Nusa Dua (Antara Bali) - Asosiasi Apoteker Indonesia mendorong pemerintah untuk melakukan saintifikasi jamu sehingga dapat digunakan pada pelayanan kesehatan formal.
"Saintifikasi jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan," kata Ketua Asosiasi Apoteker Indonesia Mohamad Dani Pratomo, di sela-sela acara kongres "The Federation of Asian Pharmaceutical Associations" (FAPA), di Nusa Dua, Kamis.
Program yang diinisiasi dan diwujudkan oleh Kementerian Kesehatan itu memungkinkan jamu atau obat herbal tradisional yang sudah teregister serta memiliki izin edar dapat diintegrasikan dengan pelayanan kesehatan konvensional, sehingga dapat digunakan di pelayanan kesehatan formal.
Dorongan itu sesuai dengan harapan para peserta kongres Federasi Asosiasi Apoteker Se-Asia Pasifik itu dalam mencapai konsensus tentang bagaimana praktik farmasi dan posisi budaya kesehatan tradisional tersebut memberikan kontribusi pada dunia kesehatan.
"Selain itu dalam kongres ini dibahas tentang konteks budaya masyarakat Asia yang secara turun menurun menjaga kesehatannya dengan memanfaatkan produk kesehatan secara tradisional, seperti jamu kalau di Indonesia," ujarnya.
Produk budaya kesehatan itu sangat kental untuk negara-negara di Asia, seperti China, Korea, Jepang dan tentunya Indonesia. Bahkan jamu tidak hanya untuk kesehatan tetapi juga kecantikan dan makanan. "Hal yang menjadi tekanan di sini adalah obat tradisional atau jamu tidak mengobati sakit tetapi untuk mencegah seseorang jatuh dari sakit. Dari 100 persen penduduk, 10 persennya sakit. Pertanyaannya bagaimana menjaga yang sehat itu, yang 80 persennya. Ini sesuai dengan imbauan WHO," ucap Dani.
Sementara itu Nurul Falah Eddy Pariang, ketua panitia kongres tersebut, mengatakan, penyelenggaraan kegiatan itu terasa begitu istimewa bagi Indonesia karena dua kali diselenggarakan di Tanah Air. "Tidak mudah suatu negara mendapat kepercayaan seperti ini, karena persyaratannya cukup ketat," ujarnya.(IGT/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012
"Saintifikasi jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan," kata Ketua Asosiasi Apoteker Indonesia Mohamad Dani Pratomo, di sela-sela acara kongres "The Federation of Asian Pharmaceutical Associations" (FAPA), di Nusa Dua, Kamis.
Program yang diinisiasi dan diwujudkan oleh Kementerian Kesehatan itu memungkinkan jamu atau obat herbal tradisional yang sudah teregister serta memiliki izin edar dapat diintegrasikan dengan pelayanan kesehatan konvensional, sehingga dapat digunakan di pelayanan kesehatan formal.
Dorongan itu sesuai dengan harapan para peserta kongres Federasi Asosiasi Apoteker Se-Asia Pasifik itu dalam mencapai konsensus tentang bagaimana praktik farmasi dan posisi budaya kesehatan tradisional tersebut memberikan kontribusi pada dunia kesehatan.
"Selain itu dalam kongres ini dibahas tentang konteks budaya masyarakat Asia yang secara turun menurun menjaga kesehatannya dengan memanfaatkan produk kesehatan secara tradisional, seperti jamu kalau di Indonesia," ujarnya.
Produk budaya kesehatan itu sangat kental untuk negara-negara di Asia, seperti China, Korea, Jepang dan tentunya Indonesia. Bahkan jamu tidak hanya untuk kesehatan tetapi juga kecantikan dan makanan. "Hal yang menjadi tekanan di sini adalah obat tradisional atau jamu tidak mengobati sakit tetapi untuk mencegah seseorang jatuh dari sakit. Dari 100 persen penduduk, 10 persennya sakit. Pertanyaannya bagaimana menjaga yang sehat itu, yang 80 persennya. Ini sesuai dengan imbauan WHO," ucap Dani.
Sementara itu Nurul Falah Eddy Pariang, ketua panitia kongres tersebut, mengatakan, penyelenggaraan kegiatan itu terasa begitu istimewa bagi Indonesia karena dua kali diselenggarakan di Tanah Air. "Tidak mudah suatu negara mendapat kepercayaan seperti ini, karena persyaratannya cukup ketat," ujarnya.(IGT/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012