Istri Gubernur Bali yang juga seniman multitalenta Putri Suastini Koster mengatakan ajang Festival Seni Bali Jani (FSBJ) yang digelar sejak 2019, telah menjadi ruang ekspresi dan berkreasi bagi para seniman kontemporer.

"Saya sering katakan dari dulu, jangan biarkan para seniman non-tradisi atau yang di Bali biasa disebut seniman kontemporer dibiarkan berteriak di ruang-ruang sunyi," kata Putri Koster di Denpasar, Rabu.

Menurut dia, jangan dibiarkan para seniman kontemporer menggeluti kesunyian tanpa riuh tepuk tangan penonton dan panggung untuk eksistensinya.

Dia melihat sudah sejak lama ada ketidakseimbangan ruang gerak dan perhatian dari pemerintah kepada seniman kontemporer di Bali. Hingga akhirnya ia mencetuskan gagasan Festival Seni Bali Jani (FSBJ) untuk mengakomodasi seniman non-tradisi.

"Gagasan saya agar para penyair misalnya, tidak hanya dibiarkan berteriak di warung, di rumah sendiri atau di halaman. Sayang sekali, potensi yang sangat besar di wilayah seni modern tidak ada perhatian pemerintah," ucapnya saat menjadi pembicara tamu secara daring dalam Festival Bali-Dwipantara Waskita (Seminar Republik Seni Nusantara) itu.
Baca juga: 23 Oktober-6 November, Festival Seni Bali Jani 2021 libatkan 1.000 seniman

Seminar bertajuk Wana-Empu-Nuswantara (Lingkungan, Keempuan dan Jejaring Seni) itu digagas oleh Institut Seni Indonesia Denpasar.

Putri Koster berharap dengan keberadaan FSBJ, para seniman yang tampil akan bisa semakin mumpuni, semakin modern dengan perkembangan terkini serta bisa mandiri.

"Mumpung FSBJ ini masih baru berjalan, mari kita semua, pemerintah bersama akademisi, seniman untuk menjaga bersama agar festival ini bisa berjalan sesuai dengan koridornya," ucapnya.

Sementara itu, pembicara lainnya Prof M Alie Humaedi dari Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, Badan Riset dan Inovasi Nasional juga mengharapkan para seniman tidak hanya dibiarkan di ruang sunyi tanpa panggung untuk mempertunjukkan eksistensinya, atau yang dalam bahasa Prof Alie disebut ruang sunyil (ruang keangkerannya).

"Ruang sunyi, ruang kesendirian, ruang kesepian dalam seni sama saja dengan jalan menuju kepunahan, jalan untuk melestarikannya adalah dengan meramaikannya," katanya.

Prof Alie mengatakan festival-festival yang digelar secara terpola dan terencana merupakan sebuah bagian besar dari revolusi kesenian yang nantinya akan memperkuat posisi seni di dalam gempuran ‘mega tren’ dunia.

Baca juga: E-Motion Entertainment majukan industri kreatif dan seni di Bali

Sementara itu, Rektor ISI Denpasar Prof Dr Wayan Kun Adnyana menjelaskan tema Wana-Empu-Nuswantara (Lingkungan, Keempuan dan Jejaring Seni) yang diangkat diharapkan menjadi sebuah khasanah gagasan tentang perspektif kita tentang kesenian lintas batas, mulai dari tradisi, kepercayaan, hingga ritual konservasi hutan.

"Kita harapkan ajang ini menjadi panggung bagi tokoh-tokoh yang benar-benar, sungguh-sungguh melakukan kerja kesenian. Ini adalah panggung bagi mereka yang sungguh menata pelaku seni, berbagi dengan sesama ajang dialektika untuk memajukan seni Indonesia," ujarnya.

Selain menghadirkan Putri Koster, ajang yang digelar selama 3 hari ini juga menghadirkan pembicara kompeten lain, yakni Sastrawan Putu Fajar Arcana serta akademisi AA Gde Rai Remawa.

 

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021