Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Ujang (35), seorang pengendara sepeda motor yang membonceng istrinya Siti Aminah (32) harus berjuang keras di tengah antrian ribuan kendaraan dan sepeda motor yang terjebak antrian panjang di Pelabuhan Gilimanuk, Bali barat.
Sosok pria yang bekerja sebagai pedagang pecel lele, ikan laut dan ayam goreng di Kawasan Perumnas Monang-Maning Denpasar mudik ke kampung halamannya di Lamongan, Jawa Timur.
Ia bersama istri dan seorang anaknya usia empat tahun itu berangkat dari Denpasar Jumat dini hari (H-2), namun menjelang pelabuhan Gilimanuk itu terjebak antrian sepanjang lebih dari sepuluh kilometer dan kendaraan pemudik lainnya masih terus berdatangan.
Mobil pemudik paling akhir pada antrian itu masuk wilayah Desa Sumbersari, Kecamatan Melaya yang kondisinya sama sekali tidak bisa bergerak maju. Sementara pengendara sepeda motor mencari celah-celah dengan menggunakan trotoar.
Ujang yang lebih dari lima tahun tinggal di Bali itu berjuang keras lebih dari tujuh jam untuk melewati antrian panjang hingga bisa naik kapal penyeberangan dari Pelabuhan Gilimanuk menuju Pelabuhan Ketapang, Jawa Timur, untuk selanjutnya meneruskan perjalanan.
Bahkan jalan dari arah Denpasar menjelang 15 km sebelum Gilimanuk sempat macet total, akibat rambu-rambu lalu lintas yang mengatur jalan tidak berfungsi karena dilanggar para pemudik, sementara ratusan polisi yang mengatur lalu lintas tidak bisa berbuat banyak.
Antrian panjang setiap mudik Lebaran sudah diprediksikan sebelumnya, sehingga berbagai upaya dan antisipasi telah dilakukan, tutur Kepala Dinas Perhubungan dan Infokom Provinsi Bali, Ir I Dewa Putu Punia Asa, MT.
Antisipasi itu dilakukan dengan menyiapkan armada angkutan darat, laut dan udara dalam jumlah yang memadai, dengan harapan mampu melayani para pemudik ke berbagai daerah di Indonesia dengan baik.
Untuk angkutan darat misalnya, Organda Bali menyiagakan 325 angkutan bus reguler dan cadangan 100 bus pariwisata serta armada kapal penyeberangan yang memadai, baik di Pelabuhan Gilimanuk-Ketapang maupun Pelabihan Padangbai-Lembar.
Demikian pula Kepolisian Daerah Bali selama angkutan Lebaran H-7 hingga H+7 mengerahkan tujuh ribu personel atau dua per tiga dari kekuatan yang dimiliki untuk ditempatkan di sejumlah lokasi vital Pulau Dewata.
Menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Bali, Kombes Pol Hariadi, pihaknya melakukan pengingkatan pengamanan sesuai hasil evaluasi yang dilakukan dari tahun ke tahun menjelang pelaksanaan hari-hari besar.
Ribuan aparat itu disebar ke sejumlah lokasi di pusat-pusat keramaian, seperti pusat perbelanjaan, objek wisata, tempat ibadah, hingga pintu masuk menuju Bali seperti bandara, pelabuhan, dan terminal.
Demikian pula kawasan perbankan tetap mendapat fokus pengamanan, guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Setahun sekali
Ujang, salah seorang diantara ribuan pemudik itu, mengaku hanya pulang ke kampung kelahirannya di Lamongan, Jawa Timur sekali dalam setahun saat Hari Raya Lebaran.
Oleh sebab itu kepulangannya sudah dipersiapkan secara matang, termasuk uang baru yang akan dibagikan kepada anggota keluarga dan kerabat dekatnya.
Bekal persiapan pulang kampung itu merupakan hasil jerih payah menjual pecel lele di pinggir jalan setiap sore hingga malam hari. Keuntungannya tidak seberapa, namun diusahakan untuk bisa menambung, sebagai bekal pulang saat mudik Idul Fitri.
Kepulangannya tidak lebih dari dua minggu, sesuai persediaan bekal yang dimiliki, karena jika lebih lama di kampung akan menimbulkan beban utang. Oleh sebab itu H+7 Ujang dan istrinya mengaku, sudah harus melakukan aktivitas menjual pecel lele seperti biasa di Bali.
