bali, selama ini tidak lama bertahan.

Lahan pertanian di tempat strategis itu tidak mampu dipertahankan oleh pemiliknya akibat ketidakberdayaan membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) yang nilainya disesuaikan dengan pajak bangunan yang ada di sebelahnya.

Kondisi demikian menyebabkan alih fungsi lahan pertanian di Bali tidak bisa dihindari, meskipun UNESCO telah menetapkan subak, khususnya  kawasan Jatiluwih Catur Angga Batukaru, Pura Taman Ayun, Daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan dan Pura Ulundanu Batur,  sebagai satu kesatuan menjadi warisan budaya dunia (WBD).

Nilai jual objek pajak (NJOP) dalam sistem PBB sekarang setiap dua tahun disesuaikan dengan tingkat inflasi atas dasarnya lokasi, sehingga sawah yang menjadi NJOP di Bali meningkat lebih dari 400 persen, tutur Guru Besar Universitas Udayana, Prof Dr I Wayan Windia, MS.

Sistem perpajakan yang demikian itu menjadikan Bali sebagai daerah tujuan pariwisata yang berkembang pesat senantiasa mengorbankan lahan pertanian dalam kawasan subak.

Kawasan subak di daerah-daerah yang pariwisatanya berkembang pesat seperti Badung, Denpasar, Gianyar dan mulai merembet ke Kabupaten Tabanan dengan sistem perpajakan sekarang, dikhawatirkan akan semakin cepat beralih fungsi.

Sawah dalam kawasan subak yang berdampingan dengan pembangunan hotel, vila, restoran dan fasilitas pariwisata lainnya menyebabkan NJOP meningkat drastis setiap tahunnya.

Mantan anggota DPR-RI itu menilai, sistem perpajakan seperti itu sangat memberatkan petani Bali, bahkan tidak mampu lagi membayar PBB, sehingga terpaksa harus menjual sawahnya, sehingg alih fungsi lahan tidak bisa dihindari.

Windia mencontohkan, seorang petani di wilayah kecamatan Denpasar barat, Kota Denpasar yang memiliki sawah seluas 70 are harus membayar PBB sebesar Rp40 juta/tahun.

Demikian pula petani yang memiliki lahan garapan sawah lebih sempit setiap tahunnya harus membayar PBB Rp1 juta dan tahun berikutnya meningkat menjadi Rp4 juta, karena lokasinya itu bersebelahan dengan hotel.

Kondisi sistem perpajakan seperti itu jelas sangat memberatkan petani, khususnya di kawasan-kawasan yang sedang mengalami proses pembangunan fisik.

Padahal sawah dan petanian sangat penting artinya di daerah perkotaan, sebagai kawasan hijau, menghasilkan  oksigen, menyerap karbon dioksida dan menahan air yang berlebihan pada saat musim hujan.

    
Ringankan beban petani
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali Ida Bagus Wisnuardana menjelaskan, bergulirnya regulasi pungutan PBB yang selama ini sangat memberatkan petani kewenangan dari pemerintah pusat itu akan diserahkan kepada Pemkab dan Pemkot di Bali.

Dengan adanya pelimpahan wenenang yang akan diterapkan mulai tahun 2013 itu akan mampu memberikan angin segar dalam mempertahankan dan melestarian lahan pertanian yang terhimpun dalam wadah subak.

Kesulitan petani dalam membayar PBB dengan adanya pelimpahan kewenangan itu bisa dicarikan solusinya terbaik. Hal itu optimistis dapat tercapai mengingat, beberapa pemerintah kabupaten/kota di Bali telah memberikan subsidi kepada petani dalam membayar PBB.

Pemberian subsidi itu dimaksudkan agar petani tetap mampu mengolah lahan pertanian, bukan mengembangkan usaha di luar pertanian atau lahan pertanian yang beralih fungsi, karena lahan pertanian telah djual.

Wakil Ketua Pansus Perda Subak DPRD Bali, Ketut Kariyasa Adnyana menyambut baik pelimpahan dari pemerintah pusat kepada Pemkab dan Pemkot menyangkut pungutan PBB akan mempu memberikan keringanan kepada petani.

Dengan demikian petani mampu mempertahankan lahan garapan, karena tidak lagi khawatir mengenai pembayaran PBB yang melonjak lebih dari 400 persen setiap tahunnya.

Adanya pelimpahan kewenangan itu Pemkab dan Pemkot bisa mengelola dan mengatur secara penuh mengenai pungutan PBB, tanpa terlalu memberatkan masyarakatnya, khususnya petani.

Politisi PDIP Bali itu mengakui, pajak PBB selama ini mencekik petani, sehingga terjadi banyak transaksi penjualan lahan pertanian. Dengan adanya angin segar selain mengurangi beban masyarakat dalam membayar PBB, sekaligus mempertahankan lahan pertanian.

Demikian pula keberadaan Perda Subak akan memihak kepada petani dengan harapan sawah dan lahan pertanian dapat dipertahankan, sekaligus menjaga ketahanan pangan dan bisa tetap menjadi objek kunjungan wisata.

Bali memiliki sawah baku seluas 84.118 hektare dengan pola dengan pola pertanian dua kali padi dan sekali palawija setiap tahunnya mampu menghasilkan 471.601 ton setara beras.

Sedangkan kebutuhan Bali yang berpendduduk 4,1 juta jiwa, termasuk mengantisipasi kedatangan wisatawan dan buruh musiman dari berbagai daerah di Indonesia mencapai 455.130 ton.

Dengan demikian masih memiliki kelebihan 16.471 ton setara beras, meskipun relatif kecil. Namun dengan adanya transportasi yang lancar antara Bali-Jawa dan sebaliknya akan mempermudah dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari sesuai harga pasar.

Bali dalam lima tahun terakhir setiap tahunnya mengalami penyusutan lahan pertanian rata-rata 1.000 hektare, dengan adanya pelimpahan wewenangan pungutan PBB alih fungsi lahan itu ke depan dapat dikendalikan.(IGT/T007)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012