Denpasar (Antara Bali) - Yayasan Abdi Bumi, sebuah LSM pemerhati lingkungan di Bali mendorong pemerintah menggalakkan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan untuk meminimalisasi perambahan hutan.
Ketua Yayasan Abdi Bumi I Made Iwan Dewantama, di Denpasar, Minggu, menilai berbagai peristiwa kebakaran hutan yang sering terjadi, termasuk kebakaran hutan di kawasan Gunung Agung, Bali, karena andil dari masyarakat sekitar.
"Banyak daerah yang kerapatan hutannya makin berkurang. Pohon-pohon besar ditebang, digantikan untuk menanam rerumputan untuk pakan ternak," ucapnya.
Menurut dia, karena kerapatan hutan berkurang, menjadikan angin mudah masuk sehingga gesekan antar-rerumputan maupun ranting-ranting kering intensitasnya makin tinggi. Inilah yang rawan memicu kebakaran pada saat musim kemarau.
"Artinya telah terjadi perubahan ekologi yang memperbesar kemungkinan terjadinya kebakaran. Tahun ini musim kering tidak terlalu panjang, jadi tidak bisa menggunakan dalih faktor alam semata sebagai penyebab kebakaran hutan," ujarnya.
Ia tidak memungkiri, jika perambahan hutan yang dilakukan masyarakat bukan dalam skala besar. "Namun, karena sedikit demi sedikit perambahan yang dilakukan oleh banyak orang, akhirnya luas juga perambahan yang terjadi. Kerapatan hutan pun menjadi menurun," ucapnya yang juga peneliti JICA itu.
Iwan menambahkan, bahwa masyarakat tidak bisa disalahkan melakukan perambahan karena itu semua dilakukan untuk mempertahankan hidup. Sudah menjadi bagian tugas pemerintah agar memperhatikan sandang, pangan, dan papan yang cukup bagi masyarakat.
Dia menyebut, di kawasan hutan Gunung Agung yang terbakar pada Jumat (31/8), sudah terjadi perambahan hutan di beberapa bagian untuk dijadikan lahan menanam rumput pakan ternak.(LHS/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012
Ketua Yayasan Abdi Bumi I Made Iwan Dewantama, di Denpasar, Minggu, menilai berbagai peristiwa kebakaran hutan yang sering terjadi, termasuk kebakaran hutan di kawasan Gunung Agung, Bali, karena andil dari masyarakat sekitar.
"Banyak daerah yang kerapatan hutannya makin berkurang. Pohon-pohon besar ditebang, digantikan untuk menanam rerumputan untuk pakan ternak," ucapnya.
Menurut dia, karena kerapatan hutan berkurang, menjadikan angin mudah masuk sehingga gesekan antar-rerumputan maupun ranting-ranting kering intensitasnya makin tinggi. Inilah yang rawan memicu kebakaran pada saat musim kemarau.
"Artinya telah terjadi perubahan ekologi yang memperbesar kemungkinan terjadinya kebakaran. Tahun ini musim kering tidak terlalu panjang, jadi tidak bisa menggunakan dalih faktor alam semata sebagai penyebab kebakaran hutan," ujarnya.
Ia tidak memungkiri, jika perambahan hutan yang dilakukan masyarakat bukan dalam skala besar. "Namun, karena sedikit demi sedikit perambahan yang dilakukan oleh banyak orang, akhirnya luas juga perambahan yang terjadi. Kerapatan hutan pun menjadi menurun," ucapnya yang juga peneliti JICA itu.
Iwan menambahkan, bahwa masyarakat tidak bisa disalahkan melakukan perambahan karena itu semua dilakukan untuk mempertahankan hidup. Sudah menjadi bagian tugas pemerintah agar memperhatikan sandang, pangan, dan papan yang cukup bagi masyarakat.
Dia menyebut, di kawasan hutan Gunung Agung yang terbakar pada Jumat (31/8), sudah terjadi perambahan hutan di beberapa bagian untuk dijadikan lahan menanam rumput pakan ternak.(LHS/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012