Seorang pengamat budaya Islam di Bali Prof Dr Ibrahim R. SH, MA menilai, tradisi mudik bagi umat muslim pada Hari Raya Lebaran mengandung makna yang sangat mendalam untuk bertemu dengan orang tua, kerabat dan keluarga untuk saling maaf memaafkan.
Selain itu juga mengandung kepercayaan, bahwa roh leluhur yang telah meninggal akan kembali ke rumah dari alam sana selama bulan suci hingga Lebaran, sehingga wajib bagi anggota keluarga untuk bersama ada di rumah.
Untuk itu selama bulan suci wajib membersihkan kuburan, sekaligus nyekar dengan menaburkan bunga di makam para leluhur, tuturnya.
Prof Ibrahim yang juga guru besar Universitas Udayana itu berpendapat, tradisi mudik lebaran yang setiap tahun dilakoni umat muslim perlu sentuhan teknologi, sebagai upaya menghindari niat baik dan tulas itu jangan sampai menimbulkan kefatalan.
Sentuhan kemajuan teknologi itu perlu dipikirkan semua pihak, dengan harapan tradisi mudik yang melibatkan banyak orang dalam waktu yang bersamaan dapat terlaksana dengan baik, nyaman serta terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Sentuhan kemajuan teknologi itu dengan penerapan secara tepat sesuai kondisi daerah, dengan sasaran mampu menghindari terjadinya kefatalan hingga merenggut korban jiwa.
Hal itu penting ditekan, mengingat dalam tiga tahun terakhir korban meninggal dunia di Indonesia selama Lebaran, cenderung terjadi peningkatan yang merenggut 200-300 orang.
Perbaikan jalan dan menambah armada angkutan darat, laut dan udara belum menjamin mudik dapat terlaksana dengan baik. Untuk itu perlu manajemen yang tepat dengan memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mengelola perjalanan orang banyak dalam waktu yang bersamaan, tutur Prof Ibrahim yang juga Ketua Kesatuan Pengawas Internal Unud.(LHS)
Denpasar (Antara Bali) - Ujang (35), seorang pengendara sepeda motor yang membonceng istrinya Siti Aminah (32) harus berjuang keras di tengah antrian ribuan kendaraan dan sepeda motor yang terjebak antrian panjang di Pelabuhan Gilimanuk, Bali barat.
Sosok pria yang bekerja sebagai pedagang pecel lele, ikan laut dan ayam goreng di Kawasan Perumnas Monang-Maning Denpasar mudik ke kampung halamannya di Lamongan, Jawa Timur.
Ia bersama istri dan seorang anaknya usia empat tahun itu berangkat dari Denpasar Jumat dini hari (H-2), namun menjelang pelabuhan Gilimanuk itu terjebak antrian sepanjang lebih dari sepuluh kilometer dan kendaraan pemudik lainnya masih terus berdatangan.
Mobil pemudik paling akhir pada antrian itu masuk wilayah Desa Sumbersari, Kecamatan Melaya yang kondisinya sama sekali tidak bisa bergerak maju. Sementara pengendara sepeda motor mencari celah-celah dengan menggunakan trotoar.
Ujang yang lebih dari lima tahun tinggal di Bali itu berjuang keras lebih dari tujuh jam untuk melewati antrian panjang hingga bisa naik kapal penyeberangan dari Pelabuhan Gilimanuk menuju Pelabuhan Ketapang, Jawa Timur, untuk selanjutnya meneruskan perjalanan.
Bahkan jalan dari arah Denpasar menjelang 15 km sebelum Gilimanuk sempat macet total, akibat rambu-rambu lalu lintas yang mengatur jalan tidak berfungsi karena dilanggar para pemudik, sementara ratusan polisi yang mengatur lalu lintas tidak bisa berbuat banyak.
Antrian panjang setiap mudik Lebaran sudah diprediksikan sebelumnya, sehingga berbagai upaya dan antisipasi telah dilakukan, tutur Kepala Dinas Perhubungan dan Infokom Provinsi Bali, Ir I Dewa Putu Punia Asa, MT.
