Wregas Bhanuteja, sutradara film pemenang 12 Piala Citra di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2021 lewat film "Penyalin Cahaya", mengatakan regenerasi di dunia perfilman mampu memicu semangat dan mempertahankan kekuatan di industri ini.
Wregas sendiri merupakan sutradara yang terbilang cukup muda, yaitu 29 tahun.
"Ini (kehadiran sineas muda) adalah suatu gambaran regenerasi. Film-film kita dari zaman Usmar Ismail sampai sekarang bisa bertahan karena adanya regenerasi," kata pria yang mengenyam pendidikan di Fakultas Film dan TV, Institut Kesenian Jakarta, jurusan penyutradaraan film tersebut, dikutip pada Kamis.
Baca juga: "Penyalin Cahaya" boyong 12 Piala Citra FFI 2021
Ia mengatakan bahwa "Penyalin Cahaya" merupakan film panjang pertama yang ia sutradarai, setelah sebelumnya ia hanya mengarahkan film-film pendek, seperti "Lemantun" (2014) dan "Prenjak" yang membuatnya menjadi sutradara Indonesia pertama yang memenangkan penghargaan Cannes Film Festival untuk film pendek itu.
"Penyalin Cahaya" sendiri ia garap di tengah pandemi, bersama dengan para pemain dan kru yang semuanya orang Indonesia.
"Ini adalah awal baru meskipun film ini lahir di tengah pandemi, namun kami bisa melewati dengan baik. Tantangan apa pun ke depannya kita pasti bisa lalui juga," ujar pria asal Yogyakarta itu.
Di sisi lain, "Penyalin Cahaya" menceritakan seorang sarjana universitas tahun pertama, Sur, pergi ke pesta untuk pertama kalinya dalam hidupnya untuk merayakan pencapaian Mata Hari, grup teater universitas tempat Sur menjadi sukarelawan sebagai perancang web.
Baca juga: 11-14 November, "Bali International Film Festival" kembali hadir
Hidup benar-benar berubah untuk Sur setelah dia bangun keesokan paginya. Dia kehilangan beasiswa dan diusir oleh keluarganya setelah selfie-nya beredar secara online.
Khawatir bahwa dia mungkin menjadi bahan lelucon oleh anggota senior Mata Hari, Sur mencari bantuan dari teman masa kecilnya, Amin, yang bekerja dan tinggal di toko fotokopi dekat kampus.
Bersama-sama, di toko, mereka mencoba menemukan kebenaran tentang selfie dan tentang malam di pesta dengan meretas ponsel siswa.
Wregas mengatakan, ia membuat cerita ini didasari dari kisah para penyitas kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan dan tempat guna menyelesaikan masalah itu.
Baca juga: Daftar nominasi Festifal Film Wartawan Indonesia 2021
"Basis utamanya adalah peristiwa kekerasan seksual ketika penyitas tidak mendapatkan tempat untuk speak up dan keadilan dalam mengurus kasus yang ia alami. Cerita-cerita tersebut saya rangkai dalam genre suspense, guna mencari misteri siapa pelakunya," kata Wregas.
Ia menambahkan, film ini akan dirilis pada Januari 2022 di layanan streaming (over the top / OTT). Menurutnya, layanan streaming memberikan ruang yang lebih luas lagi untuk menyampaikan pesan tentang kekerasan seksual yang ia angkat.
"Film ini mengandung statement kuat untuk empowering para penyitas kekerasan seksual, dan menyebarluaskan pesan untuk kita sama-sama melawan, mengingat kekerasan seksual tidak hanya terjadi di Indonesia," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
Wregas sendiri merupakan sutradara yang terbilang cukup muda, yaitu 29 tahun.
"Ini (kehadiran sineas muda) adalah suatu gambaran regenerasi. Film-film kita dari zaman Usmar Ismail sampai sekarang bisa bertahan karena adanya regenerasi," kata pria yang mengenyam pendidikan di Fakultas Film dan TV, Institut Kesenian Jakarta, jurusan penyutradaraan film tersebut, dikutip pada Kamis.
Baca juga: "Penyalin Cahaya" boyong 12 Piala Citra FFI 2021
Ia mengatakan bahwa "Penyalin Cahaya" merupakan film panjang pertama yang ia sutradarai, setelah sebelumnya ia hanya mengarahkan film-film pendek, seperti "Lemantun" (2014) dan "Prenjak" yang membuatnya menjadi sutradara Indonesia pertama yang memenangkan penghargaan Cannes Film Festival untuk film pendek itu.
"Penyalin Cahaya" sendiri ia garap di tengah pandemi, bersama dengan para pemain dan kru yang semuanya orang Indonesia.
"Ini adalah awal baru meskipun film ini lahir di tengah pandemi, namun kami bisa melewati dengan baik. Tantangan apa pun ke depannya kita pasti bisa lalui juga," ujar pria asal Yogyakarta itu.
Di sisi lain, "Penyalin Cahaya" menceritakan seorang sarjana universitas tahun pertama, Sur, pergi ke pesta untuk pertama kalinya dalam hidupnya untuk merayakan pencapaian Mata Hari, grup teater universitas tempat Sur menjadi sukarelawan sebagai perancang web.
Baca juga: 11-14 November, "Bali International Film Festival" kembali hadir
Hidup benar-benar berubah untuk Sur setelah dia bangun keesokan paginya. Dia kehilangan beasiswa dan diusir oleh keluarganya setelah selfie-nya beredar secara online.
Khawatir bahwa dia mungkin menjadi bahan lelucon oleh anggota senior Mata Hari, Sur mencari bantuan dari teman masa kecilnya, Amin, yang bekerja dan tinggal di toko fotokopi dekat kampus.
Bersama-sama, di toko, mereka mencoba menemukan kebenaran tentang selfie dan tentang malam di pesta dengan meretas ponsel siswa.
Wregas mengatakan, ia membuat cerita ini didasari dari kisah para penyitas kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan dan tempat guna menyelesaikan masalah itu.
Baca juga: Daftar nominasi Festifal Film Wartawan Indonesia 2021
"Basis utamanya adalah peristiwa kekerasan seksual ketika penyitas tidak mendapatkan tempat untuk speak up dan keadilan dalam mengurus kasus yang ia alami. Cerita-cerita tersebut saya rangkai dalam genre suspense, guna mencari misteri siapa pelakunya," kata Wregas.
Ia menambahkan, film ini akan dirilis pada Januari 2022 di layanan streaming (over the top / OTT). Menurutnya, layanan streaming memberikan ruang yang lebih luas lagi untuk menyampaikan pesan tentang kekerasan seksual yang ia angkat.
"Film ini mengandung statement kuat untuk empowering para penyitas kekerasan seksual, dan menyebarluaskan pesan untuk kita sama-sama melawan, mengingat kekerasan seksual tidak hanya terjadi di Indonesia," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021