Antisipasi itu dilakukan dengan menyiapkan armada angkutan darat, laut dan udara dalam jumlah yang memadai, dengan harapan mampu melayani para pemudik ke berbagai daerah di Indonesia dengan baik.
Untuk angkutan darat misalnya, Organda Bali menyiagakan 325 angkutan bus reguler dan cadangan 100 bus pariwisata serta armada kapal penyeberangan yang memadai, baik di Pelabuhan Gilimanuk-Ketapang maupun Pelabihan Padangbai-Lembar.
Demikian pula Kepolisian Daerah Bali selama angkutan Lebaran H-7 hingga H+7 mengerahkan tujuh ribu personel atau dua per tiga dari kekuatan yang dimiliki untuk ditempatkan di sejumlah lokasi vital Pulau Dewata.
Menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Bali, Kombes Pol Hariadi, pihaknya melakukan pengingkatan pengamanan sesuai hasil evaluasi yang dilakukan dari tahun ke tahun menjelang pelaksanaan hari-hari besar.
Ribuan aparat itu disebar ke sejumlah lokasi di pusat-pusat keramaian, seperti pusat perbelanjaan, objek wisata, tempat ibadah, hingga pintu masuk menuju Bali seperti bandara, pelabuhan, dan terminal.
Demikian pula kawasan perbankan tetap mendapat fokus pengamanan, guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Setahun sekali
Ujang, salah seorang diantara ribuan pemudik itu, mengaku hanya pulang ke kampung kelahirannya di Lamongan, Jawa Timur sekali dalam setahun saat Hari Raya Lebaran.
Oleh sebab itu kepulangannya sudah dipersiapkan secara matang, termasuk uang baru yang akan dibagikan kepada anggota keluarga dan kerabat dekatnya.
Bekal persiapan pulang kampung itu merupakan hasil jerih payah menjual pecel lele di pinggir jalan setiap sore hingga malam hari. Keuntungannya tidak seberapa, namun diusahakan untuk bisa menambung, sebagai bekal pulang saat mudik Idul Fitri.
Kepulangannya tidak lebih dari dua minggu, sesuai persediaan bekal yang dimiliki, karena jika lebih lama di kampung akan menimbulkan beban utang. Oleh sebab itu H+7 Ujang dan istrinya mengaku, sudah harus melakukan aktivitas menjual pecel lele seperti biasa di Bali.
Seorang pengamat budaya Islam di Bali Prof Dr Ibrahim R. SH, MA menilai, tradisi mudik bagi umat muslim pada Hari Raya Lebaran mengandung makna yang sangat mendalam untuk bertemu dengan orang tua, kerabat dan keluarga untuk saling maaf memaafkan.
Selain itu juga mengandung kepercayaan, bahwa roh leluhur yang telah meninggal akan kembali ke rumah dari alam sana selama bulan suci hingga Lebaran, sehingga wajib bagi anggota keluarga untuk bersama ada di rumah.
Untuk itu selama bulan suci wajib membersihkan kuburan, sekaligus nyekar dengan menaburkan bunga di makam para leluhur, tuturnya.
Prof Ibrahim yang juga guru besar Universitas Udayana itu berpendapat, tradisi mudik lebaran yang setiap tahun dilakoni umat muslim perlu sentuhan teknologi, sebagai upaya menghindari niat baik dan tulas itu jangan sampai menimbulkan kefatalan.
Sentuhan kemajuan teknologi itu perlu dipikirkan semua pihak, dengan harapan tradisi mudik yang melibatkan banyak orang dalam waktu yang bersamaan dapat terlaksana dengan baik, nyaman serta terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Sentuhan kemajuan teknologi itu dengan penerapan secara tepat sesuai kondisi daerah, dengan sasaran mampu menghindari terjadinya kefatalan hingga merenggut korban jiwa.
Hal itu penting ditekan, mengingat dalam tiga tahun terakhir korban meninggal dunia di Indonesia selama Lebaran, cenderung terjadi peningkatan yang merenggut 200-300 orang.
Perbaikan jalan dan menambah armada angkutan darat, laut dan udara belum menjamin mudik dapat terlaksana dengan baik. Untuk itu perlu manajemen yang tepat dengan memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mengelola perjalanan orang banyak dalam waktu yang bersamaan, tutur Prof Ibrahim yang juga Ketua Kesatuan Pengawas Internal Unud.(LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012